"Hahaha."
Tak ada hujan tak ada angin, mendadak Eriana tertawa seorang diri. Bertempat di pantri dengan secangkir teh yang baru saja ia buat.
Ehm imutnya. Satria kenapa imut banget ya?
Sama sekali tidak berniat untuk mengingat, tapi bagaimana lagi? Mendadak saja kejadian semalam berkelebat di benak Eriana. Saat Satria yang kembali mengenakan celana dan langsung merebahkan tubuh di tempat tidur. Menarik selimut dan memejamkan mata dengan cemberut.
Usut punya usut, Eriana akhirnya tahu apa yang terjadi. Tak perlu ditanya, tawanya meledak dan Satria makin uring-uringan.
Namun, setidaknya Eriana bersyukur. Mungkin karena itulah mengapa Satria tidak mendebat keinginan Eriana untuk menuntaskan dua minggunya. Bahkan Satria pun meyakinkan keluarga mereka.
Jadi rasanya wajar sekali bila Eriana kerap teringat kejadian itu. Apalagi ia pun tidak keberatan sama sekali untuk terus tersenyum geli seorang diri. Bagaimana ya? Bagi Eriana, itu benar-benar kejadian langka yang akan selalu ia ingat sepanjang masa.
"Jangan kelelahan. Jaga makan dan istirahat. Langsung pulang kalau merasa nggak enak."
Tuntas mengatakan itu, Satria membuang napas. Lalu balik badan. Membelakangi Eriana yang susah setengah mati untuk menahan tawa.
Tentunya Eriana tidak akan memanfaatkan kesempatan langka tersebut. Alhasil ia beringsut. Mendekati Satria, memegang pundaknya, dan berbisik.
"Jadi ... nggak apa-apa kalau delapan jam?"
Cuma suara decakan Satria yang terdengar. Ia menggerakkan tangan hingga sentuhan Eriana bergeser.
Kikik Eriana terdengar lagi. Namun, ia belum berhenti.
"Apa menurut kamu ... sekali-kali kita perlu pake kostum gitu?" tanya Eriana seraya mengulum geli. "Aku pura-pura jadi pasien deh. Biar bisa lilit-lilit seksi sama selang infus."
Di lain waktu, tentunya itu akan menjadi imajinasi yang menggairahkan. Namun, bukan sekarang. Nyatanya bukan hasrat yang memercik. Alih-alih geli makin membuat perutnya tergelitik.
Satria tidak mengatakan apa-apa. Masih memasang mode ketus yang sama sekali tidak membuat Eriana merasa takut atau apa, malah sebaliknya.
Tak hanya memegang pundak Satria, sejurus kemudian Eriana malah mendaratkan kepalanya di sana. Teramat sengaja memanggil dengan suara yang mendayu-dayu.
"Sat."
Satria berdecak samar. "Aku mau tidur."
"Ih, jangan ngambek ah," ujar Eriana geli. "Kan aku nggak salah."
Tentu saja bukan salah Eriana. Pun bukan salah Satria bila cowok itu berpikir ke mana-mana. Lagi pula memang begitu kan Eriana? Kerap memikirkan hal mesum dan apa pun bisa saja mengarahkannya pada hal-hal bernuansa intim.
Satria hanya belajar dari pengalaman. Walau sayangnya, ia keliru.
"Aku nggak ngambek."
Eriana kembali mengulum senyum. Khawatir kalau tawanya akan meledak kembali.
"Kalau nggak ngambek," lirih Eriana kembali. "Kenapa boboknya gini?"
Ih! Eriana sudah hampir melupakan kosakata yang satu itu. Bobok? Astaga! Ia dan Satria bukan lagi ABG labil yang sok-sok imut. Namun, sepertinya kali ini ada pengecualian.
"Nggak mau peluk Dedek, Kak?"
Sudahlah! Eriana tak tertolong lagi. Tawanya kembali meledak dan membuat Satria membuka mata.
KAMU SEDANG MEMBACA
[Masih] Sekantor Tapi Menikah 🔞 "FIN"
RomanceJudul: [Masih] Sekantor Tapi Menikah Genre: Romantis Komedi Dewasa (18+) Status: On Going (Sekuel dari 'Sekantor Tapi Menikah') Cerita Ketiga dari Seri "Tapi Menikah" Buat yang belum dewasa, sangat tidak disarankan untuk membaca! ******************...