Sesal yang Tulus (Part 1)

61 9 0
                                    

Nurwahidah Bi

Genre: Family

***

Setiap hari hanya wajah cemberut yang ditampilkannya, tak lelah dan tak bosan dia bersikap tak sopan kepada orang tuanya. Hati yang begitu kesal dan marah karena saat teman-temannya sedang berbahagia menikmati kuliah, gadis itu malah berkutat dengan debu dan bau tak sedap di pasar.

Bagi sebagian orang mungkin akan berpikir bahwa dia sebaiknya menerima apa yang sudah Allah berikan, namun bagi Nazwa kuliah adalah satu-satunya tujuan hidup. Sesulit apa hidup mereka dia tetap ingin sekolah, ia tak ingin berakhir seperti ibu yang bekerja sebagai padagang dan ayah yang hanya seorang penjaga sekolah di smp-nya dulu.

Setiap hari dia terus mengeluh, hingga suatu hari ibunya mulai mengabaikan ocehannya. Ibu menjadi terbiasa dengan semua itu, bahkan meskipun beberapa kali dia menolak ikut ibunya ke pasar, sang ibu hanya diam.

Melihat sikap ibunya yang tak meladeni lagi, Nazwa mulai berpikir bahwa mungkin ibunya mulai lelah. Seperti ia yang mulai lelah berdiam diri di rumah dan memutuskan kembali pergi bersama ibunya ke pasar.

***

Dia melihat sosok yang berjalan terogok-ogok, kaki kanannya nampak diseret berat, tatapan yang menembus ruang, dan suara yang terdengar nanar. Seharusnya semua hal yang terlihat itu mampu membuat siapa saja yang melihat akan merasa iba. Namun sayang, bak pertunjukkan drama hal ini diabaikan.

Sudah beberapa hari ini, nenek di pasar itu berpindah dari lapak satu ke lapak lainnya, tak banyak yang melihat atau memang sengaja mengabaikannnya.
Nazwa tetap tak bisa memalingkan pandangan resah dari nenek itu, sehari-hari berada di pasar membantu ibu berjualan pakaian, namun ia tak melihat seorang pun mendatangi nenek itu.

Nazwa yang lulus sma beberapa bulan lalu, memang tak lagi berencana melanjutkan sekolahnya karena faktor ekonomi. Karena hal itu pula dia menjadi sangat menyebalkan, namun bukan berarti Nazwa tak punya rasa iba.

"Nenek?"

"Iya cu ... kenapa?"

"Nenek sudah makan?"

"Sudah cu ... tadi ada yang memberi sedikit!"

"Saya punya sedikit makanan, buat nenek ya!" ucapnya memberi sekotak makanan.

"Nazwa kamu lagi apa? Cepetan!!! Banyak yang beli nih!" Suara itu memacu Nazwa untuk bergegas.

"Iya bu ... maaf ya nek, saya pergi dulu! Makanannya dimakan ya!" Nazwa tersenyum memperhatikan nenek itu sembari mengambilkan pakaian yang ingin dibeli oleh pembeli.

***

Siang ini, seperti biasa ibunya selalu menghilang dari lapak tempat mereka. Penasaran, Nazwa mencari ke manakah ibunya selalu pergi? Tanpa sengaja Nazwa melihat ibu datang menghampiri nenek itu, Nazwa terus melihat apa yang akan dilakukan ibunya.

Ia melihat sosok kuat itu melembut untuk membantu nenek berdiri dari tanah dan mendudukkannya di sebuah bangku panjang. Ia mengambil sisir rambut dan menyisir rambut nenek dengan penuh kasih sayang, ia pun mengeluarkan sekotak makanan dan menyuapi sang Nenek. Ada rasa aneh di hati Nazwa saat melihat perilaku ibunya itu.

Bagaimana jika nenek itu adalah nenek kandungnya? Tapi, kenapa ibu tega memperlakukan orang tuanya sendiri seperti itu? Membiarkan sosok renta itu sendirian di pasar.

Nazwa bergegas kembali ke lapak, tak berapa lama ibunya pun muncul dengan ekspresi seperti biasa tak terlihat menyembunyikan sesuatu.

"Ibu dari mana?" telisiknya.

"Dari sebelah ... kenapa?"

"Nggak kok! Nggak apa-apa!"

"Oh ya kita cepat pulang, ini kan jumat, ibu mau masak buat ayah kamu!" ujarnya bersiap-siap.

"Iya bu," jawab Nazwa datar.

"Kamu kenapa?" Ibu mulai merasa aneh dengan sikap Nazwa.

"Nggak bu, nggak apa-apa kok! Ayo kita tutup!" jawabnya salah tingkah.

"Iya!" ucap ibunya memperhatikan Nazwa yang semakin tampak aneh saat itu. Mereka pulang ke rumah menggunakan mobil bak terbuka yang dikendarai ibunya.

Saat perjalanan Nazwa masih tampak bingung matanya sesekali selalu melirik ibunya, suara decakan pun keluar dari mulutnya. Saat berada di rumah pun Nazwa masih tak henti-hentinya memikirkan apa yang dilihatnya, setelah salat jumat ia mendatangi ayahnya yang tengah menonton tv sendirian.

"Ibu mana?"

"Masih salat tuh di kamar!" jawab ayahnya santai.

"Boleh tanya sesuatu gak ayah?" ucapnya duduk di sebelah ayah. Anggukan ringan tercipta. "Itu ...."

"Tapi buatkan kopi dulu," sela ayah terkikik.

****

Satu untuk Semua (Kumpulan Cerpen)Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang