Delapan

1.2K 155 16
                                    

Monnie mendapatkan fasilitas yang sangat lengkap. Ia diberikan tempat tinggal di paviliun yang ada di tengah-tengah pekarangan rumah. Kamar Monnie besar dilengkapi toilet dan walk in closet. Kamarnya didominasi warna putih. Ada satu sofa besar yang sangat nyaman. Tak jauh dari sana ada sebuah meja kerja. Di sanalah Monnie memulai semuanya. Hari pertama sudah terlewati. Hari itu Monnie gunakan untuk merapikan barang-barang dan istirahat. Badannya sedikit lelah karena terlalu lama bersama Willyam.

Hari kedua, Monnie memulai aktivitas yang sesungguhnya. Sebenarnya, Monnie sudah memiliki buku ketiga. Ia sudah menyelesaikannya sejak lama. Kebetulan saja naskah itu selamat karena disimpan pada tempat yang berbeda. Monnie akan menyalinnya sedikit sebagai langkah awal. Ia harus mendapatkan kepercayaan Wyne.

Monnie mengenakan kaus over size beserta hot pants. Rambutnya ia biarkan terurai panjang. Wajahnya dibiarkan tanpa make up. Wanita itu duduk di depan laptop yang diberikan Wyne. Ia menyalin naskahnya secara perlahan. Ia harus terlihat menulisnya dari awal. Namun, sebelum itu, ia harus menulis kerangka terlebih dahulu. Ia akan menyerahkannya pada Wyne.

Pintu terbuka begitu saja. Monnie kaget karena tidak ada yang mengetuk pintu. Namun, begitu ia melihat Wyne masuk , keterkejutannya berkurang. Sikap Wyne memang seperti itu. Monnie melempar senyum pada Wyne.

"Hai, Mon, sedang apa?"

Monnie menunjukkan catatan berisi kerangka naskah untuk buku ketiga."Saya membuat ini, Bu, tapi belum selesai."

Wyne duduk di sofa membaca catatan dengan serius. Lalu, ia tersenyum puas."Ini langkah awal yang sangat bagus. Tolong selesaikan kerangkanya, aku ingin melihatnya sampai tuntas. Apa kau bisa menyelesaikannya hari ini?"

Monnie tampak berpikir."Saya tidak yakin. Tapi, saya akan mengusahakannya, Bu. Paling lambat, saya akan menyelesaikannya besok."

"Wah, kau memang berbakat. Harusnya karyamu sudah masuk toko buku. Tapi, kau cukup terkenal di platform digital. Hal seperti itu terkesan seperti penulis karbitan. Kau harus diundang Penerbit agar kau terlihat sebagai Penulis Profesional."

Monnie tersenyum sinis. Ia merutuk di dalam hati karena Wyne sedang merendahkannya. Padahal, secara tidak langsung Wyne sedang bicara perihal dirinya sendiri. "Terima kasih, Bu. Takdir saya hanyalah sebatas platform digital. Ibu harus mencobanya sesekali dan rasakan bagaimana uang itu mengalir dalam jumlah yang besar. Bahkan jauh lebih besar dari hasil yang Ibu dapatkan dari Penerbit."

"Ah, aku tidak butuh uang sebanyak itu. Karena~aku tidak mengejar uang. Aku hanya ingin karyaku dibaca oleh banyak orang. Semua orang menyukaiku dan karyaku. Itu saja. Perihal uang~suamiku bekerja keras untuk mencukupi kebutuhanku,"balas Wyne,"lihatlah rumah ini. Kau pasti bisa menebak, kan, seberapa kaya suamiku. Jadi, aku tidak perlu mengejar uang."

"Wah, kau bangga sekali, ya." Monnie berkata dalam hati.

"Oh, ya, kau sudah baca buku pertama dan kedua dengan lengkap?"tanya Wyne.

"Sudah, Bu."

"Kau harus membacanya dengan detail. Jangan sampai ada plot hole! Itu bisa merusak citraku!"

"Baik,Bu,"kata Monnie dengan patuh. Sesungguhnya ia muak dengan kata-kata yang dilontarkan Wyne. Semua terdengar omong kosong.

Wyne bangkit dari sofa dan menyibak tirai."Pemandangan di sekitar sini ternyata bagus juga. Langsung bisa melihat kamarku dengan jelas."

Monnie menoleh ke arah yang dimaksud Wyne. Kamar besar dengan balkon luas di lantai dua. Di sana ada kolam kecil yang terlihat jelas dari sini. Monnie tersenyum penuh arti."Bu, apakah saya boleh pergi keluar sesekali?"

Mata Wyne menyipit."Memangnya kau mau apa? Bahan makanan sudah lengkap. Kau bebas mengambilnya. Apa pun kebutuhanmu, katakan saja. Aku akan memenuhinya. Kau tidak boleh pergi keluar tanpa izinku, Monnie."

Monnie memutar otak mencari jawaban."Menulis itu terkadang melelahkan. Otak kita butuh refreshing. Otak juga buntu dan ide menjadi mampet. Biasanya saya akan jalan-jalan ke mal atau sekadar nongkrong di coffe shop langganan saya."

"Ah, kalau itu kau boleh pergi. Tapi, harus dengan izinku. Itu juga tidak boleh terlalu sering. Kau paham?"

"Terima kasih, Bu. Kalau begitu saya akan melanjutkan naskahnya. Saya sudah memulainya sedikit sesuai kerangka yang ada." Monnie membuka naskah yang sudah ia salin.

Wyne melihatnya dengan antusias. Ia membalikkan posisi laptop Monnie dan membacanya. Wajahnya terlihat berbinar dan bersinar."Paragraf awal yang bagus. Sangat mengundang minat orang untuk membaca. Kau sangat hebat, Monnie."

"Ah, tidak. Ini hanya awal saja. Saya akan mengerjakannya dengan baik."

"Apakah kau bisa menyelesaikannya dalam satu bulan?"tanya Wyne dengan penuh harap.

"Hmmm~saya tidak bisa memastikan, Bu."

Wyne menggenggam tangan Monnie."Kau pasti bisa, Monnie. Paling tidak selesaikan dalam dua bulan. Setelah itu akan masuk meja editor. Mereka akan memprosesnya selama berbulan-bulan."

"Saya akan berusaha." Monnie tersenyum hangat. Hatinya merasa kesal pada manusia itu,"apa Ibu akan datang setiap hari? Kita jiga perlu berdiskusi."

"Aku akan datang, Monnie. Tapi, jika kau perlu sesuatu yang sangat penting, kau boleh menemuiku di rumah utama. Terkadang~aku bisa saja lupa karena harus menemaniku setiap saat." Wyne tersenyum,"suamiku tidak bisa jauh dariku."

"Saya bisa melihatnya, Bu. Jadi, apakah untuk satu halaman pertama ini sudah Ibu terima?" Monnie kembali fokus pada naskah. Karena inilah pekerjaan utamanya di rumah ini.

"Aku suka. Kerangkanya harus sudah selesai besok, ya, Mon. Kau harus menunjukkannya padaku. Lalu, kau lanjutkan saja naskah ini sampai satu bab. Setelah itu kau harus mendiskusikannya denganku."

"Saya mengerti, Bu." Monnie mengangguk patuh.

Wyne bangkit dan akan pergi dari paviliun itu."Kalau begitu aku pergi, Monnie. Asusten rumah tangga akan mengantarkan makanan dan cemilan selama tiga kali sehari. Jadi, kau tidak perlu mengkhawatirkan apa pun."

"Baik, Bu,"balas Monnie dengan senyum yang terus mengembang. Senyumnya hilang seketika saat Wyne sudah hilang dari pandangan. Monnie mengambil ponsel dan memeriksa pesan yang masuk. Keningnya mengkerut saat menerima pesan dari bank.

"Kenapa dia mengirimiku uang lagi,"gumam Monnie yang kemudian menyimpan ponselnya di dalam laci.

💌

MUST BE A HAPPY ENDINGTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang