Radius

996 48 7
                                    

Tok tok tok.

"Jes, mama masuk ya?" ujar Diana yang tidak mendapat sahutan dari dalam. Tanpa banyak bicara lagi ia membuka pintu kamar itu dan benar saja Jessica tidak ada di dalam kamarnya. "Anak ini ke mana? Bukannya tadi sudah pulang?"

Seraya mencoba mengingat keberadaan anaknya, ia segera meletakkan nampan yang dibawanya. Meja belajar yang terlihat cukup berantakan itu ia tata sedikit supaya terlihat lebih rapi. Akan tetapi begitu tangannya membuka laci meja belajar ini ternyata ia tidak sengaja menemukan sebotol obat. "Ini apa?" ujarnya mengernyit heran.

Entah mengapa perasaannya mulai tidak enak. Bayangan kejadian ketika Jessica berteriak ketakutan seolah berhalusinasi melihat Ara yang terluka tiba-tiba terlintas di benaknya. "Nggak. Pasti bukan itu," meski ucapannya berusaha menolak apa yang ia pikirkan, kakinya sudah lebih cepat bergerak mencari keberadaan suaminya.

"Pa! Papa!" pekiknya sembari mengelilingi rumah besar ini.

"Ada apaan sih, Ma? Nggak usah teriak-teriak memangnya nggak bisa?" sahut Ferdi tak acuh.

"Kamu tahu ini apa?"

Dengan cepat Ferdi meraih botol obat itu. Dahinya berkerut kemudian alisnya terangkat sebelah seraya menatap Diana lagi. "Kenapa kamu tanya aku? Itu kan punya Jessica. Seharusnya kamu tanya dia dong."

"Pa, lebih baik kamu jujur. Apa Jessica sakit?"

"Aku nggak tahu."

"Pa, perasaanku nggak enak. Aku takut Jessica kenapa-kenapa. Dia nggak biasanya nyimpen obat seperti ini."

"Ma! Tolong berhenti," Ferdi mulai mengacak rambutnya frustrasi. "Aku kan sudah pernah bilang kalau Jessica baik-baik saja. Dia itu nggak sakit apa-apa. Dia cuma kecapekan."

"Pa..., kamu pikir aku ini bodoh ya?" seraya menunjuk obat itu sorot matanya terus memohon pada suaminya. Rasa sesak di dadanya pun semakin mencekik pernapasannya. "Itu... itu bukan vitamin. Itu juga bukan suplemen yang biasanya Jessica konsumsi. Itu obat khusus yang dokter resepkan. Jessica..., anak kita sebenarnya sakit apa?"

Melihat wajah memelas dari istrinya lagi seketika membuat Ferdi menghela napas kasar. "Kata dokternya, Jessica menderita stres berat. Aku nggak tahu penyebabnya apa. Dia nggak mau cerita ke siapa pun bahkan ke psikiaternya sendiri."

"Apa? Psi... psikiater?"

"Ma, jangan dipikirkan. Jessica pasti bisa sembuh. Dia cuma gila sedikit aja. Obat itu pasti membantunya terlihat normal. Buktinya dia selama ini masih terlihat baik-baik saja kan?"

Mendengar kata 'gila' terucap dengan mudahnya dari bibir Ferdi sontak membuat Diana menatap nyalang. "Apa kamu bilang? Gila?! Kamu menganggap remeh penyakitnya Jessica?!"

Wajah ceria dari gadis yang sedang dibicarakan itu pun perlahan berubah muram. Langkahnya yang ringan seketika terhenti lalu mencoba mendekat tetapi kata demi kata yang terdengar semakin membuat perasaannya terluka.

"Apa aku salah lagi? Dia kan memang gila. Kalau dia normal, dia nggak akan pergi ke psikiater."

"Pa! Jessica itu anakmu."

"Tapi aku nggak mau punya anak gila sepertinya. Sudah bagus dia pergi ke dokter supaya terlihat normal. Kalau sampai penyakitnya kambuh di depan banyak orang, mukaku mau ditaruh mana?"

High Level (Completed)Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang