Tujuh

1.2K 149 12
                                        

Willy melambaikan tangan dengan raut wajah sedih. Ia harus benar-benar pergi sekarang. Ia kembali terpisah dengan Monnie. Saat ini mereka ada di Bandara. Willy meminta Monnie mengantarkannya. Sepanjang jalan pria itu tak melepaskan pelukan dan selalu menciumnya.
Willy akan boarding. Lelaki itu tak melepaskan pandangannya dari Monnie yang melambaikan tangan dari kejauhan.

"Lihatlah, dia seperti mau menangis."Bibi tertawa sambil menutup mulutnya.

Dia memang sudah menangis di Hotel sebelum menuju ke sini,"balas Monnie dengan senyum yang tak pernah berhenti mengembang. Setidaknya ia harus membuat Willy oergi dengan tenang. Lalu, ia akan menjalankan rencana dengan tenang pula.

"Dilihat dari jarak seribu meter pun, orang udah tahu kalau dia itu pengen nangis sekencang-kencangnya. Apa lagi semalaman kalian bersama. Memadu kasih, cinta, dan mengadon anak."

Monnie melirik tajam."Kami tidak mengadoni anak, kami hanya bertukar peluh dan saliva."

Bibi mendecih mendengar bahasa Monnie."Terdengar menjijikkan."

Monnie menarik napas dalam-dalam."Apa barang-barangku sudah disiapkan semua?"

Bibi mengangguk,"semua yang kaubutuhkan sudah kusimpan di mobil."

"Kalau begitu, ayo kita pergi ke Istana Ratu Wyne Xinerva. Kita lihat, apakah dia masih bisa menjadi Ratu setelah ini." Monnie tersenyum licik. Ia memutar badan, melangkah tegak dengan dagu terangkat. Ia dan Bibi ke mobil dan segera menuju kediaman Wyne. Mereka telah membuat janji untuk bertemu siang ini.

Perjalanan cukup panjang karena mereka harus terjebak kemacetan. Tetapi, mereka tiba di kediaman Wyne tepat waktu.

"Sudah sampai, aku hanya menurunkan barang-barangmu, lalu cuss pergi." Bibi mengenakan kaca mata hitam dan topi untuk menyamarkan dirinya.

Monnie mengangguk."Oke. Aku akan menghubungi kalau terjadi sesuatu."

Bibi mengusap kedua pundak Monnie."Berhati-hatilah dan selamat bertugas." Usai mengatakan demikian, Bibi pergi bersama mobilnya.

Monnie berdiri di depan pintu. Ia terdiam beberapa saat. Rumah Wyne benar-benar seperti istana. Ternyata apa yang ditulis oleh media memang benaf adanya. Wanita itu sangat beruntung karena mendapatkan segalanya.

Monnie menarik napas panjang. Ia memencet bel. Tak lama kemudian wanita muda berseragam khusus menyambutnya. Monnie langsung berpikir bawah orang itu adalah 'maid'. Seperti dalam novel-novel khayalan.

"Saya Monnie, sudah punya janji dengan Ibu Wyne."

"Silakan masuk. Ibu sudah menunggu. Mari saya antarkan ke ruangannya."

Monnie mengangguk sambil menyeret dua koper besarnya.

"Biar kami bawakan kopernya, Bu."

Dua wanita datang dengan cepat sambil mengambil alih koper Monnie. Persis seperti dugaannya. Mereka adalah pelayan di rumah ini. Monnie ingat betul kalau impian Wyne adalah menjadi ratu di kerajaan yang ia bangun sendiri. Ia ingin memiliki banyak maid berseragam. Lalu, ia menjalani hidupnya dengan kebahagiaan dengan Pangeran tampan dan kaya raya. Wanita itu mendapatkannya sekarang.

Monnie mengikuti pelayan yang menyambutnya pertama kali. Pintu diketuk dan terdengar suara dari dalam mempersilakan masuk. Monnie melangkahkan kaki ke ruangan itu. Ia sempat tertegun melihat sepasang manusia di dalam sana. Namun, sedetik kemudian Monnie mengubah ekspresinya.

"Hai, Monnie!"Wyne menyambut Monnie dengan semringah. Bahkan kali ini ia memberikan pelukan hangat pada Monnie. Monnie tersenyum kaku. Rasanya sangat aneh ada di situasi ini.

"Maaf, Bu, saya terlambat."

Wyne menggeleng."Tidak terlambat sedikit pun. Kau sudah membawa barang-barangmu?"

"Su-sudah. Tadi~ada yang membantu membawakan koperku,"balas Monnie pura-pura gugup.

Wyne menggenggam tangan Monnie."Astaga, aku sangat senang. Akhirnya aku menemukanmu."
"Sayang~"

Wyne tercekat, ia menoleh ke arah pria yang yadi bersamanya."Ah, maaf, aku jadi melupakanmu."

"Hal apa yang membuatmu begitu senang dan mengabaikanku?"tanya Hide dengan wajahnya yang cerah.

Monnie melirik Hide. Ia memerhatikan penampilan pria itu sekilas, lalu membuang pandangannya. Tidak ada yang berubah dari Hide, pria yang Monnie kenal enam tahun lalu. Pria yang mungkin saja akan menikahinya jika Wyne tidak mengacaukan segalanya. Tidak hanya merebut keluarga dan masa depan Monnie. Wyne juga merenggut cinta Hide dari Monnie. Monnie memang tidak terima akan hal itu. Namun, mengingat ternyata Hide bisa melupakannya dengan cepat, Monnie merasa  dulu Hide tak benar-benar mencintainya. Lihatlah, betapa pria itu memuja Wyne sekarang.

"Siapa dia?" Hide tersenyum ke arah Monnie,"Hallo!"

Monnie membalas senyuman Hide."Ha-halo, Pak."

"Sayang, ini Monnie. Karena aku sedang mengerjakan buku ketigaku yang Trilogi, aku membutuhkan asisten sekarang. Aku harus menyelesaikannya dengan cepat. Monnie akan membantu menyunting naskahku,"kata Wyne sembari memeluk lengan Hide dengan penuh cinta.

"Ah, syukurlah kalau begitu. Aku tidak cemas lagi karena sudah ada yang membantumu. Jadi, kamu tidak sampai harus kecapekan dan frustrasi sendiri." Hide menyelipkan anak rambut ke belakang telinga Wyne.

"Itu tidak akan terjadi. Tapi, Monnie akan tinggal di sini. Aku menyiapkan tempat di Paviliun. Aku ingin bertemu dengannya setiap saat. Dengan begitu, naskahku akan segera rampung. Bukuku akan segera selesai,"kata Wyne berapi-api.

Hide menangkup wajah Wyne dengan gemas."Kau sangat bersemangat,ya. Aku ikut bahagia. Kau harus menjaga kesehatanmu."

"Tapi,tidak apa,apa kan kalau dia tinggal di sini?"

"Tentu saja. Kau punya teman untuk mendiskusikan karyamu. Aku akan mendukung apa pun yang membuatmu bahagia." Ucapan dari Hide mendapat balasan pelukan erat dari Wyne.

Monnie tidak berekspresi apa pun. Ia berubah menjadi batu seketika. Andai saja ia punya ilmu menghilang, ia akan segera memindahkan diri ke kamar untuk istirahat. Ia kurang tidur sejak semalam.

"Ohh, ya, Mon, ini suamiku. Tapi, kamu tidak perlu sungkan. Suamiku akan terus sibuk. Jadi, ka.u tetaplah bekerja sesuai dengan perjanjian kita di ruangan yang kusediakan." Akhirnya Wyne memperkenalkan Hide pada Monnie usai keromantisan keduanya yang memuakkan.

Monnie tersenyum dan mengangguk pelan."Perkenalkan nama saya Monnie. Mulai saat ini saya akan membantu Ibu Wyne. Mohon bantuannya."

"Selamat datang, Monnie. Semoga betah bekerja dengan Wyne.  Semoga segal urusan kalian berdua lancar."

"Terima kasih, Pak."

Hide beralih pada istrinya."Antarkanlah Monnie ke kamarnya. Biarkan dia istirahat dan merapikan barangnya. Setelah itu kita pergi."

Wyne mengangguk. Ia menggandeng tangan Monnie."Ayo, kutunjukkan kamar dan ruang kerjamu."

Monnie melangkah mengikuti Wyne. Kini lanfkahnya sudah jauh lebih dalam menelusuri ke kehidupan Wyne.

💌

MUST BE A HAPPY ENDINGTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang