Aroma daging panggang tak sengaja membelai hidung. Bau lezat itu datang begitu saja, menggugah selera si empunya hati yang sedang gundah nan gelisah.Si pemilik rambut pendek bergelombang itu segera menutup jendela, agar asap kenikmatan tak berani mampir ke dalam rumah. Ia mendekati kursi, diletakkannya dompet sial yang tak banyak isinya, selain lima lembar pecahan lima ribu rupiah.
Senda dan gurau, juga luka dan kabut beriringan di sepanjang napasnya. Perawan berdaster itu duduk lemah di sofa berwarna secokelat susu kental manis, yang sudah lama tak dicicipinya.
Di hadapannya, dua ekor kucing berbulu tipis sedang saling merayu dan memanja, bagaikan sepasang kekasih di taman Syurga.
Di pangkuannya, bayi mungil berbulu dengan perut kempis telah terlelap menuju alam mimpi, yang membuat netranya pun ingin sejenak terpejam.
Bibir pucat, tak keunguan, tak juga kemerahan menyungging ringan. Cemas pun mendadak menyerang. Manik matanya bergerak ke arah jendela yang bertiraikan rindu. Mendung di langit semakin tebal, gemuruh di perut pun semakin nakal.
Diangkatnya kucing mungil itu dari pangkuan, dipindahkan ke meja tempat mengistirahatkan kaki yang kesemutan tadi. Kini, langkahnya gontai, perlahan bergerak menuju bilik di sudut malam. Tempat abu dan api, serta aroma bawang sering bertempur. Kulkas pun dibuka, diliriknya kehampaan yang tiada guna itu.
"Kalian akan makan apa?" tengoknya pada beberapa kucing yang mengekori. Si perawan menarik napas, sejenak terasa enggan mengembuskan kembali.
Biar mati saja, karena tak ada yang peduli. Batinnya. Tapi, jangan. Napas itu adalah satu-satunya hal gratis yang bisa dipakai setiap waktu.
Lekas ia bergerak menuju lemari tua berwarna kuning, melihat seonggok ikan sisa semalam yang tergulai manja menggugah selera. Seharusnya aroma daging panggang tak menggoyahkan imannya.
"Apa aku tidak perlu makan, ya?" gumamnya menengok ke arah kawanan karnivora yang tampak tak sabar dengan sajian makan siang nanti.
Salah satu kucing mengeluarkan suara manis, seketika meluluhkan telinga si perawan. Ia lantas terduduk di lantai keramik yang usang, hidung pun terasa geli. Mata kecil itu mendadak berair. Bibir kecilnya pun hanya bisa digigiti ringan, agar tak ada suara tangisan yang bocor ke dunia.
***
Perlahan, siang semakin gelap. Setelah negosiasi yang panjang antara langit dan matahari. Kini matahari pun mengalah, bersembunyi di balik awan pekat yang berat.
Berawal dari puluhan, hingga jutaan rintik sang prajurit langit menghantam atap dan pepohonan. Sang bayu tampaknya juga ikut berpartisipasi dalam dingin dan bekunya jemari tangan itu.
KAMU SEDANG MEMBACA
Satu untuk Semua (Kumpulan Cerpen)
Nouvelles(Beberapa judul cerpen sudah terbit, silakan baca yang bertanda bintang ya...) Kumpulan Cerpen karya Nurwahidah Bi. Dalam dunia cerpen Author sudah mulai menulis sejak duduk di bangku kelas 4 sd. Namun, mulai berkembang dan lebih serius menulis cerp...