21

81 5 2
                                    

Masa KKN sudah genap 40 hari. Semua program kerja sudah terlaksana. Akhirnya hari ini resmi penarikan serentak. Bu Kadus dan Bu kades menangis sesenggukan saat para mahasiswi berpamitan. Begitu juga dengan anak-anak yang biasa les dengan mereka. Tapi bagaimanapun ada pertemuan pasti ada perpisahan. Dan mereka juga harus melanjutkan fase belajarnya.

"Ayo pulang bareng saya!" Ajak Aldrian menawarkan tumpangan. Para mahasiswinya saling pandang.

"Ayo ikut saja. Daripada kita boncengan sama para laki-laki." Bisik Hafidza pada Khansa. Tapi cukup terdengar oleh Aldrian. Ya, kamu betul Hafidza. Batin Aldrian.

"Baik, Pak." Sahut Tika semangat.

"Besok kita ketemu di kampus ya, buat nyusun laporan." Fachri  mengingatkan teman-temannya.

"Siap..." Sahut Khansa spontan dan terdengar bersemangat. Ia lupa kalau sikapnya yang santai terhadap Fachri membuat Aldrian menatapnya tajam.

"Oke, kalian nanti mampir ke kedaiku dulu. Saya traktir kalian." Ucap Aldrian tak mau kalah.

"Beneran Pak?" Tanya Meta antusias. Aldrian mengangguk membuat mahasiswanya bersorak. Khansa? Dia hanya tersenyum simpul.

Seperti janji Aldrian tadi, kesepuluh mahasiswa turun gunung itu langsung memenuhi meja di kedai milik Aldrian. Bahkan Aldrian ikut bergabung dengan mereka. Sekarang ia dan para mahasiswa sudah ngobrol santai. Tak lagi canggung seperti awal mereka bertemu. Mereka sharing masalah kuliah, niatan usaha, hobi bahkan hal pribadi.

"Pak, ngomong-ngomong kapan nih mau nikah? Kita siap jadi Bridesmaids nya loh." Tanya Rani.

"Sama yang dulu ketemu pas di sini itu to Pak?" Jojo menimpali.

"Tunggu aja undangannya. Kalian pasti kuundang."

"Beneran lho, Pak. Kalau bisa sebelum kita lulus. Kalau udah lulus dan pulang kampung, jauh kalau ke sini lagi." Meta ikut bersuara.

"Bapak ketemu dia dimana sih? Mbok saya dicarikan." Ealah Baim. Dia disoraki teman-temannya. Aldrian tertawa dan menjawab asal pertanyaan Baim. Yang lain bergantian bertanya pada Aldrian. Kecuali Khansa tentunya. Ia hanya ikut tersenyum melihat tingkah teman-temannya.

"Kamu nanti langsung pulang, Sa?" Tanya Fachri. Keduanya luput dari hiruk pikuk teman-temannya. Entah sengaja atau kebetulan, keduanya bisa duduk berhadapan di ujung meja. Awalnya Khansa tak masalah karena di dekatnya ada Rani. Ternyata Rani asyik menggoda dosennya bersama yang lain.

"Eh, iya."

"Ngga mampir kos dulu?"

"Ya, maksudku pulang ke kos. Capek kalau langsung pulang kampung."

"Aku antar."

"Eh? Ngga usah." Khansa gelagapan mendapat tawaran itu. "Aku bisa naik angkot."

"Kosmu kan jauh. Kata Hafidza kamu pindah. Bawaanmu juga lumayan banyak. Ini juga sudah sore. Mana ada angkot jam segini. Misalkan ada, pasti lama. Kamu ngga capek kalau harus nunggu?" Pertanyaan Fachri sangat rasional. Dan itu gambaran yang harus ia lalui beberapa menit nanti. Menunggu angkot menuju rumah Aldrian. Membayangkannya saja ia sudah lelah. Tapi diantar Fachri? Tidak bisa! Fachri tidak boleh tahu dimana dia tinggal. Lagipula tidak boleh ia diboncengkan oleh laki-laki lain. Duh, gimana ini? Pikir Khansa panik.

Keduanya tak sadar kalau interaksi mereka diperhatikan oleh sepasang mata tajam di ujung meja. Hafidza dan Rani saling sikut menyadari ada perubahan air muka sang dosen. Mereka tahu kemana arah tatapan tajam itu.

"Kamu kan juga capek. Sebaiknya kamu juga segera istirahat. Aku bisa minta tolong sepupuku untuk menjemput." Khansa tak tahu lagi bagaimana harus beralasan. Tiba-tiba ia teringat Zaky.

Menikah Tapi Pura-PuraTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang