Vertebrae Cervicale

466 57 58
                                    

Theo berlari kecil ke arah seorang gadis yang berjongkok di depan sebuah toko yang sudah tutup. Langkahnya melambat saat mengetahui gadis itu sedang menangis. "Ra...," panggilnya yang membuat gadis berambut sebahu itu mendongak. "Lo kenapa kok nangis?"

"Yo..., gue-" Ara kembali menangis dan tak sanggup melanjutkan kalimatnya. Tangisannya semakin kencang hingga membuat temannya itu semakin kebingungan. Rasa sesak di dadanya semakin kuat. Hanya tangisan yang bisa dilakukan olehnya. Bibirnya benar-benar kelu. Suaranya pun tercekat di tenggorokan.

Theo diam dan membiarkan gadis itu menangis selama beberapa saat. Tidak ada yang bisa ia lakukan selain menepuk puncak kepala gadis itu untuk menenangkannya. Setelah beberapa menit berlalu, ia memegang kedua pundak gadis itu untuk membantunya berdiri. "Gue antar lo pulang ya."

Dengan cepat Ara menggeleng. "Gue nggak bisa pulang, Yo. Gue takut."

Theo semakin mengerutkan keningnya heran. "Terus malam ini lo mau tidur di mana, Ra? Lo kan besok harus sekolah."

"Gue di skors. Gue juga udah bolos seminggu setelah skors itu. Gue nggak berniat masuk sekolah lagi karena gue merasa nggak pantas."

"Lo ngomong apaan sih? Kenapa lo nggak pantas? Lo kan pinter, Ra. Bahkan lo sendiri yang bilang kalau siapa pun berhak mendapat pendidikan dan bersekolah. Terus kenapa lo bilang kayak gitu?"

Ara mengusap air matanya dengan kasar. "Karena gue bukan anak baik-baik lagi, Yo. Gue nekat melakukan hal yang nggak baik. Gue sadar dengan apa yang gue lakukan. Gue tahu resiko yang akan gue terima. Gue juga sudah berusaha keras untuk menghindari resiko terburuknya tapi gue malah terjebak di resiko itu. Gue selalu menolak tapi tenaga gue nggak sebesar itu untuk melawan dia. Gue bukan Ara yang lo kenal dulu."

Theo terdiam sejenak. Ia bingung dengan arah pembicaraan ini. Apa yang disampaikan Ara memang menggambarkan bagaimana rasa sakit yang dialami gadis itu. Namun apa yang sudah membuat temannya ini merasa seperti itu? "Maaf, Ra. Sebenernya kita lagi bicara soal apa? Gue nggak mau salah paham dan asal berasumsi."

Dengan berat hati gadis itu mengaku. Berkali-kali ia menarik napasnya sebelum mengatakan kalau dirinya sudah mengalami hal pahit dan sangat menyakitkan. "Gue... diperkosa," ujarnya sambil menunduk dan kedua tangannya yang mengepal erat pada ujung baju.

"Siapa? Siapa orangnya?" suara Theo terdengar lebih berat dari sebelumnya. Matanya menatap tajam pada gadis di hadapannya. Ia benar-benar tidak suka dengan hal-hal seperti itu apalagi temannya ini merupakan gadis baik. Mana mungkin Ara bisa terjebak pada situasi seperti itu kalau bukan karena orang lain yang berniat jahat padanya. Kalaupun apa yang Randy katakan itu benar -bahwa Ara masuk dalam dunia prostitusi- pasti ada orang yang menjebaknya untuk masuk ke dalam pekerjaan kotor itu.

Ara kembali mendongak lalu dengan cepat mengalihkan pandangannya supaya tidak menatap mata lawan bicaranya. "Gue nggak ingat namanya. Gue cuma tahu kalau orang itu termasuk orang penting. Gue merasa nggak asing dengan wajahnya tapi gue nggak bisa mengingat nama orang itu."

"Lo habis dari mana? Lo langsung ke sini kan setelah dari sana?"

Ara mengangguk. "Alana hotel. Itu tempatnya."

Alana? batin Theo bingung. Tangannya segera meraih ponsel yang ada di dalam saku celananya. Jarinya bergerak cepat mencari sesuatu di dalam benda pipih itu. Tempatnya sama. Waktunya berdekatan. Apa mungkin orang itu? tanyanya dalam hati. "Orangnya ada di sini nggak?" sebuah foto ia tunjukkan pada gadis itu. Dengan tangan yang gemetar Ara menunjuk salah satu orang yang ada di dalam foto itu.

Bingo. Dugaan Theo ternyata tepat. Ia tersenyum miring seraya menyimpan ponselnya kembali ke dalam saku. "Lo mau balas perbuatan orang itu nggak?"

Refleks Ara mengernyit bingung. "Maksud lo apa?"

High Level (Completed)Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang