Ending Scene ⭐

17 3 0
                                    

Aku menyesal, juga takut

Ups! Gambar ini tidak mengikuti Pedoman Konten kami. Untuk melanjutkan publikasi, hapuslah gambar ini atau unggah gambar lain.


Aku menyesal, juga takut. Akan tetapi, lelaki berkemeja abu-abu itu malah bersorak lepas, seolah masa bodo akan derita dan masa depannya kelak. Ia sibuk menatap senja yang membayang di hadapan, melagu sendu saat sinaran kemerahan sesekali menyilaukan mata.

Saat awan dengan nakal menghindari mutiara kekuningan, hal itu memaksaku memicingkan mata, dan akhirnya bisa melihat ada kilau singkat di sudut mata lelaki yang sedang menghibur diri itu.

Aku hanya bisa tersenyum palsu. Sepertinya, kini kami memang sudah berakhir. Aku dan dia tak akan jadi satu cerita lagi. Kisah kami kini hanya remahan biskuit, yang bahkan bukan seleranya.

Aku lagi-lagi hanya tersenyum sekadarnya, saat ia tiba-tiba menengok ke arah tempatku berpijak.
"Jika semuanya berakhir seperti kita, mungkin tidak akan ada kata mantan ya," ujarnya tiba-tiba. Aku sedikit tertawa, pura-pura tertawa. Agar suasana tidak canggung lagi.

"Mantan apa? Mantan napi?" Aku menyambutnya santai.

"Setelah ini mau bagaimana?" lanjutnya terdengar baik-baik saja.

"Kalau jodoh, pasti kita dipertemukan lagi," jawabku menunduk.

"Yakin?" ucapnya membuatku tak kuasa mendongak. Tatapannya menerobos mataku, aku bahkan bisa merasakan ketulusan yang ada lewat mutiara kecokelatan yang memantulkan cerminan diriku.

"Kita sahabatan aja ya, itu memang lebih cocok kok." Aku berpaling menatap senja, menghindari bola matanya yang berbinar.

"Tapi, kalau besok aku lamar kamu gimana?"

Aku terperanjat, ocehannya berubah jadi lamaran. Setelah sebelumnya memintaku untuk jadi pacarnya. Padahal baru beberapa menit, kami berdua terdiam karena pengungkapan perasaannya yang kutolak.

Bagaimana bisa, lelaki yang selama 10 tahun menjadi sahabatku mengutarakan hal seperti itu?

Apa mantan-mantannya telah mengubahnya menjadi ksatria berkuda untukku?

"Diajak pacaran kamu nggak mau, jadi aku ajak kamu nikah aja. Itu alasan kamu nolak kan? Karena lebih memilih sesuatu yang pasti, seperti pernikahan." Ucapannya membangkitkan pikiranku yang sempat gamang.

"Danu, kita sahabatan aja ... itu lebih baik. Kan kamu udah aku tolak. Aku nggak mau, hubungan persahabatan kita rusak karena keegoisanmu."

"Egois?" Dia berbalik dan melangkah ke depan beberapa inchi menjauhiku.

Pundak lebar itu kini menghitam, karena membayang di hadapan sang matahari sore. Sesekali aku mengoceh untuk mendengar suaranya.

Tersinggung kah dia dengan perkataanku barusan?

Aku kembali senyap, menunggu dia untuk bicara. Suara adzan maghrib dari surau kecil membuatnya berpaling padaku.
Dia lantas tersenyum manis. Terlalu manis untuk ditatap.

"Sholat dulu, baru lanjut jawabnya," teriaknya santai meninggalkanku.
Langkahnya cepat, seolah aku sedang mengejarnya. Padahal sudah aku jawab pernyataan cintanya itu.

***

Perjalanan pun kami lanjutkan. Batinku terus meracau tentang haruskah sekarang aku benar-benar membawanya ke sini? Ke rumah di mana aku dibesarkan.

***

Kami tiba juga di tempat ini. Perempuan paruh baya itu tampak senang akan kedatanganku.
"Ini Risa, Bu! Danu juga ada, nih!" Aku menciumi tangan berkeriput halus itu. Setelah kakakku memberitahukan tentang kedatanganku kepada Ibu.

"Gimana Danu? Masih ditolak?" ucap Ibu menatapku kosong.

"Masih, Bu! Mungkin Risa belum mau mengubah status kami menjadi suami-istri." Danu berucap santai sambil menyentuh jemari ibuku.

"Risa, perjodohan kalian itu sudah lama. Jauh sebelum ibu sakit," ucap Ibu lembut.

"Tapi-"

"Jangan keras kepala. Jangan gengsi!" potong Ibu membuatku terdiam. "Ibu ingin akhir yang indah untuk putri kesayangan ibu." Lanjutnya tersenyum.

"Iya, iya ... Sekarang kita masuk, sudah malam....," selaku mendorong kursi roda tempat ibu duduk pada sakitnya.

***

"Bagaimana?" tanya Danu tiba-tiba menghampiri meja makan.

"Aku baru tahu kalau kamu segigih ini loh!" jawabku.

"Aku cuma butuh akhir. Itu saja kok. Jadi, bagaimana akhirnya? Ah, jangan jawab sekarang deh! Besok saja!" Danu menganggukkan kepalanya.

"Hmm ...." Aku menatap Danu bingung.

"Kalau kamu menolak ajakan untuk pacaran, aku masih bisa terima, Ris. Meskipun konsekuensinya, kita akan sulit untuk berteman lagi. Tapi, kalau kamu tolak lamaran sahabat kamu ini. Aku nggak tahu harus bagaimana untuk melanjutkan hidup," ungkapnya sambil menatap ayam goreng di piring besar.

Dia sedang bicara padaku atau ayam? Hatiku tertawa geli. Tapi, bingung mulai melanda. Setelah tidak merespons ucapan Danu untuk beberapa saat. Kupalingkan wajah menatapnya penuh keyakinan.

"Akhir seperti apa yang kau mau?" tanyaku.

"Tidak perlu akhir yang bahagia sih, selama ini aku sudah bahagia bersamamu, Ris. Cukup akhir yang indah, nyaman dan ...."

"Itu sih maumu," selaku sedikit manyun. Ia pun tertawa. "Kenapa kamu harus tunggu besok sih. Sekarang aja." Lanjutku menahan diri agar tidak tersenyum.

"Apa? Sekarang apa?" Danu heran, seolah tidak paham dengan ucapanku.

"Iya, jawabanku." Aku tersenyum malu.

"Hah?" Danu masih tidak mengerti.

"Lamar sekarang, Danu! Kalau besok aku tolak nih."

Wajahnya mendadak merah, kini ia menatapku terdiam. Apa aku berhasil membuatnya berpaling dari ayam goreng di atas meja itu?

"Risa?" Ia masih tampak terkejut. Aku tersenyum. Danu tampak sedang mencari kesadarannya. "Jadi gimana?" lanjutnya terdengar senang.

"Apanya?" Aku menggeleng mencoba menahan senyum agar tidak semakin lebar.

"Kamu mau jadi masa depanku, nggak?" ucap Danu lancar, satu napas. Seolah-olah sedang latihan ijab qobul.

"Jangan lebay deh, biasa aja. Dasar cungkring!" Aku memukul lengannya. Mendadak merasa malu.

"Kamu kok gitu sih?" Danu mengelus lengan yang kupukul.

"Kalau udah nikah kan, aku nggak bisa kayak gitu lagi ke kamu. Ngomong kasar gitu. Yah, kecuali kamu mau bagian ending yang beda sih?" Entah kenapa aku jadi malu menatap Danu.

"Asalkan bersama kamu, entah itu happy ending atau sad ending semua itu tetap sama aja untukku."

"Oh ya? Kalau bukan happy atau sad ending, terus apaan dong?" tanyaku mendekati Danu.

"Love ending," jawabnya mengeluarkan sesuatu dari saku jaket. Sebuah kotak berwarna hijau tua, yang xsninaternyata bukan berisi cincin.

Danu sialan! Batinku memaki, tapi merasa lucu.

Itu hanya stiker bank kecil yang di-print, bertuliskan 'disita'. Danu tertawa melihatku, kekonyolannya berhasil membuatku luluh.

Hatiku kini disita oleh sahabatku sendiri, menjadi bagian yang akan kutebus dengan bakti kepadanya di masa depan. Pada akhirnya aku harus kuat untuk menghadapi sosok yang sudah aku ketahui segala bobrok dan kebaikannya ini.

***

TAMAT.

#NurwahidahBi
#Cerpen
#Gtlo11September2017

Satu untuk Semua (Kumpulan Cerpen)Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang