14

66 6 0
                                    

"Kamu pindah kos? Kenapa? Dimana?" Hafidza mencecar Khansa dengan berbagai pertanyaan ketika Khansa bilang kalau mau pindah kos. Hari ini Khansa berniat pamit dengan ibu kos dan teman-temannya serta berkemas.

"Aku ikut pakde dan budheku. Emm, lumayan lah jaraknya." Jawab Khansa. Hatinya tak nyaman karena telah berbohong. Pakde siapa? Pakde Aldrian? Aldrian mungkin akan menindasnya jika tahu Khansa memanggilnya Pakde.

"Kalau begitu kenapa mesti pindah? Kan enakan di sini, dekat dengan kampus. Kamu kalau mau ada kegiatan sampai sore bisa langsung pulang kos. Pulang kerja juga dekat. Kalau ke sana, kamu masih ngangkot kan?" Hafidzaa masih tak terima. Khansa tersenyum. Ia sudah memperkirakan pertanyaan itu sehingga dia juga sudah menyiapkan jawabannya dengan matang.

"Pakde ku itu sudah tua dan tidak punya anak. Makanya dia minta aku untuk tinggal di sana biar rumahnya ramai." Tadi pakde, sekarang tambah tua, tidak punya anak lagi. Aldrian mungkin pingsan jika dengar.

Hafidza menghela napas berat. Bagaimanapun Khansa sudah ia anggap saudara sendiri. Sejak SMA hingga kuliah sudah bersahabat. Selama satu kos ini, Khansa lah orang yang paling ia jadikan tempat untuk berkeluh kesah. Sakit pun Khansa selalu yang merawat. Begitu juga sebaliknya. Makanya Hafidza merasa sangat berat berpisah dengan Khansa.

"Aku cuma pindah kos, bukan pindah kuliah. Tiap hari kita masih bisa bertemu. Aku ngga merantau ke luar negeri." Ucap Khansa.

"Sering-sering main ke sini ya! Kalau kamu kemaleman dan ngga berani pulang, kamu nginap sini aja." Ucap Hafidza akhirnya dengan setengah ikhlas. Khansa tersenyum getir. Ia memeluk sahabatnya erat. Untuk menutupi sebuah kebohongan, akan tercipta kebohongan lain. Begitulah seterusnya. Ia akan terjebak dalam lingkaran setan penuh kebohongan dalam hidupnya.

Ia berbohong tentang pernikahannya. Pernikahan itu sendiri hanya bohongan. Entah sampai kapan ia akan sanggup menjalaninya.

Sore itu juga Khansa meninggalkan rumah kos yang selama ini ia tinggali
Ia menolak sewaktu Hafidza menawarkan bantuan untuk mengantarkannya.

Khansa menyeka sudut matanya yang berair saat meninggalkan rumah kos. Banyak kenangan yang ia alami di sana. Ia harus meninggalkan semua kehangatan dalam rumah ini, pindah ke rumah yang lebih dingin dan penuh kejenuhan.

*****

Aldrian sedang memeriksa tugas mahasiswanya saat sebuah pesan dari Luna masuk ke ponselnya. Sebuah pesan yang menyampaikan bahwa wanita itu sekarang sudah pulang. Ada perasaan ganjil yang menyergapnya. Seharusnya ia senang mendengar kepulangan Luna. Tapi sekarang lain ceritanya. Ia tak bisa menunjukkan secara terang-terangan tentang perasaannya.

Bagaimanapun Luna pernah mengisi hatinya dan sampai sekarang pun masih. Meskipun terdengar mustahil, ia tak bohong bahwa ia berharap bisa bersama dengan gadis pujaannya itu.

"Mari kita bertemu nanti setelah kamu selesai dengan perkuliahan." Tulis Luna. Ada perasaan membuncah sekaligus merasa bersalah di hati Aldrian. Dia tak pernah merasa sebimbang ini. Namun ia tak ada alasan untuk menolak Luna. Akan tampak pengecut jika dia menghindar dan membiarkan Luna berpikir bahwa hal itu disebabkan oleh penolakannya dulu.

"Ya." Jawab Aldrian singkat.

"Pak Aldrian, anda sudah dapat pembagian tugas pembimbing KKN?" Tiba-tiba Bu Refina, salah satu dosen di Progdi Pendidikan Bahasa Indonesia muncul di ruangannya.

"Belum. Sepertinya sudah keluar tapi saya belum memeriksanya. Ada apa Bu?"

"Saya dapat lokasi yang cukup jauh. Bisa bertukar?"

"Oh? Sebentar. Saya lihat dulu tempat saya dimana."

Aldrian segera memeriksa file yang dikirim di grup dosen. File itu berisi pembagian tugas pembimbing KKN yang dikirim semalam. Tapi Aldrian terlalu sibuk pagi ini sehingga belum membukanya. Ia pikir karena pelaksanaannya masih dua Minggu lagi jadi ia tak perlu terburu-buru.

Menikah Tapi Pura-PuraTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang