Sore setelah ashar, suasana kedai Aldrian cukup lengang. Memang jam segini agak kurang pengunjungnya. Tapi sebentar lagi, ketika mendekati Maghrib biasanya akan ramai. Tapi untuk hari ini mungkin mereka akan tutup lebih awal karena jualan mereka sudah menipis. Tinggal tiga porsi saja.
Aldrian duduk termenung di meja kasir. Bukan merenungi jumlah pengunjung kedainya yang saat ini hanya dua orang wanita. Tapi dia memikirkan hubungannya dengan Khansa, perasaannya, Luna dan masa depan mereka. Aldrian juga penasaran kenapa Khansa tidak cuti sehari dan pulang. Bukankah kelompok mereka memperbolehkan anggotanya untuk pulang sehari? Padahal waktu KKN mereka sudah hampir selesai. Tapi Khansa sama sekali tidak mengambil haknya untuk pulang. Apa dia memang sengaja tidak pulang? Apa gadis itu tidak mau bertemu dengannya? Atau apa mungkin gadis itu sudah sangat nyaman bersama Fachri hingga lupa bahwa ia punya suami? Memikirkan hal itu, membuat Aldrian mengetatkan rahang. Ia berhak marah namun ia tak bisa melakukannya.
"Haaaaallllllloooooooooooo!!!!" Seru seorang pria di depan Aldrian sambil mengibaskan tangannya tak sabar. Aldrian sampai terlonjak dibuatnya.
"Astaghfirullah!! Datang salam dulu, bukannya bentak orang!" Omel Aldrian karena terkejut.
"Aku udah salam lima kali. Kamu aja yang ngga denger. Tuh, karyawanmu saksinya. Dia yang jawab salamku, lima kali juga." Sahut pria itu sambil memperlihatkan lima jarinya di depan muka Aldrian dengan kesal. Aldrian menggaruk kepalanya karena merasa malu. "Lagian jaga kasir sambil melamun begitu, dicolong orang baru tahu rasa."
"Ngapain sih, sore-sore gini bikin rusuh? Kita udah mau tutup."
"Nih, undangan reuni." Pria itu meletakkan sebuah undangan di meja kasir.
"Hari gini masih pakai undangan seperti ini?" Cibir Aldrian. "Kamu panitianya, Bal?"
"Kalau digital banyak yang ngga datang. Kalau gini kan ada effort dari panitianya. Masa ngga datang, ngga menghargai banget." Sahut pria itu. "Trus, aku cuma gini aja? Ngga disuruh duduk atau ditawari makan dulu?"
"Bukannya niatmu kesini buat nganter undangan? Kita udah mau tutup."
"Pelit banget nih, boss kalian." Ucap pria itu pada Arfan yang sedang membereskan meja. Arfan cuma tersenyum sambil mengelap meja terakhir yang baru saja ditinggalkan dua wanita pelanggan.
"Buatkan mie untuk tamu terakhir ini, Fan! Yang tersisa kamu buat juga buat makan malam kalian berdua." Ucap Aldrian dengan senyuman. Pria yang disapa 'Bal' oleh Aldrian tersenyum lebar dan mengacungkan jempol kanannya.
"Gratis kan?"
"Masa manager umum minta gratisan." Ledek Aldrian. Ia kemudian mengikuti temannya duduk di kursi tamu.
"Kamu mau datang bareng Luna?"
"Entahlah." Sahut Aldrian singkat. Temannya menaikkan alisnya heran. "Kamu sendiri?"
"Itu sih, ngeledek namanya. Udah tahu temannya jomblo ngga laku-laku, masih juga nanya itu."
"Mas Iqbal belum punya pacar to?" Deri datang membawa nampan berisi semangkuk mie jamur dan jus jeruk.
"Malah diperjelas nih, anak. Mau mencarikan?" Sahut pria bernama Iqbal tanpa nada tersinggung. Ia segera menerima hidangan yang disajikan untuknya dengan sukacita kemudian meraciknya dengan sambal dan kecap.
"Yang gimana kriterianya?" Deri malah menarik kursi dan ikut ngobrol.
"Ngga muluk-muluk sih, yang rajin sholat dan bisa masak. Itu aja. Eh, satu lagi. Yang suka sama anak-anak dan mau menerimaku apa adanya."
"Ngga cantik? Berpendidikan tinggi?" Pertanyaan Deri masih memburu, seolah dia punya stok wanita yang bisa dikenalkan ada Iqbal. Dia sendiri saja masih jomblo.
KAMU SEDANG MEMBACA
Menikah Tapi Pura-Pura
General FictionTerkadang cinta tak bisa disadari karena ia tak bisa disentuh, dilihat maupun didengar. Dia hanya bisa dirasakan walaupun halus sekali getarannya. (Khansa Avicenna) ### Khansa terkejut saat tiba-tiba seorang laki-laki tak dikenal mengaku sebagai sua...