***
Setelah selesai mandi, Lucas langsung berdiam diri di kamar, tidak berniat menemui ayah yang sangat dirindukannya, pun tidak ingin menagih oleh-oleh berupa sepatu impiannya.
Lucas termenung menatap langit siang yang tampak mendung. Tadi, saat mandi, dadanya kembali sakit alhasil wajahnya kini menjadi pucat."Sebenarnya ini kenapa?" Gumamnya sembari mengurut pelan dada kirinya.
Pintu kamarnya terbuka, dilihatnya ayah yang datang menghampirinya.
"Adek nggak kangen ayah apa?" Tanya ayah yang sudah duduk di sisi ranjangnya."Rindu..." Lucas berhambur memeluk ayah. Ayah membalas pelukan Lucas lalu mengecup keningnya singkat.
"Adek demam?" Ayah meletakkan punggung tangannya pada kening si bungsu. Dan benar saja, hawa panas menjalar.
"Astaga adek. Ayah panggilkan bunda dulu."
Lucas menggeleng. Ia menahan ayah untuk tidak beranjak dan kembali memeluknya.
"Ayah... Adek ikut kakak ke Jepang ya," ucap Lucas dengan nada manjanya."Adek mau bunda sendirian dirumah?"
Lucas menggeleng.
"Nanti bunda juga ikut.""Adek, kakak ke Jepang bukan untuk liburan loh. Kakak di sana belajar. Cuma satu bulan kok dek."
"Tapi kakak nanti sendirian di sana."
"Ada banyak teman di Jepang. Adek nggak usah khawatirkan itu. Ayo! Sekarang adek istirahat dulu, nanti ayah kesini lagi bawa makan sama obat." Ayah membantu Lucas untuk berbaring.
**
Jika di tanya, apa tujuan hidupmu? Maka Lucas akan menjawab, tujuan hidupnya adalah kebahagiaan bunda, ayah, dan kakak.
Dilahirkan dari keluarga yang berada, pun penuh kasih sayang tak hentinya membuat Lucas berhenti bersyukur.
Tuhan itu maha baik, kata ayah, tuhan tidak akan memberikan ujian kepada hambanya melebihi kemampuan hambanya.Dan vonis dokter tadi, apakah masih berlaku, perkataan ayahnya dulu. Jantung Lucas kembali bermasalah. Itu artinya, ia tidak bisa bermain basket lagi, Lucas tidak akan bisa menaiki gunung bersama Juno lagi, bermain hujan di halaman rumah. Lucas tidak akan sebebas dulu.
Bunda akan sering menangis, pun ayah akan mengambil cuti panjang.
Tadi, setelah ia mengantarkan kakak untuk penerbangannya, Lucas mendadak pingsan.
Bunda memekik panik di dalam mobil, pun ayah yang sama khawatirnya. Ayah harus fokus menyetir dengan perasaan khawatir yang memenuhi.Saat ini, tubuh yang semakin kurus itu sedang berbaring di ranjang rumah sakit, menghadap menyamping, menatap kosong langit biru. Ayah dan bunda sedang berada di luar. Katanya, menemui dokter untuk membicarakan perihal pengobatannya.
Lucas tidak menangis sama sekali kala ayah memberitahukan perihal penyakitnya yang cukup serius. Kendati demikian, ia merasa bersalah karena akan kembali merepotkan mereka.
Lucas ingat, dulu sekali, ia memiliki penyakit yang sama dan itu sakit sekali setiap kali ia ke dokter. Lucas tidak pernah melupakan rasa sakit dan bekas jahitan panjang di area perutnya.
"Ngalamun ae Lo cil."
Lucas menoleh, menatap samchon yang entah sejak kapan sudah duduk di samping ranjangnya.
"Lo sakit apa bisa opname kayak gini?"
"Tanya aja sama ayah."
Cklek
Bunda dan ayah memasuki ruangan itu dengan mata yang sembab. Bunda menghampirinya, mengelus surai lebatnya dengan senyum tipisnya.
"Jangan kasih tau Kakak ya Bun." Bunda mengangguk.
"Bunda janji, akan melakukan apa saja untuk adek. Adek juga janji harus sembuh, harus bertahan ya nak."
"Iya bunda. Bunda jangan nangis." Lucas mengusap air mata bunda yang entah sejak kapan menetes.
Sementara Kian, menatap mereka dengan bingung. Ayah, pun membawa adiknya untuk keluar dan menjelaskan semuanya.
"Lucas sakit apa kak?"
"Jantungya kembali bermasalah. Kata dokter sudah cukup lama Lucas merasakannys dan menahannya sendiri."
Kian terdiam, mencoba mencerna ucapan kakaknya yang menyayat hati. Sebagai seorang paman, ia hanya ingin yang terbaik untuk keponakannya. Siapapun, tidak boleh meninggalkannya.
"Lalu, apa yang harus kita lakukan?"
"Operasi adalah jalan satu-satunya. Akan tetapi, itu juga cukup beresiko karena dulu Lucas pernah mengalaminya. Untuk saat ini, kita hanya bisa mengandalkan obat dan pola hidup yang sehat untuk Lucas." Tata menunduk, mengusap wajahnya kasar kala matanya kembali berair.
"Lucas itu hebat kak. Dia anak yang kuat dan hebat. Gue yakin, dia akan sembuh." Di setiap katanya selalu memiliki harapan yang terselip.
"Iya, bungsu gue memang hebat," balas tata. Kemudian keduanya kembali masuk.
***
Tiga hari, Lucas terpaksa menginap di rumah sakit. Seharusnya, hari ini ia masih dalam pantauan dokter. Tetapi, karena meminta untuk di pulangkan akhirnya dengan berat hati dokter mengijinkan dengan syarat harus bedrest selama beberapa hari. Lucas sih menurut saja, asalkan dirumah.
Saat ini, ia tengah menonton kartun di ruang tv. Sendirian, entah kemana kedua orang tuanya. Telepon berdering, dilihatnya nama sang kakak tertera. Dengan segera ia mengangkat panggilan video itu.
"Hallo."
"Kok nggak sekolah Lo?" Juno mengernyitkan dahinya kala melihat sang adik tidak memakai seragam.
"Gue sakit."
"Sakit Mulu kerjaan Lo. Sakit apa?"
"Demam."
"Sudah minum obat belum?"
"Sudah kakakku sayang."
"Idih najis."
"Lo sendiri? Nggak sekolah?"
"Gue lagi istirahat."
"Yaudah sana istirahat. Kenapa malah video call?"
"Yaudah Lo cepet sembuh. Gue matiin dulu."
"Hmm..."
"Adek, siapa yang telepon?" Bunda datang dengan membawa sepiring buah-buahan yang telah di potong.
"Kakak. Kayaknya kangen banget sama adek Bun," ucap Lucas sembari menerima sepiring buah itu. Melahapnya sedikit demi sedikit.
"Strawberry nya kok nggak ada Bun?"
"Adek nggak boleh makan strawberry terlalu banyak. Nanti ada jatahnya sendiri kok."
"Ih... Bunda... Satu-satunya buah yang bikin adek bucin kan strawberry Bun."
Bunda mengusak rambut Lucas gemas. Melihat bungsunya yang merajuk itu terlihat begitu menggemaskan.
"Bunda lanjut bikin cake dulu ya."
Lucas mengangguk. Kemudian fokusnya kembali ke televisi.
Komen dong sayyyyy

KAMU SEDANG MEMBACA
Lu(C)As
FanfictionIni tentang si bungsu, yang hatinya sangat luas dalam menerima garis takdir sang pencipta. Kata orang hidupnya sangat sempurna. mari kita lihat, sesempurna apa hidup si bungsu.