Air Mata Ayah ⭐

142 2 0
                                    

Bukan hanya akhir-akhir ini saja sosok renta itu mulai bertingkah aneh

Ups! Gambar ini tidak mengikuti Pedoman Konten kami. Untuk melanjutkan publikasi, hapuslah gambar ini atau unggah gambar lain.

Bukan hanya akhir-akhir ini saja sosok renta itu mulai bertingkah aneh. Sudah beberapa minggu ini, setiap menjelang subuh, diketuknya pintu kamar depan sambil sesekali memanggil nama seseorang.


Terkadang aku juga kesal, mengapa tak ada jawaban dari sana? Begitu kata-kataku saat Ayah mengungkapkan kekesalannya akan pintu berukir bunga yang tidak sering menyahutinya lagi.


Aku juga terkadang hanya bisa menunduk pasrah saat Kakak lelaki tiba-tiba datang ke rumah. Mengapa?

Karena ayahku akan selalu menanyakan anak lainnya kepada kakakku yang baru saja datang. 

Tentu saja ini terkadang membuat kakak berang. Bagaimana bisa ayah melupakan sesuatu yang berharga?

Berkali-kali juga aku melarang kakakku untuk datang, karena jika dia sedang berada di rumah, ayah pasti menggila.

Ayah akan terus mengetuk pintu kamar tak berpenghuni itu dan membuatku kelelahan untuk menenangkannya .

***

Pagi ini kupikir masih sama saja. Akan tetapi, kakak tertuaku mendadak mengetuk pintu kamar.

"Ayu?" Aku bergegas membukakan pintu kamar. "Ayah kok belum bangun ya? Biasanya jam segini sudah ngetuk kamar Nisa atau kamarnya Aisyah?" tanyanya tampak khawatir.

"Periksa sendiri saja, Kak. Aku mau tidur lagi. Sedang datang bulan nih," jawabku agak mengantuk.

Lelaki berjaket hitam itu lekas beranjak menuju kamar Ayah. Aku mengikutinya dengan mengedarkan pandangan.

Aku melihat diketuknya pintu kamar ayah berulang kali. Gagal, ayah masih tak keluar kamar. Dibukanya pintu yang tidak dikunci dan masuk ke dalam. Entah perbincangan seperti apa yang mereka lakukan. Namun, sayup-sayup aku mendengar isakan ayah yang tertahan.

Mataku membelalak dan bergegas menuju kamar ayah. Entah apa yang terjadi, aku menemukan kakak dan ayah saling memeluk erat. Diantara keduanya sebuah bingkai foto terjepit ragu, menjadi saksi bisu tangisan dua lelakiku itu.

"Kenapa?" tanyaku mencoba memasuki ruang di kepala mereka.

"Jadi, Ayu dan Aisyah itu sudah besar ya, lalu Nisa sudah menikah?" tanyanya tiba-tiba. Kakak mengangguk. "Kamu juga sudah?" lanjutnya menatapku. Aku menggeleng, seolah menyiratkan bahwa kedua kakakku dan si bungsu yang sudah menikah dan aku si anak ketiga dari empat bersaudara ini masih belum menikah.

"Ayah?" Kakak memanggilnya rapuh. Entah apa yang sudah dikatakan kakak, hingga ayah nampaknya mengingat sesuatu.

"Aku lupa kalau kalian sudah menikah. Sepertinya baru kemarin aku sering membangunkan anak-anakku untuk sholat berjamaah. Tapi, semenjak

Nisa, Aisyah dan kamu Adnan menikah, aku jadi kesepian." Ayah terdengar sangat sedih, aku tidak sanggup mendengarnya.

"Ayah," panggilku mendekat. Duduk bersimpuh di dekat kakinya. Memegang jemari yang menua itu.

"Ayu, ayah belum bisa menerima kepergian kalian. Semenjak dirinya meninggal, hidupku itu berubah. Sungguhlah lebih baik aku saja yang pergi. Aku tidak bisa hidup tanpanya atau tanpa kalian," ungkapnya melepaskan tanganku dan beralih mengusap pigura dalam pelukan.

Sosok wanita dewasa tersenyum ramah, kerudung pucat yang dipakai tak mewakili warna pada zamannya.

Ibuku, wanita yang pergi 26 tahun lalu saat melahirkan adik perempuanku. Jika masih hidup, mungkin dia akan tampak lebih keriput dari ayah.

***


Aku menatap Ayah lekat-lekat.

"Kak Nisa besok lusa akan pulang ke sini kok, Yah. Jangan dipikirkan terus ya," ucapku memberi janji palsu, sembari menghapus butir cair di sudut pipinya. Ia hanya tersenyum, sepertinya kali ini ia mengenaliku sebagai Ayu.

"Adnan juga kan masih sering ke sini. Ayah tidak perlu khawatir," tambah Kak Adnan. "Aisyah dan suaminya secepatnya bakal pulang kok, saat liburan nanti. Istri Adnan nanti juga akan berkunjung ke sini sama dedek bayi," ungkapnya mencoba menerangkan pada ayah, agar ayah tidak bersedih lagi.

"Padahal dulu, kamu ya yang sering bantu ayah masak untuk adik-adikmu." Ayah menambahkan. "Kalian masih kecil-kecil tapi harus kehilangan ibu."

"Ayah!" Aku memeluk ayah. Napas Kak Adnan terdengar berat, aku yakin kakakku itu sedang merasakan sendu yang sama denganku dan ayah.

Subuh hari ini mendadak penuh luka rindu. Aku jadi merindu sosok ibu saat melihat ayah yang lemah merindu seperti ini.

***

Subuh di keluargaku selalu terasa berat, pagi ini pun begitu. Bukan karena subuh adalah ibadah terberat karena harus bergelut dengan rasa kantuk, melainkan karena ayah yang selalu sayu akhir-akhir ini.

Usai sholat berjamaah, kudapati ayah kembali memeluk foto ibu. Aku tersenyum, bukan senyum bahagia tentunya.

Itukah cinta? 26 tahun telah berlalu dan hati ayah masih saja sama.

Akankah aku atau saudara-saudaraku bisa, memberi, memiliki atau mendapatkan cinta yang sama seperti ayah merindu ibu dalam hari-harinya?

Aku menghampiri ayah di kamarnya, "Ibu cantik kan, Yah?" tanyaku berdiri di sebelahnya yang sedang duduk di tepian ranjang.

Ayah menggeleng, kemudian berucap, "Tidak, dia adalah perempuan paling tidak cantik di dunia ini." Aku terkejut mendengar ucapan ayah.

"Kok ngomong begitu?" Aku duduk di sebelah.

"Jika dia yang tercantik di dunia, itu berbahaya," liriknya padaku. "Ibumu itu wanita yang tercantik di hatiku. Aku tidak rela jika ibumu dipandangi oleh orang lain," gerutunya sambil mengusap-usap wajah ibu di kaca.

"Iya, deh." Aku mengangguk, tersenyum tipis.

Kini aku melihatnya kembali tersenyum singkat. Aku yakin dia sedang bermain dalam ingatan masa lalu. Akan tetapi, tiba-tiba saja setitik air jatuh tepat di atas foto. Kulihat bibirnya mulai bergetar. Padahal beberapa detik lalu dia bicara lancar denganku.

"Annisa," panggilnya. Ya, sepertinya sudah dimulai lagi. "Ayu sudah bangun?" tanyanya tiba-tiba.

Aku tersenyum, kemudian menarik napas panjang dan mengembusnya dengan berat.

"Sudah ayah. Ayu dan Aisyah sudah berangkat ke sekolah kok. Aku dan Kak Adnan juga sudah buatkan lauk untuk sarapan ayah," jawabku tertahan.

"Ayo, sarapan." Ayah bersemangat.

"Ayah, mandi dulu ya. Nasinya belum matang." Aku tersenyum, ayah pun setuju.

***

Kak Adnan menyiapkan sarapan untuk kami berdua. Kak Adnan sudah terbiasa menemani Kak Nisa memasak saat aku dan Aisyah masih kecil. Perbedaan usiaku dan si bungsu hanya 3 tahun, yang berarti sama seperti si bungsu aku juga tidak begitu mengingat ibu kandung kami. Semua tingkah laku ibu, hanya kudengar dari kedua kakakku dan tentunya ayah, sebelum ayah sakit beberapa tahun belakangan ini.

Ayah mulai sakit sejak si bungsu menikah dua tahun lalu, tapi terjadi masalah dengan ingatannya semenjak Kak Nisa menikah.

Demi ayah yang sakit, Kak Adnan; lelaki beristri ini akan datang sebelum fajar menyingsing hanya untuk memerankan anak SMA. Beruntung, setelah menikah rumah Kak Adna tidak terlalu jauh dari rumah ayah. Sedangkan aku, akan memerankan Kak Nisa, kakakku yang baru menikah dua bulan lalu.

Lelah, memang. Letih, iya.

Tapi, aku tak sanggup melihat pak tua di hadapanku itu terus-terusan menjatuhkan air mata, karena mencari-cari anggota keluarganya yang berkurang. Sungguh aku tak rela.

Bagiku, air mata ayah sama menyakitkannya dengan air mata ibu yang tak begitu kuingat aromanya itu.

***

TAMAT

#NurwahidahBi
#Cerpen
#Gtlo12Maret2018

Satu untuk Semua (Kumpulan Cerpen)Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang