Vertebrae Lumbalis

429 56 46
                                    

William memasuki ruang kerjanya diikuti oleh sekretarisnya yang mengekor di belakang. Saat ia hendak duduk di kursi, pria yang menjadi sekretarisnya itu meletakkan sebuah kotak berukuran sedang di atas mejanya. Spontan ia menaikkan satu alisnya seraya menatap orang yang meletakkan kotak itu.

"Tadi ada yang mengirimkan ini. Saya tidak tahu siapa pengirimnya tapi kotak ini ditujukan untuk Bapak," jelas sang sekretaris.

"Yang menerima kotak ini siapa?" tanya William dengan wajah datarnya.

"Salah satu pembantu, Pak."

Tanpa banyak bicara lagi William segera duduk dan membuka kotak tersebut. Dahinya semakin berkerut bingung ketika membaca sebuah pesan misterius yang lebih tepat disebut sebagai sebuah ancaman.

Sempurna? Anda yakin hidup anda sudah sempurna? Pembunuh dan perusak hidup orang lain seperti anda tidak pantas disebut sebagai orang yang sempurna. Anda hanya manusia hina yang tidak pantas hidup. Tunggu saja, sebentar lagi anda akan kehilangan seluruh hal berharga yang anda miliki termasuk keluarga kebanggan anda. Tidak lama lagi hidup anda akan benar-benar hancur seperti hidup orang lain yang anda hancurkan. Ingat itu, bapak William yang terhormat!

Apa-apaan ini? batin William tak mengerti. Tangannya kini meraih setumpuk foto yang sama sekali tidak ia duga kalau apa yang ia lakukan saat itu ternyata difoto secara diam-diam oleh seseorang. Tidak mungkin anak buahnya yang melakukan hal itu. Sudah pasti anak buahnya tidak ada yang berani melakukan hal ini. Lalu siapa yang berani membuntutinya secara diam-diam dan memfoto kegiatan rahasianya ini? Pasti orang luar kan?

"Cari pembantu yang menerima kotak ini. Cari siapa pun yang melihat si pengirim kotak ini. Siapa pun saksinya, dia harus melaporkannya ke saya," titah William dengan melempar tatapan tajamnya.

"B–baik, Pak," sahut sekretaris itu sedikit tergagap.

"Jangan lewatkan informasi apa pun. Kamu harus bisa menangkap pelakunya. Ingat itu!”

"Baik, Pak. Saya permisi dulu."

.

Bab 18

– The Threats Come –

.

Kevin duduk di salah satu kursi yang masih kosong. Ia menopangkan dagu pada tangan kanannya yang ia letakkan di atas meja. Matanya fokus menatap adik sepupunya yang masih cemberut dan tidak mengacuhkan kehadirannya. "Cewek," godanya yang diiringi dengan siulan.

Arabella menatap sekilas pada laki-laki itu. "Apaan sih, Kak?" sahutnya yang masih tetap cuek.

"Cemberut aja. Lo makin jelek tahu."

"Kakak lebih jelek."

Kevin tertawa kecil. "Lo kenapa sih? Habis diputusin?"

"Bukan."

"Ya terus?"

Arabella membalikkan badannya menghadap laki-laki yang duduk di sampingnya ini. Ia membenarkan posisi duduknya sebelum mulai bercerita. "Kalau misalnya Kakak dimintai tolong untuk bantu orang lain tapi Kakak harus berada dalam keadaan yang bisa membahayakan diri Kakak sendiri, kira-kira Kakak tetap mau bantu orang itu nggak?"

"No," tolak Kevin tegas. "Keselamatan diri sendiri lebih penting. Kalau lo nantinya dikatain egois gapapa. Tanya balik aja ke orang lain. Dia mau nggak berada di posisi yang bisa membahayakan dirinya sendiri? Kemungkinan besar dia akan ragu terus bilang nggak mau. Jangan jadi orang yang altruis, Ra. Rela berkorban tapi nggak peduli dengan diri sendiri."

High Level (Completed)Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang