4🌻

984 70 0
                                        




**

Lucas itu tidak pintar dan juga tidak bodoh. Ia berada di tengah-tengah, makannya ia memilih jurusan IPS karena ia sangat tidak pandai menghitung.
Berbeda dengan Juno yang pintar dalam hal akademik maupun non-akademik.

Tetapi, ayah dan bunda tidak pernah membedakan mereka. Tidak pernah menuntut Lucas untuk menjadi seperti kakak. Ayah cenderung memberikan kebebasan untuk masa depannya.
Ayah dan bunda memberikan kasih sayang sama rata. Walaupun kakak sulung, mereka akan selalu memanjakan kakak begitupun sebaliknya.

Lucas masih lima belas tahun dan sebentar lagi akan enam belas tahun. Dan satu tahun lagi, ia akan memiliki KTP dan juga SIM.
Ia ingin menjadi lelaki dewasa yang pandai mengendarai mobil. Ia ingin sekeren Juno katanya.

Bel pelajaran kedua telah berbunyi. Karena matematika, Lucas memutuskan untuk membolos ke rooftoof sekolah. Lucas melihat siluet siswa yang tengah menyesap rokok dan itu tidak asing. Lucas mengenalnya. Maka dari itu, ia menghampirinya.

"Lo rokok Hon?" Sementara yang di tanya tampak kaget dan reflek mematikan rokoknya.

"Anjing, Lo bolos?"

"Gue tanya kenapa balik tanya?"

"Ya Lo tau sendirilah, udah lihat juga." Orang itu Jihon. Teman yang sudah hampir satu tahun di kenalnya. Walaupun tidak satu kelas tetapi mereka sama-sama anggota club basket.

"Kenapa?" Lucas menatap Jihon yang menatap lurus kedepan. Tidak berniat membalas tatapan lembut Lucas.

"Apa gue harus cerita?"

Lucas mengangkat kedua bahunya.
"Kalau Lo nggak mau cerita, its oke, gue nggak maksa. Tapi, kalau Lo butuh teman untuk mendengarkan keluh kesah Lo, gue siap."

"Lo tau nggak, persaudaraan manis antara gue dan Jihan hanya terjalin di sekolah. Dirumah, kami itu seperti orang asing. Bokap selalu pisahin kami. Katanya, gue itu membawa pengaruh buruk buat Jihan. Kita selalu di banding-bandingkan dan gue sudah sampai ketitik lelah, Cas."

Jihon masih menatap lurus kedepan dengan pandangan kosong. Ada luka besar di tatapan matanya. Lucas bisa merasakan itu. Walaupun ia tidak pernah diperlakukan sedemikian seperti Jihon, nampaknya ia bisa merasakan getaran kecewa dari tiap kata yang diucapkan Jihon.

"Lo benci Jihan?"

Jihan menggeleng pelan.
"Gue nggak pernah sekalipun niat untuk benci Jihan. Dia nggak salah. Yang salah itu bokap."

Lucas menghela napas lega mendengar jawaban Jihon.
"Kalau begitu Lo nggak boleh hancurin masa depan Lo. Berhenti rokok dan buktikan kepada bokap Lo kalau Lo itu bisa."

"Gue bisa apa Cas? Gue cuma bisa nyusahin mereka. Gue bodoh dan nggak bisa di handalin. Kata papa gue itu pembawa sial."

"Nggak ada seorang anak yang dilahirkan seperti itu Hon. Lo bisa di bidang Lo. Jangan terus ikutin Jihan. Kata Lo, dulu Lo jago main volly. Coba Lo dalamin bakat Lo itu. Gue akan support Lo terus kok. Jangan menyerah sama keadaan Hon. Buktikan kepada mereka kalau Lo itu bisa sukses dengan cara Lo sendiri."

Jihon menatap Lucas dengan berkaca-kaca. Walaupun mereka tidak begitu dekat, kata-kata Lucas berhasil membuatnya bangkit dari lingkaran setan yang dibuatnya sendiri.

"Nangis aja, jangan melulu cowok nggak boleh nangis." Dan akhirnya tangisnya pun pecah.

"Thanks Cas, Lo memang yang terbaik."


**

Pemandangan langit senja ini sangat indah. Warna jingga menghiasi angkasa Jakarta yang penuh polusi, tapi masih sangat enak di pandang mata. Siluet remaja tampan yang baru bangun dari tidurnya bagai lukisan di atas kanvas.
Tertidur di atas rooftoof sekolah sampai sore seperti ini berarti ia telah bolos seharian.
Ia mengecek ponselnya, terdapat puluhan panggilan dari bunda, Juno, dan juga teman-temannya. Pun jam sudah menunjukkan pukul lima dan sekolah pasti sudah sangat sepi.

Lu(C)AsTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang