3 - Mencari Obat

2K 268 32
                                    

Aroma cokelat panas begitu menenangkan saat masuk ke indera penciuman perempuan dengan sweater rajut hitam. Di tengah ramainya cafe perempuan itu duduk sendiri dan hanya diam memandang ke arah luar melalui jendela.

Beberapa saat kemudian seorang pria pemilik kulit ber-tone tan duduk di hadapannya. Masih tak ada pembicaraan, hingga pada akhirnya salah satu dari mereka membuka suara.

“Jangan suka bengong. Ntar kesambet baru tau rasa.”

“Gue nggak bengong. Gue cuma-"

Zoya memotong kalimatnya, membuat Haidar mengangkat kedua alis. Pria itu lantas menghela napas pelan.

“Cari obatnya pelan-pelan. Lukanya nggak bakal kering kalo dibiarin gitu aja. Apalagi sering disentuh-sentuh, yang ada infeksi.”

“Dulu gue jadi obat, tapi sekarang justru gue yang butuh obat. Lucu ya.” Zoya terkekeh pahit di ujung kalimatnya.

Haidar memandang sendu perempuan di hadapannya, sosok yang diam-diam masih ia kagumi hingga detik ini.

“Itulah hidup. Nggak selamanya kita bakal baik-baik aja. Pasti ada saat-saat di mana kita jatuh terperosok. Yang perlu dilakukan adalah mencoba bangkit dari keterpurukan itu. Emang nggak mudah, tapi bukan berarti nggak bisa. Pilihannya cuma dua, mau mencoba atau memilih diam dan berakhir lebur.”

“Tapi, nggak semudah itu buat lupain dia dari hidup gue. Lo tau kan, Renza bener-bener berarti buat gue.”

Haidar terdiam. Ya, ia tahu posisi Renza di hidup Zoya itu sangatlah berharga. Bahkan sudah lima tahun dari kepergian Renza, Zoya masih belum bisa membuka hati untuk orang lain. Jangankan menerima sosok baru, bahkan hampir setiap hari gadis itu mengatakan bahwa dirinya merindukan seseorang bernama Renza.

Kepergian Renza memang menjadi luka tersendiri bagi setiap orang yang menayanginya. Pun dengan Haidar yang juga terluka atas meninggalnya sang sahabat. Pria itu juga seringkali merasa sesak saat mengingat Renza. Bahkan pertemuan pertama dengan Renza di gubuk bambu saat itu masih melekat jelas di ingatannya.

Seorang pelayan menghampiri meja mereka, dia mengatakan bahwa seseorang ingin menemuinya dan sudah menunggu di ruangan. Haidar lantas beranjak dan membiarkan Zoya berenang dalam kesenduan itu sendirian.

Di tahun ketiga kuliah Haidar ikut bergabung dalam membangun sebuah cafe bersama teman-temannya. Seiring berjalannya waktu ia banyak belajar dari tempat itu dan kini dirinya sudah memiliki usaha sendiri di beberapa tempat, termasuk cafe yang Zoya datangi sore ini.

Sudah menjadi kebiasaan bagi Zoya untuk menghabiskan weekend sore di cafe milik Haidar. Selain bisa melepas penat, di sini dia juga bisa banyak mengobrol dengan sahabatnya.

Haidar selalu menjadi tempatnya bercerita, apa pun masalahnya. Meskipun Renza telah menitipkan dirinya pada Juan, sosok Haidar masih menjadi yang paling nyaman untuk ia ajak bicara. Entahlah, menurutnya Haidar selalu bisa mengerti tentang hati dan kondisinya.

Ting

Satu pesan masuk ke ponsel milik perempuan yang sedang menyesap cokelat hangatnya. Tangannya lantas meraih benda pipih itu. Ia lantas masuk ke dalam room chat milik seseorang yang juga selalu ada untuknya.

Adelardo Juan

Kamu di rumah kan? Aku jemput ya.
Aku mau ajak kamu ke suatu tempat.
17.03

Aku lagi di luar, di cafe nya Haidar
17.04

Oke, aku ke sana
17.04

Thank You Juan | Lee Jeno [END]Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang