16

50 4 0
                                    

Aldrian tidak menyukai Khansa. Dia tidak punya perasaan apa-apa pada gadis itu. Penampilan gadis itu sama sekali tak menarik baginya. Apalagi jika dibandingkan dengan Luna yang selalu memukau. Tapi Aldrian tidak bisa bohong jika isi kepalanya sedang tak baik-baik saja. Berbagai pikiran dan pertanyaan berputar tak berhenti. Ia ingin tahu tentang Khansa sekarang. Mengapa gadis itu belum pulang? Mengapa dia tidak mengabarinya dulu? Dan bagaimana cara dia pulang nanti? Naik bus kah? Ojek kah? Atau diantar temannya? Apakah Rani yang mengantar atau lelaki yang duduk di depan Khansa saat di kedai tadi? Sayangnya ia terlalu gengsi untuk telepon atau sekedar mengirim pesan.

Aldrian merasa sedikit kesal mengingat bagaimana cara Fachri memandang Khansa di kedai tadi. Lebih kesal lagi karena Khansa seolah tak memedulikannya. Apakah Fachri sedang melakukan pendekatan terhadap Khansa? Selain di kedai tadi,  Aldrian juga melihat bagaimana lelaki itu menemui Khansa di toko buku setelah dongeng usai.

Jadi tidak hanya Fachri yang diam-diam mengamati Khansa bercerita. Aldrian juga namun di sudut yang berbeda. Saat ia masih menimbang-nimbang untuk menemui Khansa, Fachri bergerak lebih cepat. Ia melihat bagaimana kedua mahasiswanya itu berinteraksi. Dia melihat bagaimana Khansa tersenyum. Makin kesal karena sepertinya dia tidak pernah mend9apat senyuman itu.

"Al? Gimana? Al??" Luna memanggil Aldrian kedua kalinya, "Al?"

"Eh, iya? Gimana?" Tanya Aldrian tergagap. Luna memandang curiga.

"Gimana apanya? Kamu melamun?"

"Eh, maaf. Ada banyak pekerjaan jadi  pikiranku terbagi." Jawab Aldrian bohong.

"Bagaimana kalau kita pulang saja?" Ajak Luna.

"Oke kalau begitu." Jawab Aldrian cepat. Luna sedikit kecewa. Sebenarnya ia hanya ingin berbasa-basi saja. Agar ia tampak wise di depan lelaki yang kini bersamanya itu. Namun ternyata lelaki itu terlalu lurus. Tak mengerti bahasa isyarat.

Tak perlu waktu lama untuk mereka beranjak meninggalkan kafe yang menjadi tempat mereka berdua melepas rindu. Biasanya Aldrian akan betah berlama-lama bersama Luna namun entah kenapa kali ini ia merasa ingin segera pulang.

Setelah mengantar Luna pulang ke rumahnya, Aldrian langsung kembali ke kedai. Ia ingin segera menyelesaikan urusan kedainya hari ini dan bisa pulang. Apakah Khansa sudah sampai rumah atau belum?

Aldrian merasa lega, ketika pulang dan mengucap salam ada yang menjawab dari dalam. Artinya Khansa sudah ada di rumah. Namun tentu saja dia terlalu gengsi untuk terlihat khawatir di depan gadis itu.

Aldrian memasuki rumah dengan pandangan melayang menyapu seluruh sudut ruangan. Tidak ada siapa-siapa. Tiba-tiba ia dikejutkan oleh kemunculan Zakky dari dapur. Adik laki-lakinya itu nyengir sambil menghampiri Aldrian.

"Ngapain kamu di sini?" Tanya Aldrian ketus.

"Kok ngga seneng sih kalau adiknya kesini?" Zakky balik bertanya seraya duduk di sofa. Aldrian ikut duduk di sebelahnya.

"Bukannya begitu. Ini kan sudah malam. Bapak sama ibu sudah tahu belum kalau kamu ke sini?"

"Sudah Pak. Sudah ijin."

"Trus Khansa mana?"

"Katanya sih tadi mau mandi."

"Kamu nungguin Khansa mandi?" Tanya Aldrian sedikit keras.

"Apaan sih? Ngga lah. Aku nungguin Abang ngga pulang-pulang tuh, kaya Bang Toyip." Sahut Zakky tak kalah sewot. "Lagian Mas Rian itu apa-apaan sih? Masa Mbak Khansa ditelantarin nunggu angkot. Kan sekampus, kenapa ngga diajak bareng sih? Kalau tadi aku ngga datang, Mbak Khansa udah dianterin sama cowok yang nemenin dia di halte lho."

Menikah Tapi Pura-PuraTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang