03

77 5 3
                                    

Khansa berangkat terburu-buru menuju kampus. Hari pertama masuk semester baru dia sudah terlambat datang. Ia baru datang dari rumah. Mampir di kos hanya untuk meletakkan barang bawaan lanjut marathon menuju kelas. Masalahnya ia belum tahu kelasnya nanti. Dia nyaris berlari menuju gedung C FKIP.

Ia bahkan nyaris menabrak seseorang di tangga. Orang itu turun dari lantai dua bersama seorang temannya sedangkan Khansa berlari dari lantai dasar.

"Astaghfirullah..." Pekik Khansa nyaris jatuh. "Maaf, Mas. Saya buru-buru. Mas nya ngga apa-apa?"

"Iya, Mbak. Ngga apa-apa, kok." Jawab mahasiswa yang hampir ditabrak Khansa. Ia memang tidak apa-apa karena memang belum terjadi apa-apa. Ia hanya kaget karena tiba-tiba Khansa muncul di depannya.

Khansa mengangguk cepat dan buru-buru pergi. Laki-laki itu memandang kepergian Khansa sambil geleng-geleng kepala.

"Ayo, Ri! Kita sudah ditunggu Edo di bengkel." Temannya menepuk bahu laki-laki yang dipanggil 'Ri'. Mereka kembali melangkahkan kaki menuju lantai bawah.

Sementara itu, Khansa ngos-ngosan sampai di depan kelasnya. Dengan sebal ia memandang Rani yang cengengesan duduk di depan kelas. Ia tadi WA Khansa kalau dosen sudah akan datang. Khansa pikir, dosennya sudah dalam perjalanan menuju kelas. Ternyata yang dimaksud akan datang adalah nanti datangnya. Bahkan mahasiswa yang datang belum genap setengah lusin.

Bukan tanpa alasan Khansa lari marathon demi kuliah pagi tanpa terlambat. Dari rumor yang beredar, dosen analisis vektor ini disiplinnya minta ampun. Terlambat semenit saja bisa tak diizinkan masuk kelas. Jadi ya, lebih baik nungguin di depan kelas dari shubuh daripada telat semenit.

Rani mengajak Khansa masuk kelas, lebih nyaman duduk di kelas daripada di teras. Di teras banyak orang wira-wiri. Bagi yang anti sama keramaian pasti tidak nyaman.

Sekitar lima belas menit mereka menunggu, Thomas masuk kelas dengan membawa kehebohan. Mahasiswa blasteran China-Sunda itu memang selalu bikin heboh kelas. Orangnya memang suka tampil, suka menjadi pusat perhatian dan suka bikin sensasi.

"Eh, teman-teman tahu tidak? Dosen analisia vektor kita baru!" Serunya bangga karena menjadi orang pertama yang mengetahui fakta itu. Tapi teman-temannya tidak ikutan heboh tuh.

"Gimana ngga baru, kita kan di semester baru Thom. Semester sebelumnya kita ngga ada kuliah analisis vektor. Adanya analisis real." Celetuk Ana tak peduli.

"Iya, maksudku itu dosen baru. Bukan dosen senior. Bukan Prof. Djatmiko yang menyeramkan." Sahut Thomas.

"Siapa emangnya?"

"Naaah,, kan. Kepo kan?"

"Ehm..ehmm.."

Thomas terloncat kaget. Seorang pria berkemeja navy sudah berdiri di ambang pintu. Dia berdehem pelan membuat atensi seluruh ruangan tertuju padanya. Kasak kusuk langsung terdengar seperti kawanan lebah. Pasalnya laki-laki itu masih sangat muda untuk diakui sebagai dosen yang mengampu mata kuliah analisis vektor. Mengingat sebelumnya mata kuliah yang dianggap horor oleh sebagian mahasiswa itu diajarkan oleh dosen senior yang tak kalah horor dari mata kuliahnya.

Thomas pergi ke tempat duduknya dengan senyum canggung. Laki-laki yang kemungkinan adalah dosen itu masuk dan berdiri di depan para mahasiswanya. Dibandingkan kesan angker, dia lebih tampak eye-catcing namun eksklusif. Wajahnya bersih, berumur sekitar akhir duapuluhan. Rambutnya dipotong rapi dan disisir licin. Kemeja panjang dimasukkan ke dalam celana hitamnya. Ia tampak kharismatik.

Para mahasiswi langsung kasak-kusuk sedangkan yang mahasiswa merasa kecewa. Dosen baru mereka bukan wanita. Khansa juga terkejut. Bukan karena terpesona tapi karena merasa pernah mengenalnya.

"Selamat pagi. Perkenalkan saya Aldrian Danuarta. Saya dosen yang mengampu mata kuliah analisis vektor." Ucap laki-laki di depan sana. Nah, benar kan! Pantas saja Khansa merasa pernah mengenalnya. Dia ternyata dosen di kampusnya, bahkan di kelasnya! Dia anak laki-laki Bu Lathifah. Yang menyelamatkannya dari pengunjung mesum di toko buku Bu Rafika. Yang mengantarkannya pulang waktu itu. Ah, ya. Maya pernah bercerita kalau orang itu dosen namun ia tak menyangka bertemu di sini.

"Saya menggantikan Prof.Djatmiko yang saat ini sedang naik haji."

"Pak!" Thomas selalu yang pertama mengangkat tangan, "Berarti anda hanya sementara dong?"

"Tidak. Saya tetap mengajar satu semester." Jawabnya datar. Dia memang tak menyeramkan namun tetap saja dia dingin. "Ada pertanyaan lagi?"

"Emm, Pak. Sepertinya saya pernah melihat anda di luar kampus. Tapi dimana ya?" Totti mengajukan pertanyaan tak penting. Dia langsung dihujani tatapan engga banget dari teman-temannya.

"Saya mengelola Natural House. Silakan kalian mampir ke sana jika ada waktu." Jawab Aldrian membuat beberapa mahasiswanya membelalakkan mata. Ternyata dosennya ini wirausaha. Dia pemilik kedai yang cukup terkenal di kawasan kampus. Kedai itu selalu ramai pembeli. Makanan dan minuman yang ditawarkan enak dan juga banyak ragamnya. Sedangkan harganya bersahabat untuk kantong mahasiswa.

Aldrian mengedarkan pandangannya ke seluruh sudut kelas. Pandangannya terhenti saat melihat Khansa berada di antara mahasiswanya. Jadi Khansa kuliah di sini? Khansa hanya melihat sekilas. Menyadari bahwa sang dosen melihatnya, ia buru-buru menundukkan pandangan berpura-pura sibuk membuka diktat.

"Ada yang ingin ditanyakan lagi?"

"Bapak umurnya berapa sih?" Lagi-lagi pertanyaan out of topic terlontar. Kali ini seorang mahasiswi berambut sebahu yang dari tadi sibuk dengan cermin kecil di atas mejanya. Aldrian tersenyum tipis.

"Apakah itu ada hubungannya dengan kuliah kita?"

"Tidak sih, Pak. Saya hanya penasaran. Sepertinya anda masih sangat muda untuk menjadi dosen. Anda sudah magister?" Gadis itu beralasan. Yang lain tak menanggapi namun penasaran juga. Melihat wajah penasaran dari para mahasiswa, Aldrian menyerah.

"Saya tiga puluh tahun. Saya memperoleh gelar master setahun yang lalu. Saya juga tergabung sebagai pembimbing program kreativitas mahasiswa. Jadi bagi kalian yang ikut program itu, bisa bertemu dengan saya. Oke, perkenalannya sudah dulu. Toh saya masih mengajar kalian untuk satu semester ke depan. Kita bahas kontrak perkuliahan kita dulu."

Perkuliahan berjalan dengan lancar. Metode belajar yang digunakan Aldrian sangat efektif membuat para mahasiswa lebih aktif. Sesekali Aldrian mencuri pandang pada Khansa yang lebih banyak diam. Ia jarang bertanya maupun berpendapat tapi bukan berarti dia tidak memperhatikan. Dia sangat memperhatikan sehingga sudah tak perlu lagi mengulang pertanyaan yang sama.

"Sa, ayo temani aku ke perpusatakaan!" Ajak Rani saat kuliah berakhir. Kuliah selanjutnya masih ada jeda sekitar satu jam.

"Iya. Aku juga mau mencari referensi pembuatan proposal skripsi." Sahut Khansa seraya membereskan peralatannya.

"Ayo!"

Mereka berdua beranjak dari tempat duduk. Sudah tidak ada mahasiswa lain di ruangan itu. Tinggal mereka berdua. Sebenarnya Khansa ingin keluar setelah dosennya keluar tapi ternyata Pak dosen malah nyaman di dalam kelas, enggan pergi.

"Mari Pak." Sapa Rani saat mereka berdua melewati meja dosen. Sedangkan Khansa hanya tersenyum mengangguk dengan sopan.

"Ternyata dunia itu sempit ya." Tiba-tiba Aldrian berkata. Kedua gadis itu berhenti untuk menghadap pada dosennya. Tampak wajah bingung dari muka Rani. "Kamu ternyata kuliah di sini, Khansa."

Mata Rani membulat dengan mulut ternganga. Dia memandang Khansa dan Aldrian secara bergantian.

"Iya, Pak. Saya tak menyangka, anda dosen saya. Bagaimana kondisi ibu Lathifah?"

"Alhamdulillah. Sudah boleh pulang. Emmm, sebenarnya beliau meminta saya menghubungimu. Beliau ingin bertemu denganmu."

"Ah, ya. Sampaikan salam saya untuk Bu Lathifah. Mungkin lain waktu jika saya punya waktu longgar, saya akan mengunjunginya " sahut Khansa, "Kami duluan, Pak."

"Ya, silakan."

Selanjutnya tak putus-putus Rani bertanya bagaimana bisa Khansa mengenal dosen mereka. Bahkan kelihatan cukup akrab.

°Tbc°
23 April 2022

Menikah Tapi Pura-PuraTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang