Part 37 || SM

493 23 0
                                    

"Saya terima nikahnya Hajar Fathimatuzzahra binti almarhum Muhammad Ghani, dengan maskawin 35 gram emas dan seperangkat alat sholat, di bayar tunai."

"Bagaimana para saksi, sah?"

"Sah." Semua keluarga dekat yang ada di sana mengucapkan itu dengan tegas dan penuh rasa syukur.

"Alhamdulillah. Segala puji, bagi Allah." Fathur mengusap wajahnya dengan kedua telapak tangannya, lalu membacakan doa dan mengusapkan itu ke pucuk kepala Hajar yang sekarang sudah resmi menjadi istrinya itu. Hajar tersenyum, dan mencium tangan Fathur. Fathur mencium dahi Hajar, dan kedua pipi gadis itu.

Umma memandang mereka dengan kebahagiaan yang sangat. Beliau bersyukur putri satu-satunya itu, jatuh di tangan laki-laki yang tepat. Di tangan Fathur, laki-laki baik yang dulu sangat di sayang oleh suaminya sewaktu kecil.

Beliau sangat ingat, bahwa ketika Fathur lahir pun, almarhum suaminya yang mengazankan. Karena dulu ayahnya Fathur berada di mekkah untuk berhaji.

"Abbas, andai kamu ada. Pasti kamu sangat bahagia sekarang, melihat adik perempuan kecilmu ini menikah lebih dulu darimu, Nak." Batin Umma.

Acara sungkeman pun di langsungkan, mereka bersalaman dengan penuh haru. Dua keluarga yang sudah lama rukun itu, kini akan semakin rukun karena mempunyai ikatan yang begitu kuat.

Aldo, Fernan, dan Khalid yang menyaksikan itu turut ikut berbahagia. Tetapi, mereka sempat saling memandang. Bagaimana jika Abbas sadar dan tahu akan semua ini?

"Abbas bukannya udah suka Hajar dari lama ya?" bisik Aldo kepada Fernan.

Fernan hanya diam, dan beberapa selang menjawab, "Kalau Umma sudah menikahkan Hajar sama orang lain, berarti ... selama ini Umma sangat menganggap Abbas adalah seorang anak, yang bukan untuk di jodohkan."

Aldo tersenyum kecil, lalu mengangguk.

"Umma lebih tahu segalanya tentang mereka berdua, mending kita enggak usah komen apa-apa." Tambah Fernan.

Khalid dan Aldo hanya diam, dan menyetujui ucapan Fernan. Mereka juga tidak tahu persis bagaimana perasaan Abbas ke Hajar.

Ya, walaupun selama ini hanya Hajar yang Abbas beri respon berbeda, bukan berarti juga Abbas mencintai Hajar kan? Bisa saja, karena merasa seperti saudara.

"Doain yang terbaik buat mereka aja, Fathur juga orang yang baik. Cewek kayak Hajar enggak mungkin dapat laki-laki yang sembarangan." Ujar Khalid, dan di balas anggukan oleh Aldo dan Fernan.

Kini giliran mereka yang maju untuk bersalaman kepada sepasang kekasih itu.

"Selamat Hajar, Fathur. Langgeng terus ya." Ujar Khalid lalu tersenyum kepada mereka berdua.

"Doa gue, sama kayak Khalid ya." Tambah Aldo, lalu terkekeh pelan.

"Selamat ya, Jar. Selamat juga Fathur." Ucap Fernan lalu tersenyum menampilkan deretan giginya.

"Aamiin, makasih ya. Kalian udah luangin waktu kesini. Semoga doa nya kembali juga ya ke kalian, ketika kalian punya pasangan nanti." Kata Hajar, lalu tersenyum sopan.

"Thur, liat betapa baiknya istri lo. Pas nikah aja ngedoain orang jomblo kayak gue." Ujar Aldo, membuat Fathur terkekeh pelan.

"Ingat-ingat, Do. Istri orang." Sindir Khalid, lalu menyenggol lengan Aldo dengan lengannya.

"Ingat kok, ya kali pas mereka di pelaminan gini gue amnesia." Sahut Aldo tak mau kalah.

Fathur dan Hajar hanya memaklumi perilaku teman mereka yang satu ini.

"Jangan lupa datang pas resepsi nanti ya."

***

Beberapa kali, Fathur dan Hajar membesuk Abbas yang masih koma tersebut. Fathur melihat raut wajah Hajar yang sedih ketika melihat Abbas terbaring, entah kenapa membuat perasan cemburu ada di hatinya.

Fathur merangkul istrinya itu, "Udah, kita cari makan dulu ya. Terus kerjain tugas kuliah kamu." Lembut Fathur.

Hajar menggeleng lemah, "Bisa enggak, makan di sini aja? Aku masih mau sama Abbas."

Fathur menghembuskan napasnya pelan, "Yaudah, kamu tungguin sini dulu ya. Nanti aku kesini lagi. Jangan kemana-mana."

Hajar menatap Fathur, lalu tersenyum. Fathur mencium pipi Hajar, lalu Hajar mencium tangan Fathur. Fathur pun pergi, dan Hajar duduk di kursi tunggu di depan ruangan berkaca transparan itu.

Fathur yang baru saja memasuki mobilnya, lalu terdiam sesaat. Kenapa ia jadi begini? Bukankah, Abbas adalah laki-laki yang selama ini menjaga Hajar selama dia di Mesir? Lalu untuk apa dia berlebihan seperti ini. Fathur harusnya tahu terimakasih, dan memaklumi ini semua. Kebahagiaan Hajar adalah kebahagiaannya, dan kesedihan Hajar, adalah hal yang harus di bahagiakan.

"Ya Allah, jauhkan Hamba dari perasaan buruk ini." Lirihnya.

Fathur pun mulai memasang sabuk pengamannya, dan ia pun menancap gas untuk pergi mencari makanan.

Setelah sampai di sebuah restoran, ia memesan sebuah stik sapi panggang kesukaan istrinya itu. Dan kentang goreng, yang akan membuat mood Hajar menjadi senang kembali. Membayangkan senyuman Hajar ketika ia memberikan makanan ini saja, sudah membuat Fathur senang.

Tapi ... apakah Abbas sudah mengetahui ini juga?
Huh, Fathur menghembuskan napasnya lagi. Entahlah, rasa cemburu ini selalu saja meningkat semenjak ia menjadi suami Hajar. Ia hanya ingin, istrinya itu hanya mencintainya seorang, hanya menyayanginya. Egois kah, Fathur?

Fathur pun memesan makanan untuk di bungkus dan duduk di kursi yang di sediakan.

"Sumpah, jahat banget tuh cewek! Masa mentang-mentang pacarnya udah sembuh dari koma, dia malah ninggalin lo?" tegas seorang perempuan dengan suaranya yang terdengar nyaring di telinga Fathur.

Fathur pun menoleh ke arah belakang sebelah kanan, ia melihat seorang gadis dan seorang laki-laki berdua di sana.

"Enggak apa, Vin. Gue enggak papa banget, dia baik, cuma ... gue aja yang terlalu berharap dia bakal sama gue. Padahal, dia sama gue cuma karena cowoknya koma, dia kesepian." Ujar laki-laki berbicara pada perempuan yang dia panggil, Vin itu.

"Tapi enggak gitu juga kali, lo juga punya perasaan. Memang dia ngerasa secantik apa sih, sampai mempermainkan dua cowok sekaligus? Sumpah, gue habis pikir banget sama cewek kayak gitu."

"Udah, Vin. Gue udah ikhlas kok, sekarang dia udah mau nikah sama cowoknya yang baru sembuh itu, gue seneng banget dia udah nemu jodoh dia."

"Ge, gue harap lo dapat yang lebih baik dari dia."

Mendengar percakapan itu, membuat perasaan Fathur menjadi sangat tidak karuan. Dia memejamkan mata, lalu berdzikir. Ia yakin, ini hanya kebetulan. Ini bukan apa-apa, bukan tanda apapun, ini hanya kebetulan! Istrinya, jauh berbeda dengan gadis di cerita itu.

"Stik sapi panggang dan kentang goreng atas nama Tuan Fathurrahman?"


Syahdu Mahabba Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang