17

51 3 2
                                    

Waktu penerjunan KKN telah tiba. Kelompok Khansa telah siap dengan berbagai barang bawaan. Kemarin mereka sudah membuat kesepakatan kelompok dimana setiap anggota diwajibkan stay di lokasi selama 40 hari penuh. Dan setiap anggota mendapat 1 kali jatah pulang secara bergantian.

Dahi Aldrian sedikit berkerut ketika mengetahui kesepakatan yang dibuat mahasiswanya. Tapi ketika dia protes dengan dalih bertanya, jawaban mahasiswanya cukup rasional. Jarak tempuh yang lumayan jauh membuat mereka sepakat dengan hal itu. Lagipula semua sudah setuju. Dan sebaiknya malah mereka tidak pulang sementara waktu. Toh hanya 40 hari.

Akhirnya Aldrian memprotes Khansa lewat pesan WhatsApp. Namun tentu saja itu tidak merubah apapun. Khansa tidak punya alasan untuk menolak. Selain itu, Khansa pikir ini kesempatannya untuk lepas sejenak dari kepura-puraannya menjadi istri Aldrian. Selama di rumah, ia merasa tertekan, kesepian dan jenuh.

Mereka berencana menuju lokasi dengan mengendarai sepeda motor. Fachri mengusulkan para cewek membonceng para cowok karena jalan yang akan mereka lalui agak terjal dan berkelok. Lokasi KKN mereka di daerah yang cukup terpencil.

Awalnya Khansa berharap Rani atau Hafidza tetap berani berkendara di depan. Namun ternyata mereka menyetujui usulan Fachri.

Bagaimana ini? Ia tak mungkin berboncengan dengan para cowok itu namun teman-teman wanitanya tak ada yang berani membawa motor sendiri.

"Mungkin ngga apa-apa, Sa. Bismillah. Niat kita kan baik. Kita ngga punya niat macam-macam. Fachri benar. Kita belum mengenal medan, akan lebih aman jika kita membonceng di belakang." Ucap Hafidza. Ia sebenarnya tak enak hati jika harus membonceng Jojo. Tapi mau bagaimana lagi.

"Ada apa ini? Belum berangkat?" Tanya Aldrian tiba-tiba muncul di parkiran.

"Ini siap-siap, Pak. Bapak berangkat bareng kita?" Sahut Jojo sambil mengancingkan kaitan helm.

"Iya. Akan lebih baik kalau saya datang bersama kalian. Lho, yang cewek tidak bawa motor?" Tanya Aldrian saat para mahasiswi bersiap di belakang para cowok. Dia melihat Khansa di samping Fachri.

"Medan yang dilalui agak sulit,Pak. Jauh juga, jadi saya menyarankan yang laki-laki saja yang membawa motor sedangkan yang perempuan membonceng." Jawab Fachri sopan.

Kening Aldrian berkedut. Itu artinya Khansa membonceng Fachri. Tidak boleh! Masa dia membiarkan istrinya berboncengan dengan laki-laki lain sementara dia ada di sana. Apalagi jalan yang ditempuh nanti berkelok dan tak rata, bisa jadi tanpa sengaja Khansa akan berpegangan pada bahu atau pinggang lelaki itu. Belum lagi kalau ngerem mendadak dan tubuh Khansa menubruk punggung orang di depannya yang berarti terjadi kontak fisik di antara mereka. Ia saja belum pegang-pegang, masa orang lain mendahuluinya. Tidak! Tidak boleh! Meskipun ia tak menganggap pernikahan mereka serius, tapi tetap saja itu salah. Dia memikirkan ide untuk mencegahnya.

"Bagaimana kalau yang perempuan bareng saya naik mobil? Kebetulan tidak ada penumpangnya." Aldrian menawarkan tumpangan dengan tulus. Para mahasiswanya saling pandang.

"Bapak tidak keberatan?" Tanya Khansa. Ia tampak sedikit lega dengan tawaran itu.

"Tidak apa-apa. Mobilnya kosong."

"Gimana?" Tanya Khansa pada teman-temannya.

"Aku setuju. Kalau boleh barang bawaan yang cowok kita bawa sekalian." Jawab Hafidza.

"Iya, silakan. Silakan masukkan ke bagasi." Jawab Aldrian.

Mereka bergerak, memasukkan semua barang bawaan ke bagasi. Lalu satu per satu masuk ke dalam mobil.

"Kita ketemu di balai desa ya." Seru Aldrian seraya tersenyum sebelum masuk mobil. Fachri hanya tersenyum tipis. Entah kenapa ia merasa dosennya sedang ingin bersaing dengannya.

Menikah Tapi Pura-PuraTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang