Khansa ditemani Rani berkutat di perpustakaan saat jeda kuliah. Dia memanfaatkan waktu sebaik mungkin untuk belajar mempersiapkan kompetisi yang akan diikutinya. Jujur, konsentrasi Khansa benar-benar diuji. Dia harus kerja, kuliah, belajar untuk kompetisi dan juga pembicaraannya dengan Aldrian tempo hari telah membebani pikirannya. Ia juga kepikiran dengan kondisi Bu Lathifah. Beliau sudah berada di bangsal rawat inap. Kondisinya sedikit membaik. Meskipun anggota gerak sebelah kirinya mati, tak bisa digerakkan. Khansa telah beberapa kali mengunjunginya bersama Bu Rafika setelah pulang kerja.
"Khansa?!" Panggil Rani dengan setengah berbisik. Khansa terperangah. Ia bukannya belajar malah melamun.
"Hah? Ada apa?" Tanya Khansa dengan intonasi yang sama dengan Rani.
"Kamu seharusnya memanfaatkan waktu buat belajar, bukannya melamun." Jawab seseorang yang bukan Rani. Khansa makin terkejut. Sejak kapan Aldrian sudah berdiri di situ?
"P-Pak Aldrian? Anda sudah lama di sini?" Tanya Khansa kikuk. Aldrian mendengus pendek.
"Bahkan kamu tak melihat kedatanganku."
Khansa memandang Rani meminta penjelasan. Namun yang dipandang sama tak tahunya dan hanya menggeleng.
"Apa yang kamu pelajari?" Tanya Aldrian, mengambil tempat duduk di dekat Rani. Tepat di depan Khansa. Sang dosen memandang lekat mahasiswinya membuat suasana di sekitar mereka berubah dingin.
"Saya belajar latihan soal, Pak." Jawab Khansa tanpa berani memandang dosennya. Sebenarnya Khansa memang sengaja menghindari Aldrian. Ketika ke rumah sakit, dia datang saat Aldrian tidak mungkin datang. Lalu di kampus, sengaja dia menghindar jika tanpa sengaja akan berpapasan dengannya. Seharusnya hari ini ada jadwal bimbingan namun Khansa lagi-lagi absen dengan alasan mencari referensi di perpustakaan. Ditelepon, tak pernah diangkat. Dikirimi pesan, jika tidak berhubungan dengan kuliah tidak dijawab. Bahkan tidak dibaca. Aldrian sampai mupeng gara-gara gadis itu.
"Kamu sudah bisa?" Pertanyaan Aldrian mengintimidasi. Khansa menggeleng pelan, "Lalu kenapa tidak tanya? Sudah merasa paling bisa?"
Rani diam menyimak. Ia tak tahu masalah apa yang menimpa kedua orang di dekatnya namun feelingnya mengatakan ada sesuatu yang tidak baik dialami dosennya. Sehingga Pak dosen menumpahkan kekesalan pada mahasiswinya yang tak berdosa. Rani juga tak berani bertanya. Salah-salah, ia ikut kena marah.
"Mana yang membuatmu kesulitan?" Nada suara Aldrian sedikit melunak.
"Ini Pak. Bilangan kompleks. Semester ini kan saya belum dapat materi ini." Jawab Khansa seraya melungsurkan bukunya ke hadapan Aldrian. Aldrian membaca sejenak kemudian mengambil kertas hvs di meja dan selanjutnya ia menerangkan materi yang ditanyakan sedetailnya. Rani sampai melongo menyaksikan betapa kharisma dosennya menguar saat menjelaskan materi. Kecerdasannya seolah memancar dari kepalanya serupa cahaya matahari. Menyilaukan.
Rani sama sekali tak paham dengan penjelasan Aldrian. Sangat berbeda dengan Khansa yang anggut-anggut mengerti dan kadang menanggapi penjelasan dosennya. Terkadang bertanya, kadang menjawab. Kondisi ini membuat Rani merasa kehadirannya seperti vas bunga di atas meja. Ada, melengkapi namun fungsinya tak terlalu berarti.
"Emmm...Pak. Maaf, haruskah saya pergi?" Tanya Rani.
Aldrian sudah akan mengatakan iya namun Khansa lebih dulu mencegah. Aldrian paham, pasti Khansa tak nyaman jika berduaan dengannya dan takut menimbulkan rumor tak sedap di lingkungan mereka.
Sekitar setengah jam mereka berdiskusi. Rani sampai menyelesaikan separuh dari seluruh halaman buku yang ia baca. Ia lebih memilih membaca buku sendiri dibandingkan ikut memperhatikan penjelasan Aldrian yang tidak begitu ia mengerti. Ia heran, bagaimana Khansa bisa ngerti.
KAMU SEDANG MEMBACA
Menikah Tapi Pura-Pura
General FictionTerkadang cinta tak bisa disadari karena ia tak bisa disentuh, dilihat maupun didengar. Dia hanya bisa dirasakan walaupun halus sekali getarannya. (Khansa Avicenna) ### Khansa terkejut saat tiba-tiba seorang laki-laki tak dikenal mengaku sebagai sua...