Monnie sudah menerima jadwal dari Penerbitan Xinerva untuk datang. Wanita itu pun mengosongkan jadwalnya untuk datang ke sana.
Monnie mengenakan pakaian yang bermerk, karena ia memang mampu membeli dari hasil kerja kerasnya. Walaupun karyanya tidak pernah diterbitkan dan dijual di toko buku, ia memiliki penghasilan yang banyak dari Platform digital.Monnie tiba di gedung yang kabarnya, gedung itu milik suami Wyne. Gedung yang memiliki sepuluh lantai itu dipakai untuk perkantoran. Tetapi, Hide memberikan satu lantai untuk dijadikan kantor Penerbitan milik Wyne.
Monnie diinterview oleh salah satu editor di sana. Wanita itu sempat merasa heran dengan prosedur ini. Baginya cukup aneh dan tidak masuk akal. Sejak awal juga tidak dijelaskan bagaimana bentuk kerjasamanya. Namun, karena tujuan utama Monnie adalah balas dendam, maka ia menjalani setiap prosesnya dengan tenang. Ia akan ikuti semuanya sampai ia bisa bertemu dengan perempuan itu.
Setelah proses interview selesai. Monnie diberi salah satu novel. Ia diminta membacanya sampai habis, atau setengahnya saja. Lalu, wanita itu diminta untuk melanjutkan novel tersebut versi dirinya sendiri. Sampai pada tahap itu, Monnie belum bisa menyimpulkan apa pun. Ia mengerjakannya dengan cepat. Ia sudah seharian ada di gedung ini. Cukup melelahkan.Pukul lima sore, tugas yang diberikan selesai. Monnie cukup kelelahan karena ia harus melawan waktu. Ia tidak mau berlama-lama lagi di sini. Jemarinya juga begitu pegal karena mengetik dengan cepat. Ia menyerahkan pada staf di sana dan pamit pulang. Katanya, mereka akan menghubungi jika Monnie dianggap lolos. Entahlah, Monnie tidak peduli. Ia akan mencari cara lain jika ia memang tidak diterima. WNita itu bergegas keluar gedung.
Langkahnya melambat saat melihat sepasang suami istri berjalan di depannya. Senyum kecutnya mengembang. Monnie melihat Hide dan Wyne bergandengan menuju mobil yang menunggu di lobi. Monnie tersenyum sinis."Bahagia sekali, ya, kalian." Monnie bersedekap."Wyne, seandainya kau tidak melibatkan keluargaku, aku tidak akan merusak kebahagiaanmu. Sorry, Wyn. Bersiaplah untuk menerima apa yang kau tabur selama ini. Jika karma tidak menghampirimu, aku yang akan menjemput karma itu dan melemparnya padamu."
"Say!" Bibi datang mengamit tangan Monnie.
Monnie menoleh."Ya?"
Bibi terkekeh."Ayo pulang. Aku udah nungguin dari tadi. Lamaaa~" protes pria itu sambil mengipas lehernya dengan tangan.
"Memang nggak masuk akal, sih tugas yang dikasih mereka. Bikin lapar aja." Monnie berjalan ke arah mobilnya yang sudah di lobi. Ia segera naik diikuti oleh Bibi.
"Kira-kira kau akan bergabung dengan mereka tidak?"
Monnie mengangkat kedua bahunya."Entahlah. Setidaknya banyak jalan menuju Roma. Aku capek. Ayo kita makan enak. Aku nggak mau terlalu membahas mereka. Memuakkan saja."
Bibi mengangguk, lalu memberi petunjuk pada Sopir ke tempat yang akan mereka tuju.
Monnie menghempaskan tubuhnya. Punggungnya terasa nyaman merasakan kursi yang empuk. Ia mengambil iPad miliknya yang dibawakan oleh Bibi. Ia perlu mengecek akun menulis miliknya. Ia ingin membaca komentar pembaca. Terkadang hal seperti ini membuat rasa lelahnya sedikit berkurang. Ia sudah berada di titik yang ia inginkan dulu. Walaupun orang hanya mengenal karyanya, ia sudah merasa bahagia dan puas.
"Kenapa Willy berkomentar di sini." Monnie mendecak sebal.
Bibir terkekeh."Dia akan melakukan apa pun supaya kau bisa mengingatnya. Setidaknya dengan begitu, kau bisa sadar bahwa ada laki laki baik hati bernama Willy."
"Kau harus ingatkan padanya, jangan menggangguku seperti ini. Aku merasa tidak enak. Dia terlalu baik. Aku sedang fokus pada hal lain."
"Aku sudah mengatakannya. Tapi, mana bisa aku menahan pria yang sedang jatuh cinta. Cobalah untuk meresponnya sesekali. Balas saja chatnya. Jadi, dia tidak perlu mengganggumu di ruang publik."
"Ah, aku mengerti." Monnie meraih ponselnya dan membalas pesan William. Tak berapa lama wanita itu kembali mendecak,"dia semakin gencar mengirimiku pesan."
"Willie orang yang sibuk. Dia tak akan punya banyak waktu. Nanti juga akan berhenti sendiri."Bibi, selalu saja menjadi penengah di antara keduanya. Willy yang terlalu cinta dengan Monnie. Lalu, Monnie, tidak peduli dengan apa itu cinta. Ia terlalu serius dalam bekerja dan membalaskan dendamnya pada Wyne.
"Baiklah." Monnie mengalah. Setidaknya ia harus bersikap baik pada pria yang sangat baik padanya.
"Kapan mereka akan memberi kabar?" Bibi masih penasaran dengan apa yang sedang dijalani oleh Monnie.
"Tampaknya mereka akan menghubungi jika aku diterima."
"Kau sudah siap akan hal itu?aku yakin, kau akan terpilih. Karena kaulah penulis sesungguhnya." Bibi terkekeh.
Monnie mengulum senyumnya. Jika perkiraan Bibi memang benar, jalannya akan semakin mudah."Aku tak sabar melihat Wyne secara langsung. Lalu kami bicara sebagai partner kerja. Apakah aku akan sedih atau akan semakin bersemangat."
"Sebenarnya hidupmu sudah bahagia sekarang, kan, Mon?"
Monnie mengangguk."Iya. Tapi, tampaknya karma itu belum menghampiri Wyne. Aku yang akan memberikan karma itu secara langsung. Sudah cukup senang-senangnya, Wyn. Perbuatanmu bahkan lebih kotor dari kotoran Binatang."
"Kau bisa mengatur emosi saat bersamanya, kan? Aku tidak boleh muncul di hadapan mereka. Jika kau butuh bantuan bagaimana? Sejujurnya aku sedikit mengkhawatirkan soal itu."
Monnie menatap Bibi dengan tawa geli."Kau atau Willy yang khawatir?"
Bibi memutar bola matanya."Kau ini! Aku sungguh mengkhawatirkanmu. Bagaimana kalau kau ketahuan? Lalu, kau akan disingkirkan seperti dulu."
Monnie menggeleng."Itu tak akan terjadi. Aku tidak akan kalah."
"Apa aku perlu membayar orang untuk menjadi pengawalmu?"
Monnie memeluk Bibi."Sungguh tidak perlu. Terima kasih sudah mengkhawatirkanku."
"Ah, anak ini." Hati Bibi langsung luluh mendapatkan pelukan wanita itu. Ia sunggu tidak bisa jika itu tentang Monnie. Ia akan melakukan apa pun demi sahabatnya tersebut.
💌

KAMU SEDANG MEMBACA
MUST BE A HAPPY ENDING
Romance⚠️ 21+ Cerita berisi banyak adegan yang membuat tidak nyaman. Bagi, Wyne Xynerva, ada dua cara untuk mendapat posisi tertinggi. Pertama, bekerja keras. Kedua, dengan menjatuhkan pesaingnya. Obsesinya membuat ia memilih jalan kedua. Ia menyingkirkan...