Chapter 11

23 18 7
                                    

Bia duduk di teras rumahnya. Cuaca pagi ini cukup cerah, tapi saat sudah masuk waktu sore maka hujan akan turun. Bia mengalihkan pandangannya, melihat ke arah jalanan. Angkasa belum juga datang untuk menjemputnya, Bia mulai gelisah. Ibunya bahkan belum kembali, kemarin dia harus pulang mengenakan angkot karena Angkasa yang tidak muncul di sekolah. Begitupun dua temannya, Iqbal dan Angga.

Bia mengambil hpnya, melihat jam yang sudah menunjukkan pukul tujuh lewat dua puluh menit. Bia masuk ke aplikasi chatting, membuka room chatnya. Bia bimbang untuk mengirim chat pada pemilik nomor itu, Axel. Kemarin dia tidak datang ke sekolah, dan mungkin selama beberapa hari kedepannya.

Yang Bia tahu, Axel sedang keluar kota bersama beberapa siswa dan guru fisika. Mereka sedang mengikuti olimpiade, dan Axel merupakan bagian dari tim yang sudah ditetapkan pihak sekolah. Enjel yang mengatakan itu pada Bia. Sedangkan Axel bahkan tidak mengatakan apapun padanya, bahkan tidak menghubunginya sama sekali, mereka terakhir chat saat Axel mengantarkannya pulang sewaktu hujan.

Bia mengurungkan niatnya, memasukkan hpnya ke dalam saku rok. Berlari ke luar untuk menunggu angkot yang bisa membawanya ke sekolah, Bia sudah yakin kalau hari ini dia akan terlambat. Sepertinya Bia harus siap untuk dijemur lagi untuk kedua kalinya.

Setelah menempuh waktu hampir empat puluh lima menit, akhirnya Bia turun dari angkot tepat di halte yang ada di depan sekolahnya. Pagar sudah tertutup, tetapi tidak ada guru yang menjaga seperti biasa. Bia mendekat ke gerbang dan mencoba mendorongnya, ternyata terkunci.

Bia sudah berpikir untuk lewat belakang dan memanjat tembok, tapi seseorang yang menggunakan jas penanda anggota OSIS menghampirinya. Bia tersenyum memamerkan semua giginya, "Rehan, bukain dong hehehe" ucap Bia berusaha terlihat ramah. Rehan merupakan siswa kelas sebelas IPS sekaligus menjabat sebagai sekertaris OSIS.

"Hehehe, tapi Lo harus dihukum dong," ucap Rehan yang mengikuti gaya bicara Bia. Rehan memang jail dan tergolong menjengkelkan. Bia tentu tahu itu karena mereka sudah saling mengenal sejak SMP.

"Rehan, nanti gue beliin permen susu milikdia deh," ucap Bia mencoba merayu Rehan agar membiarkannya masuk tanpa harus dihukum. Sedangkan Rehan hanya menggeleng kemudian menoleh. "Vin, Gavin" Teriak Rehan membuat Bia panik, takut ketahuan.

"Jangan teriak-teriak, entar ada guru yang lihat," ucap Bia. Rehan hanya tersenyum jail, "Kunci pagarnya ada sama Gavin, Lo tunggu aja" ucap Rehan kemudian meninggalkan Bia yang sudah mengepalkan tangannya ingin memukul Rehan tapi terhalang oleh pagar.

Tidak lama kemudian, Gavin datang dan segera membuka pagar. "Lo berdiri dulu di lapangan, tiga puluh menit doang" ucap Gavin saat melihat wajah memelas Bia.

"Vin, bantuin dikit kek. Mumpung gak ada guru," ucap Bia mencoba untuk meminta cela agar dia bisa masuk kelas tanpa dihukum terlebih dahulu. Tapi Gavin hanya menggeleng, "Kali ini gue gak bisa bantu Lo, gue harus bersikap adil," ucap Gavin kemudian menarik Bia agar mengikutinya ke lapangan.

Setelah sampai di lapangan, Bia bisa melihat kalau di sana ada tujuh orang lainnya yang juga dihukum karena terlambat. Dua diantaranya merupakan siswa perempuan, sedangkan tiga siswa laki-laki yang berdiri berdekatan bisa Bia kenali walaupun hanya melihatnya dari belakang.

Bia segera mendekat dan berdiri di samping laki-laki yang rambutnya terlihat lebih panjang diantara yang lainnya, Bia sengaja merapatkan tubuhnya hingga lengan mereka menempel. "Aka, kenapa gak jemput gue," ucap Bia mencoba berbisik pada laki-laki yang berdiri di sampingnya, laki-laki yang tidak menoleh sedikitpun.

Merasa diacuhkan, Bia menginjak kaki Angkasa hingga dia menoleh pada Bia, tidak mengeluarkan suara hanya mulutnya yang bergerak dan mengatakan 'apa'. "Lo kenapa gak masuk kemarin?" Tanya Bia lagi, sedangkan Angkasa lagi-lagi tidak berniat menjawab pertanyaan Bia.

"Angkasa, Iqbal, Angga, sama Mei. Kalian udah boleh masuk," ucap Gavin, mendengar itu Angkasa dan tiga orang lainnya segera meninggalkan lapangan. Bia menoleh melihat Gavin, "Bia dua puluh lima menit lagi, yang lainnya sisa sepuluh menit," ucap Gavin membuat Bia mendengus.

"Bia, Lo terlambat lagi? Hahaha, semangat Bia" Teriak Iqbal sepertinya baru menyadari bahwa Bia juga ikut terlambat, Angga hanya menoleh sebentar sedangkan Angkasa sudah pergi dari sana.

Setelah hukumannya selesai, Bia akhirnya berjalan dengan gontai naik ke lantai dua. Jam pelajaran pertama sudah selesai. Saat sudah sampai di depan kelasnya, Teman-teman Bia sudah keluar dan membawa Buku dan pulpen.

"Bia, kamu terlambat?" Enjel yang masih ada di dalam kelas, meneriaki Bia. Melihat Enjel, Bia segera masuk ke dalam kelas. "Hm, pada mau kemana?" Tanya Bia saat semua teman kelasnya sudah hendak keluar.

"Pelajaran bahasa Indonesia kita di suruh ke perpustakaan, ayo Bia" ucap Enjel semangat, berbeda dengan Kiki yang sedari tadi hanya diam dan mengeluarkan buku-bukunya dari dalam tas.

"Ki...," Bia baru akan berbicara tapi Kiki sudah berjalan keluar, seolah tidak menganggap Bia ada. Enjel yang melihat itu hanya merasa bingung, tapi kapasitas otaknya yang sedikit membuat dia tidak cukup paham apa yang sebenarnya terjadi, "Bia cepat, Kiki udah pergi duluan ninggalin kita,"

Akhirnya mereka berdua segera keluar dari kelas dan buru-buru ke perpustakaan. Saat sudah memperlihatkan kartu siswa, mereka berdua segera mencari tempat duduk. Enjel segera mengambil tempat duduk di dekat Kiki yang masih kosong.

Saat Bia akan duduk di kursi sebelah Enjel, seorang teman kelasnya menahan tangan Bia. "Tempat gue," ucap siswa perempuan itu, dia yang kemarin bertanya pada Bia tentang hubungannya dengan Axel.

Karena ruang baca di situ sudah penuh, Bia akhirnya mencari tempat lain. Bia melihat  Angga yang hanya duduk sendirian, merebahkan kepalanya di atas meja. Bia berjalan mendekat, "Angga, gue bisa duduk di sini?" Tanya Bia tapi tidak mendapat jawaban dari Angga membuat Bia langsung duduk saja.

Setelah menyimpan bukunya, Bia kembali berdiri untuk mencari cerita novel yang menurutnya menarik untuk dikaji. Setelah dapat, Bia kembali duduk di dekat Angga yang masih memejamkan matanya.

"Postingan Axel," Angga membuka matanya dan menatap Bia, tidak melanjutkan ucapannya tapi menunggu Bia memberi berpendapat. Bia yang bingung hanya ikut menatap Angga yang diam. "Apa?" Tanya Bia setelah mereka sudah diam cukup lama. "Gak," ucap Angga kemudian kembali memejamkan matanya.

Bia yang melihat itu hanya menatap aneh pada Angga. Bia kembali melanjutkan kegiatannya, mengerjakan tugas bahasa Indonesia. Sementara menulis, Bia mengalihkan pengelihatannya ke arah depan. Di sana Kiki, Enjel dan siswa yang tadi tampak asik berdiskusi dan sesekali tertawa. Bia menghela napas kemudian memejamkan matanya sesaat sebelum melanjutkan mengerjakan tugasnya.

Saat sudah jam pulang sekolah, Bia berdiri di tempatnya. Bia hanya melihat Kiki yang mulai berjalan keluar kelas tanpa menoleh padanya, "Enjel cepat," ucap Kiki berteriak pada Enjel tanpa menoleh sedikitpun.

"Iya, tunggu. Bia, Enjel pulang duluan yah soalnya mau ikut sama Kiki," ucap Enjel kemudian melambaikan tangannya saat sudah berjalan menjauh dari Bia. Tersisa Bia sendirian di dalam kelas. Bia segera merapikan bukunya dan keluar dari kelas, menutup rapat pintu kelas saat sudah berada di luar.

Saat sudah sampai di tangga, Bia berpapasan dengan Angkasa yang juga baru turun dari lantai tiga. "Aka, pulang bareng gue kan?" Tanya Bia, hendak menggandeng tangan Angkasa tapi Angkasa menghindar membuat Bia hanya menggapai angin kosong.

"Gue gak bisa anterin lo pulang hari ini, gue ada urusan. Gue duluan, hati-hati kalau pulang, kabarin gue kalau ada apa-apa," ucap Angkasa kemudian berjalan duluan melewati Bia.

Bia hanya menatap punggung Angkasa yang menjauh tanpa menoleh sedikitpun. Bia diam, pikirannya terasa ada yang mengganjal. Ada apa dengan dirinya, kenapa sekarang dia merasa sesak di dadanya.

•••••
Selamat Membaca 😽
Semoga kalian suka ceritanya 🐈
Jangan lupa tinggalkan jejak dengan vote dan komen 😻

Nightmare ~17Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang