"Ibu, kenapa sih pake berencana menjodohkan salah satu di antara kami dengan putra Bu Lathifah?" Tanya Khansa pada ibunya tatkala ia membantu memasak.
"Ini perjanjian kami dulu. Dulu bapak dan ibu yang menjodohkan Bu Lathifah dan Pak Darmawan kemudian kami berjanji jika kami punya anak akan kami jodohkan. Itu semata-mata demi menjaga persahabatan dan persaudaraan kami. Karena kenyataannya setelah sekian tahun berpisah, kami sempat kehilangan komunikasi. Akhirnya kami dipertemukan kembali saat reuni. Seolah itu menjadi pengingat pada janji kami." Jawab Ibu seraya memotong daging untuk sup.
"Tapi Bu, apakah tidak kekanak-kanakan melakukan perjodohan macam itu? Bagaimana jika putra Bu Lathifah itu sudah punya calon istri?" Khansa mulai melancarkan aksinya.
"Kata mereka, anaknya belum punya calon." Jawab Ibu.
"Masa sih? Yang sulung apa yang bungsu?" Tanya Khansa menyangsikan jawaban ibunya.
"Dua-duanya. Lagipula yang mau dijodohin sama kamu itu jelas yang sulung. Yang bungsu kan masih SMA."
"Lha kali aja dijodohinnya sama Marwa."
"Ngaco kamu! Marwa kan masih sekolah."
"Khansa juga masih kuliah."
"Tapi kan kalau menunggu kamu lulus, ngga lama. Kalau Shafa, nanti masih nunggu dia lulus SMA dan kuliah, makin lama lah."
Khansa nyaris kehilangan akal. Ibunya ini kalau punya pendirian, susah banget buat goyah. Beliau macam Gunung Semeru saja. Khansa kembali putar otak.
"Tapi Bu, ibu kan belum tahu orangnya bagaimana? Bagaimana jika dia tak sebaik yang ibu dn ayah pikirkan?"
"Bukankah dia itu dosen di kampusmu? Jadi kamu pasti lebih tahu bagaimana tentang dia."
"Tapi kan, Khansa tidak terlalu kenal dia Bu. Khansa hanya tahu mata kuliah yang dia ampu. Khansa tak tahu tentang kehidupan pribadinya."
"Insya Allah orangnya baik. Orangtuanya baik, ibadahnya baik, lagipula anaknya itu dosen. Pasti sikapnya juga baik." Sang Ibu masih belum bisa digoyahkan. Dalam hati Khansa mendelik, baik apanya. Orangnya dingin gitu.
"Tapi orangtua baik belum tentu jaminan kalau anaknya baik kan Bu? Tuh di tivi-tivi, ada yang orangtuanya kiai tapi anaknya jadi napi. Orangtuanya ahli sedekah, anaknya pelit bukan main. Atau orangtuanya terpelajar tapi anaknya jadi berandal." Bantah Khansa.
THHAAK! THAKK!THAAAKK!!! Ibu tiba-tiba mencincang daging dengan keras. Pisau dagingnya diayunkan dengan mantap. Lah, Khansa kok jadi merinding.
"Sejak kapan kamu pintar berprasangka buruk sama orang lain? Bapak dan Ibu tak pernah mengajari kamu seperti itu. Apa yang telah kamu dapatkan selama ini? Katanya ikut kajian. Ikut ngaji kok pikirannya cetek...bla...bla...bla..."
Masalah. Khansa hanya mengundang masalah untuk dirinya sendiri. Bukannya terpengaruh, justru ia terjebak dalam ceramah panjang ibunya. Kesimpulannya, misi pertama: GAGAL!!
Misi kedua dijalankan. Khansa mendekati adiknya yang sibuk mengerjakan PR di kamar.
"Ngerjain apa sih, dek? Serius banget." Khansa memulai basa-basi seraya duduk di tepi ranjang adiknya.
"PR Bahasa Inggris. Besuk harus dikumpulin. Kemarin lupa kalau ada PR." Jawab adiknya tanpa mengalihkan fokus.
"Mau Mbak bantuin?" Khansa dengan sikap sok tulusnya menawarkan bantuan. Tapi respon Marwa di luar dugaan. Bukannya senang dengan tawaran bantuan dari kakaknya, ia malah memincingkan mata penuh curiga.
"Mbak Khansa ada maunya ya? Kan Mbak Khansa ngga bisa pelajaran Bahasa Inggris. Kenapa mendadak pengen bantuin?" Duh, dasar nih anak. Khansa menggertakkan gigi menahan emosi.
KAMU SEDANG MEMBACA
Menikah Tapi Pura-Pura
General FictionTerkadang cinta tak bisa disadari karena ia tak bisa disentuh, dilihat maupun didengar. Dia hanya bisa dirasakan walaupun halus sekali getarannya. (Khansa Avicenna) ### Khansa terkejut saat tiba-tiba seorang laki-laki tak dikenal mengaku sebagai sua...