32. Diam, Harusnya Perhatikan!

1.4K 195 35
                                    

Galih memejamkan mata dengan dramatis. Seolah tidak ingin melihat kenyataan ketika Teguh berkata pada Rangga dengan teramat serius. Wajahnya, suaranya, bahkan sorot matanya dengan kompak memberikan keseriusan tiada tandingan.

"Tipe Bu Eri itu bukan yang cakep. Tapi, tipe beliau itu adalah tipe pengemong."

Rangga melongo dengan sendok di depan mulut. Ia menatap Teguh. Dahinya sedikit mengerut.

"Tipe p-pengemong?" tanya Rangga demi memastikan. "M-maksudnya Bu Eri suka–"

"Ga, kayaknya kami udah selesai makannya."

Galih tiba-tiba memotong perkataan Rangga. Ia buru-buru menarik Teguh untuk berdiri. Sontak membuat sekretaris kedua Satria itu kebingungan.

"Gado-gado aku, Lih. Aku belum selesai," protes Teguh tak terima. "Telornya aja belum aku sentuh."

Galih mendelik. "Cowok kok suka telor?"

"Hah?!" kesiap Teguh.

Untuk kedua kalinya dalam kurun waktu tak lebih dari lima menit, Galih memejamkan mata dramatis. Ia merutuk di dalam hati dan menyambar garpu di piring gado-gado. Menancapkannya pada sebutir telur rebus dan menyodorkannya pada Teguh.

Tepat pada saat itu, Teguh masih berada di detik terakhir kesiapnya. Mulut cowok itu dalam keadaan membuka dan Galih langsung melesakkan telur tersebut ke mulut Teguh tanpa basa-basi.

Bola mata Teguh membesar. Telur memenuhi mulutnya dan ia sontak megap-megap. Tapi, Galih tanpa perasaan justru bertanya.

"Udah kan telornya? Kalau gitu, ayo kita balik ke atas sekarang."

Galih menaruh kembali garpu tersebut dan tak lupa mengucapkan permisinya pada Rangga. Dengan tergesa-gesa, ia pun menarik Teguh pergi dari sana.

"M-mereka ...."

Rangga kebingungan melihat sikap Galih dan Teguh. Hingga beberapa detik berlalu dan ia meraba tengkuknya sendiri. Perkara telur dan interaksi mereka berdua membuat firasat tak enak mengisi benaknya.

"Apa penghuni lantai itu semuanya nggak beres ya?"

Teguh pun berpikir demikian. Tepat ketika Galih menyeret dirinya untuk kembali ke lantai di mana mereka bekerja tanpa ada penjelasan apa pun. Lebih dari itu Galih pun seolah menutup mulut untuk penderitaan Teguh yang diakibatkan oleh sebutir telur.

Teguh menebalkan wajah. Ketika ia harus berpapasan dengan banyak orang sementara mulutnya menggembung besar. Astaga. Teguh benar-benar berjuang untuk mengunyah telur itu.

Maka tidak aneh rasanya bila sampai di lantai tujuan, Teguh langsung menghambur ke pantry. Ia membuka kulkas dan menuang segelas air dingin untuk meredakan aneka rasa di tenggorokannya.

Serat. Kering.

"Ya Tuhan," desah Teguh lega. "Aku pikir aku bakal putus napas."

Suara langkah membuat Teguh menoleh. Galih melewati ambang pintu dan Teguh langsung berdiri. Wajahnya menyiratkan kalau ia tidak terima dengan perbuatan rekannya itu.

"Maksud kamu apa?" tanya Teguh tanpa tedeng aling-aling.

Galih membalas. "Kamu itu yang maksudnya apa? Pakai acara ngomong begitu sama Rangga soal Bu Eri."

Emosi Teguh terjeda. Mulutnya mengatup dan bola matanya bergerak-gerak abstrak. Berpikir dan merenung ketika Galih justru kembali berkata.

"Walaupun kamu ngomong tipe pengemong, aku jamin. Rangga pasti mikir om-om."

Dahi Teguh mengernyit. "Kan memang begitu."

"Kamu ... wah!"

Galih membuang napas panjang. Ia berkacak pinggang dan melihat sekeliling untuk sesaat.

[Masih] Sekantor Tapi Menikah 🔞 "FIN"Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang