B - 5

1.3K 148 10
                                    

"Kenapa sih baby nya Uncle Iwan sama Aunty Nia enggak tinggal di sini aja? Kan paviliun rumah Aa gede banget.... Baby nya Uncle bisa main bola di sana....."tanya Haechan yang saat ini berada di ruang tengah bersama bodyguard kesayangannya.


Iwan yang sedang mengupas mangga dengan pisau buah tertawa geli. Bayinya baru lahir dua bulan yang lalu. Mana mungkin bisa langsung main bola ? Bos kecilnya ini ada-ada saja.

"Kan Aunty Nia baru melahirkan. Butuh banyak istirahat. Jadi, biar Aunty Nia tinggal di kampung saja dulu sama ibunya. Supaya ada yang jagain. Di sini kan Uncle jagain Aa. Nanti, kalau baby nya udah agak besar terus Aunty Nia juga udah lebih kuat, baru deh diajak tinggal di sini. Biar bisa main bola sama Aa...." jelas Iwan. Dia meletakkan mangga yang sudah dikupas dan dipotong bentuk dadu lalu beralih untuk mengupas buah apel dan pir untuk bos kecil dan juga untuk dirinya sendiri.

"Tapi.... Aa kan mau lihat dede bayi.... Aa suka gemes kalo lihat profil picture nya Uncle. Dede bayi lucu banget. Pipinya kayak bakpau. Pengen Aa uyel-uyel" lanjut Haechan.

Tidak hanya Haechan sih yang merasakan hal itu. Iwan juga. Setiap hari, istrinya pasti akan mengirimkan banyak sekali foto Jelita, putri mereka yang baru lahir ke dunia sebulan yang lalu. Dan seperti kata Haechan, Jelita memang menggemaskan. Terutama di bagian pipinya yang tembam dengan semburat kemerahan.

Ah..... Iwan jadinya rindu dengan keluarga kecilnya itu.

"Iya A..... Nanti Aa main ya ke kampungnya Uncle. Ketemu sama Aunty Nia sama adik bayi. Bisa mandiin sapi sama kerbau juga di sana, A.... "

"Uncle hobi mandiin sapi sama kerbau ?"

Iwan meletakkan piring yang sudah dipenuhi dengan potongan buah-buahan ke depan Haechan.

"Dulu A..... Waktu Uncle masih kecil....."

"Untung Uncle nggak ketuker ya sama sapinya...."

"Ya nggak mungkin ketuker dong, A.... Gantengnya Uncle kan limited edition...."

Interaksi Haechan dan Iwan terinterupsi saat mendengar bunyi langkah kaki yang mendekat. Haechan yang melihat ibunya datang menghampiri dirinya sambil menenteng sebuah paper bag di salah satu tangannya langsung saja mengambil kesempatan untuk menanyakan soal boleh tidak dia pergi ke kampung untuk menengok anak Uncle Iwan.

"Bundaaaaa.... Boleh nggak Aa main ke kampungnya Uncle Iwan ? Aa pengen lihat adik bayi gumush...."

Dinda menghentikan langkahnya di depan Haechan. Tangannya terulur untuk mengusap kepala putra bungsunya itu dengan lembut.

"Boleh dong.... Tapi nanti kita kesananya nunggu sampak abang pulang dari New York ya.... Biar ramai-ramai berangkatnya buat jenguk baby nya Uncle Iwan"

"Janji ya Bun....." Haechan mengangkat jari kelingkingnya.

"Apa ini ?" tanya Dinda bingung.

"Segel. Biar Bunda nggak ingkar janji kayak Daddy..."

Dinda tersenyum. Lalu dia mengaitkan jari kelingkingnya dengan jari kelingking Haechan.

"Iya.... Bunda janji.... Tapi, kita berangkatnya kalau semua sehat. Daddy sehat, Abang sehat, Aa juga sehat." jawab Dinda. Dia kemudian menyerahkan paper bag yang dia pegang kepada Haechan.

"Ini..... Bunda bawain titipan buat Aa dari Daddy"

Haechan yang sudah tahu apa isi dari paper bag itu-logo tokonya terpampang dengan jelas di bagian depan paper bag-langsung saja dengan cepat menerimanya.

Bentala (Sudah Terbit)Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang