Chapter 15

21 18 7
                                    

Semilir angin menerbangkan dedaunan yang sudah kering, sinar matahari yang redup tertutup awan tebal, suara kicauan burung yang merdu layaknya musik pengantar tidur, permukaan kasar dari rumput hijau yang empuk menyapa permukaan kulit, jauh di sana rumah-rumah tampak mengecil dipandangan mata.

Dua pasang manusia sedang berbaring di atas rumput tanpa alas, memejamkan mata menikmati alam yang belum terjamah alat-alat modern yang akan menghancurkannya. Udara segar tanpa polusi terasa menenangkan saat dihirup, tidak ada suara bising kendaraan ataupun ocehan-ocehan tidak berguna dari mulut kotor manusia.

"Aka, Lo gak tidur?" Bia, yang tadinya asik memejamkan mata perlahan membukanya, cahaya yang terang berusaha diterima oleh matanya yang baru terbuka. Hal pertama yang dilihatnya adalah tangkai dan daun pohon yang rindang diatasnya, langit biru yang dikelilingi jutaan awan.

"Gimana gue bisa tidur, kepala Lo nekan perut gue bego," mendorong kepala Bia yang menjadikan perutnya sebagai bantal. Angkasa, juga berbaring di atas rumput, kepalanya bertumpu pada akar pohon besar yang dilapisi tas.

"Hehehe," Bia hanya tertawa, tapi tidak berniat bangkit atau sekedar menyingkirkan kepalanya dari atas perut Angkasa. "Gue rindu lo Aka, lo menghindar dari gue selama beberapa hari," ucap Bia, tidak ada jawaban dari Angkasa. Dia tahu kalau Bia masih ingin melanjutkan ucapannya.

"Lo tau gak, Kiki juga menjauh dari gue. Sampai gue mikir gini, anak salah saya apa," ucap Bia tampak serius tapi lagi-lagi kepalanya harus dapat toyoran dari Angkasa.

"Yang bener kalau ngomong," tadinya Angkasa sudah serius mendengarkan, tapi Bia ada-ada saja tingkahnya. Sedangkan Bia hanya tertawa, dia sebenarnya tidak berniat mengeluarkan candaan. Tapi, Bia tidak ingin terlihat terlalu menyedihkan.

"Ini udah ngomong bener tau," setelah itu Bia diam, begitupun Angkasa. Terjadi keheningan beberapa saat, "Kenapa Kiki menjauh dari lo?" Tanya Angkasa akhirnya, kalau Angkasa selama beberapa hari belakangan memberi jarak pada Bia itu karena dia punya alasan tersendiri, tapi kalau Kiki? Atas alasan apa dia menjauhi Bia yang merupakan sahabat baiknya, sampai dia rela jalan kaki dari rumahnya saat dini hari hanya untuk melihat keadaan Bia yang saat itu ditinggal sendirian di rumahnya.

"Ngikut Lo kali," jawab Bia sekenanya. "Sembarangan, gue itu gak menjauh atau menghindar atau apapun itu. Gue cuma lagi sibuk aja bantuin adik kelas latihan untuk lomba bulan depan," Angkasa pembohong. Lomba pencak silat tingkat sekolah yang sering diikuti baru saja dilakukan dua bulan yang lalu. Dan semester depan baru lomba akan kembali diadakan.

"Gitu yah," Bia kembali diam, memejamkan matanya kala gelombang angin yang sejuk menerpa wajahnya. Bukit pelangi, merupakan bukit yang letaknya tidak jauh dari kota tempat tinggal mereka, hanya membutuhkan waktu kurang lebih satu jam untuk sampai di sini.

Bukitnya tidak terlalu tinggi dan kendaraan bisa langsung sampai ke atas. Tidak banyak yang mengetahui tempat ini, kecuali Angkasa dan Bia tentunya. Juga, beberapa teman SMP-nya dulu. Mereka pertama kali ke tempat ini saat masih duduk di bangku SMP, mungkin ada orang lain juga yang mengetahui tempat ini tapi setiap kali mereka berkunjung ke sini, tidak ada orang lain selain mereka.

Bukit pelangi, nama yang diberikan oleh Bia. Bukan tanpa alasan Bia menamainya bukit pelangi, tapi karena saat pertama kali ke sini Bia melihat pelangi yang memancarkan warna-warna yang indah. Mereka pertama kali berkunjung ke sini atas ajakan Gavin. Memang Gavin yang lebih dulu tahu tentang tempat ini, dia mengetahuinya saat ikut mendaki bersama abangnya, namun dia malah tersesat sendirian dan terdampar di bukit ini.

Hingga sekarang, pertemanan mereka dari SMP perlahan merenggang seiring dengan datangnya teman-teman baru. Hanya Bia dan Angkasa yang benar-benar masih bersama seperti dulu, dan kini hanya mereka berdua yang bisa mengunjungi tempat ini lagi.

"Mama belum pulang." Gumam Bia mengeluh, "Aka tau gak, selama gue sendirian di rumah... Gue lagi-lagi gak bisa tidur. Gue berangkat sekolah saat masih subuh, numpang di mobilnya kang Asep. Gue tidur di rooftop sampai bel masuk bunyi," Bia masih memejamkan matanya. Tidak, dia tidak tidur hanya saja dia tidak ingin saat matanya menangkap tatapan yang menatapnya kasihan.

"Maaf," Angkasa berulang kali mengucapkan kata itu, meskipun tidak ada sahutan dari Bia.

"Udah diam deh Aka, telinga gue berdengung mendengar lo dari tadi minta maaf mulu," ucap Bia membuat Angkasa beneran diam. Hanya mulutnya, tidak dengan tangannya yang masih mengelus rambut pendek Bia yang ada di atas perutnya.

"Aka, siapa yang kasih tau lo kalau gue ketabrak?" Tanya Bia penasaran, sepertinya Bia harus berterima kasih karenanya Bia jadi berbaikan dengan Angkasa. Atau Bia harus bersyukur karena insiden tabrakan ini jadinya Bia dan Angkasa berbaikan? Mungkin inilah yang dikatakan bahwa segala sesuatu yang terjadi pasti ada hikmah dibaliknya.

"Iya, gue hampir lupa. Siapa yang nabrak lo? Dia minta maaf gak? Dia tanggung jawab kan?" Angkasa yang bangun dari tidurnya membuat Bia ikut bangun. Dia memeriksa kening Bia yang ditutupi kain kasa yang putih bersih, tidak ada noda merah seperti seharusnya.

"Lukanya gak parah kok, lagian dia juga anak SMP. Dia minta maaf sambil nangis, dia juga luka. Tapi kayaknya panik aja saat liat gue berdarah sampai nangis histeris banget," ucap Bia sesekali tertawa, mengingat tentang anak SMP yang menabraknya.

"Anak SMP? Itu kesalahan orang tuanya, biarin anak SMP naik motor segala ke sekolah," ucap Angkasa ngomel-ngomel. Sedangkan Bia menatapnya bingung, perasaan dia ditabrak sepeda. Ralat, bukan ditabrak sepeda tapi ditabrak oleh orangnya.

"Gue ditabrak orang naik sepeda," ucap Bia yang membuat Angkasa diam melongo. "Sepeda? Sepeda yang digayun? Yang rodanya ada dua kan," tanya Angkasa memastikan, Bia hanya mengangguk.

"An*jir gue kira-" Angkasa tidak bisa lagi melanjutkan kata-katanya. "Vano si*alan," umpat Angkasa, dia sudah terlalu panik tadi.

"Kak Vano yang kasih tau lo ternyata," ucap Bia setelah menangkap maksud dibalik ucapan Angkasa. "Lo kenal Vano?" Tanya Angkasa, Bia menggeleng, "Gue baru tau kemarin, dia yang bantuin gue juga soalnya," ucap Bia Angkasa hanya mengangguk.

"Aka, pelangi," ucap Bia riang, dia sampai berdiri dan melompat-lompat. Sedangkan Angkasa masih duduk, melihat warna-warni yang ditunjuk Bia.

"Biasanya pelangi munculnya sehabis hujan," gumam Angkasa tapi masih bisa didengar oleh Bia. "Pelangi muncul karena ada bidadari yang turun dari langit tau," ucap Bia tampak sungguh-sungguh.

"Mana ada bidadari turun dari langit," cibir Angkasa mendongak, melihat Bia yang masih menatap kagum pada warna-warni yang berbentuk melengkung itu.

"Ada kok. Ini, di depan lo," ucap Bia dengan percaya dirinya, ketahuilah Bia hanya seperti ini dihadapan Angkasa. "Idih," Angkasa lagi-lagi mencibir.

Angkasa berdiri, melihat pemandangan indah di depannya. Bukan, bukan pelangi nya. Tapi sosok perempuan yang bisa menjadi penguat sekaligus kelemahan terbesarnya. Angkasa tidak akan pernah rela kalau sampai dia jatuh ke tangan yang salah, baik itu sahabatnya sekalipun.

"Lo beneran pacaran sama Axel?"

•••••
Selamat Membaca 💅
Jangan lupa tinggalkan jejak dengan vote dan komen 😻

See you chapter selanjutnya 😽

Nightmare ~17Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang