Perempuan itu meremat selimut yang dipakainya erat, menatap nanar pada lelaki yang sekarang ada bersamanya. Sosok yang amat dikenalnya itu juga balik menatap syok, menyadari apa yang telah terjadi pada mereka. Pukul berapa sekarang? Lelaki itu berusaha mencari jam di dinding kamar hotel yang saat ini mereka tempati.
Begitu tautan mata mereka terputus, perempuan itu segera bergerak meraih baju-bajunya, menggeret paksa selimut yang mereka pakai lalu berlari menuju kamar mandi tanpa menoleh ke belakang. Tanpa mengatakan suatu apapun. Lelaki yang ditinggal sendiri itu pun terhenyak, merasa di tampak oleh sesuatu yang tak kasat mata.
###
Suara musik Rum Pum Pum yang baru dirilis beberapa hari lalu bergema di seluruh penjuruh ruang latihan VIVIZ di gedung BPM Entertainment. Dua sosok perempuan yang dikenal publik sebagai Sinb dan Umji itu sedang berlatih sambil sesekali bercanda, berbeda dengan perempuan mungil yang duduk malas di belakang mereka, menatap kosong ke arah kedua temannya.
Eunha masih belum bisa melupakan apa yang telah terjadi padanya beberapa minggu yang lalu. Bagaimana bisa dia 'tidur' dengan seseorang? Dengan lelaki 'itu'? Eunha tidak bisa membayangkan kalau ternyata ... kalau ... jika ... seandainya ... malam itu membuahkan hasil. Perempuan itu bergidik ngeri, tubuhnya gemetar merespon ketakutan yang tidak terucapkan. Karirnya, karir teman-temannya, keluarganya, fansnya, perusahannya ...
Eunha mengusap wajahnya kasar, menarik napas panjang dan berusaha tenang. Tidak tidak tidak! Tidak akan terjadi apapun! Tenanglah, Jung Eunbi! Kau sudah payah dalam segala hal bahkan ketika kau sangat fokus! Jangan sampai, masalah yang masih belum jelas ini menghancurkanmu. Lagi.
"Apakah pujian Na.V tentang break dancemu sudah memuaskan?" Eunha mendongak, pura-pura nyengir melihat Sinb bertanya dengan nada galak dan berkacak pinggang.
"Uhm, peningkatan yang bagus!" sahut Eunha, membuat Sinb langsung membuang napas panjang.
"Apa kau sakit, eonnie?" Umji bertanya dengan nada khawatir sambil berjalan mendekati Eunha. Sinb juga sepertinya baru menyadari kalau wajah Eunha tampak agak pucat. Eunha mengulum senyum dan menggeleng pelan.
"Aku baik-baik saja," sahutnya tenang. "Mungkin sedikit agak lelah. Hanya sedikit," lanjutnya mendekatkan ibu jari dan telunjuknya, memberi sedikit jarak hingga keduanya tidak menempel. Umji dan Sinb saling melirik, kemudian Sinb menggelengkan kepalanya pelan.
"Kalau sakit, pulang dan istirahat saja. Lagipula ini bukan comeback resmi," Sinb mengangkat bahu ringan, seolah keabsenan Eunha tidak masalah baginya.
"Aku baik-baik saja, kenapa kalian pikir aku sakit?" balas Eunha menggerutu, memegang wajahnya yang hangat. Tidak dingin maupun panas. Normal.
"Kalau begitu, ayo latihan lagi," ajak Umji, berjalan kembali ke tengah ruang latihan. Sinb mengikuti di belakangnya, dan Eunha terjatuh saat hendak bangkit dari duduk. Mendengar suara gaduh dari Eunha, Umji dan Sinb refleks menoleh.
"Ada apa?" tanya Umji, berlari mendekat dan membantu Eunha berdiri.
"Kepalaku tiba-tiba pusing," jawab Eunha, memegang kepalanya dengan tangan kiri sementara tangan kanannya dipegang oleh Umji. Sinb mendengus keras.
"Aku akan memanggilkan manajer," katanya datar, berjalan keluar ruang latihan sementara Umji memegangi tubuh Eunha yang limbung.
###
Eunha terhenyak di kursinya begitu dokter yang ada dihadapannya berbicara. Tidak, tidak, tidak! Ini hanya mimpi buruk! Mimpi yang sangat buruk! Eunha pucat, tidak bisa mengatakan apapun sementara matanya membelalak, seolah meneriakkan rasa frustasi yang kini menimpanya.
"Umurnya kurang lebih satu bulan, apa kau mau melihatnya di USG?" dokter perempuan paruh baya dan memakai kacamata persegi panjang itu bertanya dengan ramah. Seolah tidak mengenal perempuan yang ada di depannya, yang mana itu sama sekali tidak mungkin.
"Tidak!" Eunha menjawab, hampir membentak. Tubuhnya gemetar ketakutan, sementara mata besarnya mulai berair. Kekhawatiran mulai membanjiri benak Eunha, hingga dia tidak langsung meminta maaf karena telah bersikap kasar.
"Nona Jung, aku mengerti perasaanmu, tapi aku mohon tenang lah," dokter itu mencoba meraih Eunha lembut, tapi dia tidak bergeming. Sorot penuh pengertian dari dokter didepannya membuat Eunha semakin pusing. "Aku tidak akan mengatakan apapun, pada siapapun kalau itu membuatmu merasa lebih baik."
Eunha menarik napas panjang beberapa kali, mencoba menguasai diri.
"Ya, tolong lakukan itu," gumam Eunha, berbisik lemah. Dokter Han mengangguk, kembali duduk tegak sambil membaca ekspresi Eunha yang masih terlihat linglung. Lama tidak ada yang berbicara, dan Dokter Han pun tidak memiliki keberanian untuk menyuarakan pertanyaan-pertanyaan yang muncul di kepalanya, seperti; siapa ayah dari bayi itu?
"Aku akan memberimu resep untuk anemia serta beberapa vitamin untuk menguatkan kandunganmu. Kau harus meminumnya secara rut--"
"Tidak!" Eunha menggelengkan kepalanya lemah, memotong ucapan Dokter Han. "Tidak bisakah aku menggugurkannya saja?"
Dokter Han tidak bisa kaget, Eunha bukan orang pertama yang meminta hal itu padanya dengan ekspresi sedih seperti itu. Hanya saja, dokter itu merasa kecewa. Dokter Han cepat-cepat menggelengkan kepala dan menghembuskan napas panjang. Yah, orang yang memiliki hati paling baik pun akan bingung dan gusar jika dihadapkan pada situasi ini. Tapi Dokter Han harap, Eunha bukan orang seperti itu.
"Nona Jung, aku akan memberimu formulir persetujuan jika itu memang hal yang kau mau. Tapi, kau tidak boleh langsung menyerahkannya. Pikirkanlah dulu, setidaknya tiga hari. Atau berundinglah dengan ... ayah dari bayi itu. Mungkin ada jalan yang lebih baik dari pada ini," gumam Dokter Han, merogoh laci meja kerjanya dan memberi Eunha selembar kertas berisi data-data dan pernyataan singkat.
###
Satu hal yang Eunha syukuri hari itu adalah, bahwa dia memiliki apartemennya sendiri. Tidak ada orang yang akan menanyakan keadaannya yang saat ini sedang tidak baik-baik saja. Eunha melemparkan tasnya ke sofa panjang di ruang tengah kemudian pergi ke kamar mandi. Dia merasa tidak nyaman dengan badannya yang lengket, atau mungkin hanya sekedar ingin membersihkan diri.
Air dingin yang mengguyur tubuhnya saat ini terasa menyejukkan. Tubuh perempuan itu berubah kaku saat hendak menyabuni perutnya. Ada kehidupan disana, perempuan itu menyadari. Anaknya, Eunha tercekat atas pikirannya sendiri.
Astaga! Apa yang akan terjadi padanya? Bagaimana dia akan menjelaskan ini pada perusahaan, Sinb, Umji ... keluarganya? Puff mandi jatuh dari tangannya yang gemetar hebat. Dia tidak sanggup menyentuh perutnya sendiri. Pada akhirnya, Eunha lebih memilih keluar kamar mandi dan berpakaian secara asal.
Dia tidak tau harus menceritakan hal ini pada siapa. Eunha tidak punya banyak teman, dan menceritakan hal ini pada Umji, Sinb, atau teman-temannya yang lain, hanya akan menambah keributan. Tentu saja dia juga tidak berani mengatakan hal ini pada keluarganya.
Ponselnya berdering, dan Eunha menyambar tasnya dengan serampangan. Nama Sinb yang muncul di layar ponsel, diikuti dengan selembar kertas yang diberikan oleh Dokter Han tadi. Eunha meraih ponsel dengan tangan kiri sementara tangan kanannya membuka kertas yang terlipat itu, membacanya lagi.
"Ya, ada apa?" sapa Eunha, terdengar pahit.
"Apa kau sudah periksa? Dokter bilang apa?" Sinb bertanya dengan nada datar seperti biasa. Eunha meneguk ludah kelu. Mungkin, jika bayi ini milik lelaki lain, Eunha bisa menceritakannya pada sahabat sejak kecilnya itu. Tapi, bayi ini adalah anak dari lelaki itu. Eunha yakin, Sinb akan langsung mengamuk begitu tau yang sebenarnya.
"Anemia," jawab Eunha singkat. Dia bisa mendengar Sinb mendengus tidak percaya di seberang sana.
"Yang benar saja! Bagaimana orang yang banyak makan sepertimu bisa terkena --"
"Sinb, aku lelah. Aku tutup, ya?"
Eunha membayangkan Sinb yang sedang memandangi ponselnya keheranan sekarang. Tapi, Eunha tidak mau membicarakan masalah ini lebih jauh. Perempuan itu menatap tempat dimana dia seharusnya tanda tangan, menyetujui surat keterangan aborsi itu, dengan pandangan kosong.
Sial! Dia benar-benar sial!
###
Yahoooooooo....
KAMU SEDANG MEMBACA
Cute Bunny Club (2022) {✓}
FanfictionSiapapun pernah melakukan kesalahan, dan itu hal yang lumrah. Merasa ngeri dengan masalah yang kita timbulkan juga bisa di maklumi, tapi menyakiti orang lain? Apakah itu masih bisa diterima? Kesalahan demi kesalahan, kesakitan demi kesakitan, tapi d...