Malam hari, di kamar.
"Abbas itu orangnya baik banget, dia jadi perantara Allah untuk menjaga aku selama ini. Aku senang, dan aku sedih dia enggak kunjung sadar." Hajar menangis sambil terduduk di kasurnya.
Fathur menghampiri gadis itu, lalu memeluknya. Dan menenggelamkan kepala Hajar di dada bidangnya. Fathur mengelus pucuk kepala istrinya itu dengan lembut.
"Sabar, sayang." Ucap Fathur, hanya itu yang dapat ia katakan. Walaupun hatinya cemburu berat, dan sakit atas keluhan Hajar tentang Abbas. Ia akan tetap menenangkan istrinya.
"Dia enggak punya siapa-siapa, tapi dia yang menjaga aku sama Umma. Masalalu dia kelam luar biasa, Thur. Aku aja enggak sanggup kalau jadi dia. Aku takut, Thur." Tangis Hajar memecah, Fathur merasakan bajunya basah di sana, Fathur mengeratkan pelukan itu.
"Apa yang kamu takutin, Hajar? Allah bersama, Abbas. Kasih sayang Allah ke Abbas, itu jauh lebih besar. Jadi tidak ada yang perlu di takutkan, Sayang. Sudah, jangan nangis." Lembut Fathur.
"Aku takut ..." Hajar terdiam, dan menjeda sebentar, "Aku takut Abbas meninggal." Tangisnya semakin keras, Fathur bisa merasakan itu. Hajar terisak, rasa takut istrinya itu membuat Fathur ikut khawatir.
"Istigfar, Hajar. Istigfar ... istigfar, sayang. Astagfirullah ..." Beberapa kali Fathur menuntun istrinya itu untuk beristigfar, Hajar yang tadi terisak. Kini ikut mengucapkan kalam Allah tersebut.
Fathur menepuk-nepuk pundak istrinya itu secara perlahan. Tidak lama, isakan itu mereda. Dan Fathur menemukan gadis itu tertidur.
Fathur tersenyum, namun sakit juga ia rasakan. Entah mengapa, ketika Hajar menyebut nama Abbas saja sangat membuatnya sakit.
"Aku tahu, Hajar. Selama ini, Abbas yang menjaga kamu. Tapi ... selama ini, aku juga menjaga kamu dengan doa-doa ku. Aku juga menyayangi kamu, walaupun yang aku lakukan tidak sebesar Abbas. Tapi rasa sayang aku ke kamu sama besarnya, atau mungkin lebih besar, Sayang." Fathur memejamkan mata, tidak terasa air matanya menetes.
Fathur merebahkan istrinya itu ke kasur, dan menyelimutinya. Lalu mencium wajah istrinya itu. Hajar sangat cantik, itulah yang pertama ada dalam pikiran Fathur. Keberuntungan yang luar biasa, dapat memiliki gadis terjaga seperti Hajar.
"Aku sayang sama kamu. Allah juga pasti tahu, rasa sayang aku ke kamu melebihi diriku sendiri." Ucap Fathur, lalu tersenyum.
Fathur keluar dari kamar, lalu ia mengetuk pintu kamar Umma yang ada di depan. Ia ingin bicara dengan ibu mertuanya itu.
"Assalamualaikum, Umma. Fathur boleh bicara sebentar enggak?" ujar Fathur, sembari mengetuk.
Clek
Pintu terbuka, "Waalaikumsalam. Mau bicara apa, Nak?" tanya Umma, lalu berjalan ke kursi ruang tamu. Fathur hanya mengikuti Umma, dan ikut duduk ketika ibunya itu duduk.
Ketika sudah sama-sama duduk, Fathur menunduk. Ia merasa malu, dan merasa seperti anak kecil sekali kalau berbicara tentang ini. Tapi, hal ini tidak bisa ia tahan. Sangat menyakiti hatinya, membuatnya sesak.
"Sebelumnya, Fathur minta maaf kalau yang Fathur bicarakan ini terlalu berlebihan. Tapi, Fathur cuma mau mengadu satu hal ke Umma, sebagai orangtua kandung Hajar." Ucap Fathur.
"Kalian ada masalah?" tanya Umma.
Fathur menggeleng cepat, "Enggak ada, Umma. Ini cuma ... Fathur yang bermasalah sih tepatnya." Jawab Fathur, Umma hanya diam dan bersiap mendengarkan.
"Fathur ... cemburu, setiap kali Hajar bercerita tentang Abbas. Fathur tau kok, tau banget malah kalau Abbas adalah orang yang selama ini menjaga Hajar, yang sama-sama terus dengan Hajar karena Umma sendiri kan yang mengizinkan mereka? Tapi di sini, Fathur sebagai suami. Merasakan cemburu juga, ketika Hajar membicarakan laki-laki lain di depan Fathur. Biarpun ... itu adalah Abbas." Jelas Fathur, masih dengan menunduk. Ia tidak berani menatap ibu mertuanya itu, rasa malu ... itulah yang ia rasakan.
Umma tersenyum, mendengar penjelasan dari menantunya ini.
"Fathur ..." panggil Umma, membuat Fathur mendongak dan menatap Umma.
"Kamu mau dengar penjelasan umma, enggak?" tanya Umma.
Fathur tersenyum, "Mau banget, Umma." Jawabnya.
"Abbas dan Hajar itu saudara se susu, Nak." Ucap Umma, membuat Fathur lumayan terkejut mendengar itu.
"Kenapa selama ini, Umma membiarkan Abbas dan Hajar untuk berkomunikasi bebas? Karena, Abbas adalah muhrimmya Hajar, begitu juga sebaliknya. Dari sesama mereka juga Umma tahu betul, rasa sayang mereka hanya sebatas saudara." Jelas Umma.
"Kalau bukan muhrim, tidak mungkin Umma membiarkan Abbas datang kerumah. Tidak mungkin Umma menyuruh Hajar mengantarkan makanan ke rumah Abbas. Tapi, karena mereka punya hubungan darah. Umma tidak pernah mempermasalahkan itu. Lagian, Hajar juga tahu bahwa mereka saudara sesusu." Tambah beliau.
Setelah mendengar penjelasan itu, perasaan Fathur langsung lega.
"Tapi, kenapa Hajar enggak pernah ngasih tau Fathur?" tanya Fathur lagi, meskipun lega. Masih banyak pertanyaan yang ada di kepalanya.
"Kamu ada nanya dia enggak?" tanya Umma balik, "Hajar itu, tidak akan menjelaskan kalau tidak di tanya."
Fathur tersenyum malu, "Maaf, Umma. Mungkin, karena Fathur terlalu berfokus pada rasa cemburu Fathur, sampai lupa nanya."
"Pernikahan itu adalah sunnah seumur hidup, Nak. Cobaannya banyak, jangan sampai jiwa kamu di penuhi dengan rasa curiga dengan istrimu kalau kamu tidak ingin tahu kebenarannya." Tegur Umma, "Abbas itu adalah seorang kakak, bagi Hajar. Makanya, dia selalu sedih ketika apapun yang menimpa Abbas. Umma harap, kamu mengerti ya."
Fathur tersenyum dan mengangguk, "Terimakasih, Umma."
"Terimakasih juga kamu sudah bicara soal ini, jadi kamu bisa paham. Dan tidak akan terjadi kesalah pahaman apapun di antara kalian." Kata Umma, lalu beliau tersenyum juga. "Hajar mencintai kamu, Nak. Ingat itu."
"Iya, Umma. Fathur juga mencintai Hajar."
***
Enggak boleh, enggak terima ya. Kadang begitulah, semua rasa sayang tidak harus sebagai pasangan.
KAMU SEDANG MEMBACA
Syahdu Mahabba
Fiksi UmumAbbas Musa Al-Akbar, lelaki tampan dan muallaf pada umurnya ke- 7 tahun. Hobinya mabuk-mabukan, tetapi tak pernah meninggalkan sembahyang. Ia tahu, khamar itu haram, namun tetap terus di lakukan. Sangat kaku, hidupnya di penuhi dengan kesibukan. Tid...