Nurwahidah BiGenre: Mystery
***
Aku duduk di ruang latihan sendirian, menatap kaki yang masih membengkak. Aku tak bisa tidur dan memutuskan pergi ke ruang latihan kami. Selama seminggu berada di asrama, para penari balet sedang mengikuti turnamen nasional di kota ini. Aku yang terkilir mencoba melatih kaki di ruangan ini. Sedikit demi sedikit melangkah, menari menyesuaikan irama musik Swan lake yang terputar.
Usai latihan aku merapikan barang-barang, jam sudah menunjukkan pukul 11 malam. Aku bergegas kembali ke kamar. Tiba-tiba, aku merasakan angin yang menyentuh kaki, angin itu hanya berada di kaki kiriku. Aneh? Akupun mengibaskan tas.
Bruumm...
Suara itu sangat keras, aku melihat sesuatu di lantai dekat dengan tape yang sedang melagu. Aku mencoba mendekati benda itu, biola. Ya sebuah biola tepat ada di sisi kanan meja kecil itu. Aku mematikan tape itu dan memungutnya, jelas tertulis di balik badan biola itu 'Stevani E. Cragen' Heh, aku bingung dengan nama itu.
"Bule?" gumamku sembari berjalan menjauhi meja.
Tiba-tiba saja, aku terhenti saat mendengar sebuah lagu yang merdu, lagu yang tak asing. Itu lagu milik maestro dunia Beethoven-Fur Elise. Lagu legenda yang aku dengar beberapa hari lalu saat latihan di sini. Tapi, bukankah tape itu sudah dimatikan. Bagaimana bisa musik terdengar memenuhi ruangan ini? Aku memperhatikan suara itu dan perlahan suara itu menghilang begitu saja. Tubuh ini pun merinding, aku bergegas pergi ke kamar.
Raisa temanku sudah tertidur pulas, aku menaruh biola itu tepat di tengah kami berdua. Masih menatap biola dan mencoba mengaitkan suara yang kudengar tadi dengan biola itu. "Ah, tidak mungkin!" seruku berbaring.
***
Hmm ... hmm ... hhmm ... hmhm ....
Aku terbangun mendengar senandung sendu itu. Aku duduk merapihkan rambut dan melirik tempat tidur Raisa.
"Rai?" panggilku saat melihat Raisa tidak ada di tempat tidurnya. Aku melirik meja tempat menaruh biola, namun biola itu tak ada di sana.
"Rai ...," panggilku mulai panik, aku terhenti saat melihat Raisa sedang duduk di jendela. Ia bersandar sembari memainkan biola itu diiringi senandung sendunya.
Aku menyentuh bahunya, namun dia menghiraukannya. Apa dia kerasukan? Tapi kenapa? Aku benar-benar tak tahu. Perlahan suara merdu terngiang di telingaku musiknya sangat menyentuh.
"Fur Elise ...," ujarku memegang tengkuk leher.
Raisa mengikuti suara musik itu, aku memutuskan untuk mengikutinya juga. Dia terus berjalan bahkan dalam keadaan mata tertutup. Sudah bisa ditebak ke mana arah perginya Raisa, sambil mengikutinya aku terus memanggil namanya pelan.
Kami tiba di sebuah ruangan, ruangan itu bersebelahan dengan ruang latihan balet. Ini sebuah ruangan yang hanya buka seminggu sekali kata petugas. Aku mencegahnya masuk, Raisa terjatuh saat melepaskan biola dari bahunya. Dia pingsan dan aku mencoba membangunkan, namun entah kenapa dia tak berkutik.
Aku mendengar musik dari dalam ruangan itu, perlahan kunci pintu itu memutar dengan sendirinya. Angin keras menerpa wajahku, pintu terbuka perlahan. Aku hanya bisa terdiam saat melihat di balik pintu yang ada seseorang.
Seseorang berbaju abu-abu, rambutnya pendek. Dia berbalik menatap dan mengulurkan tangannya. Badanku terasa melayang, aku bisa melihat Raisa yang terbaring di lantai dari atas sini.
Tubuhku pergi ke dalam, dan masih terpaku melihatnya. Aku tak menyadari bagaiman caranya biola itu ada di tangannya.
"Stevani E. Cragen?" panggilku. Dia menoleh dan menatap dengan tatapan kasar. Baju dasternya mulai kelihatan basah. Dari perutnya terlihat cairan merah yang keluar dan menetes di tanah.
"Terima kasih!" serunya ringan. Aku bingung kenapa dia bilang begitu, aku hanya mengangguk seperti orang bodoh. Takut? Tidak. Rasa itu tidak ada lagi.
"Apa yang terjadi padamu?"
"Di sini!" ucapnya menunjuk lantai tempatnya berpijak. Dia mengulurkan tangannya, aku setuju untuk menyentuhnya.
***
Aku di sini, di ruangan ini. Namun jam di dinding itu menunjukkan pukul sembilan malam. Tirai penutup jendela berubah menjadi warna biru kehijauan. Aku melihat seorang perempuan sedang berlatih biola, dia memainkan lagu yang tak asing itu.
"Elisa?" panggil seorang perempuan di depan pintu, "harus berapa kali kukatakan, kenapa kau tidak bisa memainkannya dengan benar?" lanjutnya marah-marah.
Anak perempuan yang dipanggilnya lekas menoleh dan menunjukkan muka asam yang sangat mengesalkan.
"Kamu melawan?" ujar perempuan itu menarik lengannya. Perkelahian pun terjadi, anak remaja itu tak segan melawan perlakuan buruk pelatihnya itu. Hingga bagaimana caranya aku tak tahu, tiba-tiba saja remaja bernama Elisa itu terkapar di lantai. Perutnya berdarah. Tangan pelatih wanita itu memegang penggesek biola yang patah.
Aku terdiam melihat itu, perlahan menghampiri tubuhnya. Pelatihnya nampak sangat ketakutan. Dia membanting biola itu hingga terpisah menjadi dua bagian.
"Jangan...!" teriakku memohon saat melihat pelatih itu mencoba menarik tubuhnya. Tapi aku tak bisa berbuat apa-apa, gerakannya sangat cepat. "Dia kerasukan!" pikirku berdiri dari jongkok.
"Tidaaak...," aku histeris saat melihat tubuh Elisa di lempar dari lantai 3 ruangan ini. Aku terduduk lemas, untuk sesaat merasa sangat sedih.
***
Sesuatu menyentuh tanganku, aku melihatnya samar-samar.
"Aira?" panggil orang itu mengguncang tubuhku. Aku tersadar dan memeluknya erat. "Kamu baik-baik saja, Ra?" lanjutnya melepaskan pelukanku.
"Raisa, kamu gak apa-apa?" tanyaku memegangi wajahnya.
"Aku tadi ke toilet, tapi pas aku kembali kamu sudah tidak ada. Aku mendengar musik Fur Elise jadi aku mencarinya," ungkapnya.
"Jika, kamu berada di toilet. Siapa yang aku ikuti?" ucapku takut. Raisa hanya menggeleng dan membantu berdiri.
Sejenak kami berdua mendengar musik itu lagi, lagu yang dimainkan dengan biola itu terdengar sedikit sumbang. Merasa terusik, Raisa mengajakku kembali ke kamar kami.
***
Pagi ini aku duduk di luar gedung, aku melihat seorang anak kecil membawa sebuah biola rusak. Tak tahan, aku menghampiri. Dia berkata biola itu sudah dibuang dan dia akan memperbaikinya, ketika kulihat bagian belakangnya. 'Stevani E. Cragen'.
"Elisa!" seruku.
Shyuuut...
Angin itu menyapu wajahku dan anak itu menghilang. Aku menengok ke atas, dan rupanya saat ini berdiri tepat di mana Elisa terjatuh. Aku teringat bahwa lagu Fur Elise memang penuh misteri, bahakan kabarnya jika kau seorang musisi hebat dan mencoba memainkan lagu ini. Kau akan menemukan nada sumbang. Yang kabarnya adalah pertanda bagi Elise atau Thresa, wanita yang dimaksud Ludwig van Beethoven.
Ya, aku mengerti sekarang. Sebuah kebetulan Stevani Elisa Cragen mempunyai nama serupa dengan lagu itu. Setelah kubaca di beberapa blog, Dia adalah anak keturunan belanda, yang dibunuh 20 tahun lalu tepat di tempat aku sering menikmati lagu indah itu.
Hari ini kami pulang, karena turnamen sudah selesai. Ketika berada di bis, aku mendengar lagu itu. Aku yakin saat aku mendengarnya, aku bisa mendengar Elisa.
~~~000~~~
Gtlo, 20-Juni-2015
*Tamat*
KAMU SEDANG MEMBACA
Satu untuk Semua (Kumpulan Cerpen)
Short Story(Beberapa judul cerpen sudah terbit, silakan baca yang bertanda bintang ya...) Kumpulan Cerpen karya Nurwahidah Bi. Dalam dunia cerpen Author sudah mulai menulis sejak duduk di bangku kelas 4 sd. Namun, mulai berkembang dan lebih serius menulis cerp...