17🥀

803 56 11
                                    

***

Juno memeluk bunda sembari menangis. Setelah terbangun dari pengaruh obat tidur tadi, ia langsung memeluk bunda. Menggumamkan kata-kata yang membuat bunda sedih.
"Kenapa dokter nggak ambil jantung Juno buat adek Bun." Kalimat itu berhasil membuat kedua orang tuanya terdiam. Bunda mengelus surainya.

"Kakak tidak boleh mengulanginya lagi ya. Bunda akan sangat hancur jika anak-anak bunda pergi."

"Tapi Lucas kesakitan Bun. Kakak hanya.... Ingin menjadi kakak yang berguna."

Bunda menghapus air mata Juno yang masih mengalir.
"Kakak dengar bunda, dengan menabrakkan diri dan berniat mendonorkan jantung kakak untuk adek itu bukan hal yang baik. Donor jantung itu ada prosedurnya kak. Adek kamu pasti akan sangat sedih jika mengetahui kakaknya berbuat seperti itu."

"Maaf bun."

"Jangan di ulangi lagi ya nak. Bunda sama ayah sudah mencarikan pendonor yang cocok untuk adek kok. Kita tinggal menunggu saja."

Juno mengangguk. Ia mendongak, menatap ayahnya yang berdiri tepat di samping kirinya. Ayah tersenyum tipis sembari mengacak surai lebatnya.

"Maafin ayah tadi ya Kak."

"Maafin kakak juga ya yah."

"Nah, sekarang sudah boleh pulang, karena infusnya sudah habis." Ayah berniat memanggil perawat untuk melepas infus anaknya. Tetapi di dahului oleh dokter mawar, selaku dokter yang menangani Lucas, datang dengan senyum raut manisnya.

"Dokter mawar." Bunda mengernyitkan dahinya. Pasalnya, dokter yang memeriksa Juno tadi bukan dokter mawar.

"Saya membawa kabar bahagia untuk kalian. Saya telah menemukan pendonor yang cocok untuk Lucas."

"Benarkah dok?" Tanya ayah yang terlampau antusias, pun dengan bunda yang mengucap syukur.

Dokter mawar mengangguk.
"Penantian dan kesabaran kita membuahkan hasil. Lucas bisa langsung di operasi lusa dan hari ini harus kembali kerumah sakit untuk pemeriksaan tubuhnya kembali."

Bunda memeluk dokter mawar dengan tangis harunya.
"Terimakasih dokter, terimakasih." Dokter mawar membalas pelukan ibu dari pasiennya. Sebagai seorang ibu, ia juga bisa merasakan bagaimana perasaan ibu pasiennya ini.

"Tidak perlu berterimakasih, Bu. Ini sudah tugas saya sebagai seorang dokter, pun saya juga mempunyai anak seumuran Lucas. Pasti saya akan melakukan yang terbaik untuk kesembuhan anak ibu."

"Nah, sekarang saya bantu lepas infusnya untuk kakaknya Lucas."

"Nama saya Juno dok."

Dokter mawar dengan telaten melepas infus Juno. Ia tersenyum tipis menatap wajah yang di penuhi lecet itu.
"Kamu tetap tampan walau wajahnya luka. Lebih hati-hati lagi ya kalau mengendara."

Juno mengangguk.
"Terimakasih dokter."

"Sama-sama."

Setelahnya, dokter mawar berpamitan dari sana pun dengan mereka yang berjalan beriringan menuju ke resepsionis untuk menyelesaikan administrasi juga menebus obat di apotek.
Juno di papah oleh bunda, tak sengaja mereka melihat kericuhan di depan, sebuah blankar melewati mereka. Yang membuat mereka terkejut adalah, Lucas yang berbaring di blankar itu, pun dengan Kian serta Airin yang mengikuti dengan tangisnya.

"Kian, apa yang terjadi?" Ayah menahan tangan Kian.

"Lucas kak, hiks... Lucas nggak mau bangun." Seakan tersambar petir disiang bolong. Hati mereka hancur kala mendengar ucapan Kian.

Tubuh bunda melemas. Bunda kembali menitikan air matanya. Entah, musibah apa lagi yang menimpa keluarganya. Tolong, bangunkan mereka dari mimpi buruk ini.

Lu(C)AsTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang