Vertebrae Thoracalis

421 56 59
                                    

Sebuah pintu besar berwarna putih yang terlihat megah dibuka oleh seorang pria paruh baya. Di belakangnya ada dua orang yang mengikuti langkahnya memasuki rumah besar ini. Pria itu adalah William, papa dari anak pemegang ranking 1 yang dikenal jenius seperti dirinya dulu. "Sebaiknya kalian segera istirahat. Lupakan kejadian malam ini. Masalah ini pasti akan segera selesai. Mama tidur duluan saja, jangan menungguku. Aku mau menyelesaikan masalah perusahaan dulu," ucapnya sebelum beranjak pergi meninggalkan anak dan istrinya.

"Saham perusahaan papa jatuh ya?" tebak Randy yang dijawab anggukan oleh mamanya.

"Jangan pikirkan masalah perusahaan. Biar papamu yang selesaikan sendiri. Ini urusan orang dewasa jadi kamu jangan terlalu banyak ikut campur dulu, sekalipun papamu minta tolong kamu membantunya," Sarah meraih salah satu tangan anaknya kemudian ia genggam. "Are you okay?" tanyanya memastikan.

Randy menatap mata mamanya sebentar lalu mengangguk. "Mama kan tahu kalau aku sudah nggak dekat lagi sama dia. Aku memang sedih tapi nggak sesedih itu. Lagi pula masalah ini kemungkinan besar nggak ada hubungannya sama aku. Mama nggak perlu khawatir."

"Tapi kamu beneran sudah tidak berhubungan lagi sama anak itu kan?"

"Hanya seperlunya saja. Kalau memang keadaannya mendesak."

Sarah menghela napasnya kasar. Ia mengangguk lalu menepuk lengan anaknya pelan. "Ya sudah, cepat masuk kamarmu dan segera tidur."

"Aku ke kamar dulu ya, Ma. Selamat malam," pamit Randy sebelum beranjak ke arah kamarnya yang ada di lantai 2.
Begitu pintu kamarnya tertutup, anak laki-laki itu berjalan menuju ranjangnya. Ia melepas jas dan sepatu yang dikenakannya. Tak lupa ia juga meletakkan jam tangan sekaligus ponselnya di atas nakas. Selanjutnya langkah kakinya menuntun menuju kamar mandi di dalam ruangan ini. Tangannya segera menyalakan shower hingga air memancur deras dari alat itu. Tubuhnya yang masih terbalut pakaian rapi segera berdiri di bawah pancuran air dingin itu. Ia benar-benar tidak peduli dengan dinginnya suhu air yang mulai membasahi tubuh tegapnya ini. Yang ingin dilakukannya adalah berdiam diri selama beberapa saat di bawah derasnya air yang menghujani dirinya yang bodoh ini.

Helaan napas berat berulang kali terdengar dari balik suara gemericik air. Bahkan kini suara tangisan mulai terdengar dari bibir Randy. Tangan yang mengepal itu mulai dihantamkan pada dinding yang ada di depannya. Sekali, dua kali, tiga kali. Sepertinya rasa puasnya belum tersalurkan melalui tindakan tersebut hingga pada pukulan yang terakhir tangannya berhenti memukul. Darah segar mulai mengalir dari tangannya yang terluka.

Sakit. Rasa sakit itu mulai dirasakan olehnya. Bukan rasa sakit dari luka tangannya tetapi rasa sakit itu berasal dari dalam hati kecilnya. "Bodoh," makinya geram.

Plak.

Sebuah tamparan keras mengenai pipi kanannya. Tidak ada yang menamparnya karena tidak ada orang lain di tempat ini. Iya, dirinya sendiri yang menampar pipinya itu. Tidak hanya sekali namun berulang kali hingga pipi itu memerah dan terasa nyeri. "Bodoh. Kenapa lo suruh Ara ke tempat itu? Kenapa lo suruh Ara datang hari ini? Kenapa lo harus marahin dia sebelum kematiannya? Kenapa lo biarin Ara naik ke rooftop? Kenapa lo—" suaranya yang meninggi itu tiba-tiba terhenti ketika rasa sesak memenuhi dadanya. "Kenapa lo bodoh sih, Ran?" amuknya kesal sambil terus melanjutkan tangisannya.

Kakinya tiba-tiba terasa lemas hingga membuatnya terduduk dengan tetap berada di bawah pancuran air itu. Tangisannya kali ini benar-benar sudah tidak bisa ia bendung lagi. Tangisan itu pecah sejadi-jadinya. Seharusnya ia menumpahkan tangisan itu dari tadi karena rasa sesak sudah memenuhi dadanya sejak ia tahu Ara jatuh dari gedung perusahaan papanya.

High Level (Completed)Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang