***
"Adek masih kuat ayah! Adek masih bisa main kok."
Suasana tegang tampak terlihat di ruang keluarga Tata Kim. Si bungsu yang masih kekeh ingin melanjutkan basketnya dan sang ayah yang melarang.
Lucas mengepalkan jari-jarinya. Ia tau ini tidak sopan. Membentak ayah yang disayanginya, akan tetapi, Lucas juga tidak bisa meninggalkan tujuannya."Kalau begitu, kamu homeschooling," ucap ayah dengan datar. Setelahnya ayah beranjak dari sana, diikuti bunda yang juga membujuk sang suami.
Sementara Lucas hanya membeku di single sofa yang di duduknya. Tadi ayah bilang 'kamu' yang artinya ayah sedang marah besar.
Lucas menunduk diiringi air mata yang terjatuh."Kenapa menangis heum? Nyesel karena sudah bentak kak Tata apa karena homeschooling?" Kian, yang memang sedari tadi ada disana, mendekati sang keponakan sembari mengelus surai hitam milik Lucas itu.
"Dua-duanya, hiks..." Lucas mendongak, menatap sang samchon sembari menangis.
"Yaudah minta maaf sana!"
"Tapi adek masih ingin basket, samchon."
Kian menghela nafas pelan. Menatap keponakannya itu dengan iba. Di belainya surai lebat itu dan di peluknya tubuh ringkih itu.
"Samchon tau. Tapi, Lucas harus tau batasan tubuh Lucas. Sekarang, tubuh Lucas tidak sekuat dulu. Lucas boleh main basket tapi nanti, ada saatnya setelah Lucas sembuh." Kian mencoba memberi pengertian dengan bahasa sederhananya.
"Maaf samchon," ucap Lucas pelan.
"Minta maafnya kok sama samchon."
Kian terkekeh melihat ekspresi keponakannya yang tampak menggemaskan itu.
"Yaudah, karena ini sudah malam, Lucas tidur yuk! Mau samchon temenin?"
Lucas mengangguk. Kemudian, ia meminta Kian untuk menggendongnya dan dengan senang hati, Kian menerimanya.
"Tapi, samchon, kenapa samchon selalu menggunakan bahasa Lo gue sama adek?"
"Karena Lo nggak mau panggil gue Hyung kayak Juno."
"Tapi samchon kan samchon, bukan Hyung."
Kian tidak menjawab karena mereka telah sampai di dalam kamar. Lucas merebahkan dirinya di ranjang.
"Samchon mau menginap?"
"Nggak. Gue ada kelas pagi besok," balas Kian sembari mematikan lampu utama dan menggantinya dengan lampu tidur.
"Good night keponakan jelek."
"Night to paman jelek."
Setelahnya Kian keluar dari kamarnya. Lucas menatap langit-langit kamarnya, tidak bisa tidur karena masih memikirkan kemarahan sang ayah, pun ia masih ingin bertahan dalam tim basketnya.
Pagi harinya, Lucas telah siap dengan seragam putih abu-abunya. Meraih tasnya dan berjalan riang menuju ruang makan. Disana, sudah ada ayah yang tengah membaca koran dengan kopinya yang mengepul. Bunda masih di dapur untuk menyiapkan sarapan.
Lucas duduk dalam diam, tidak berani menyapa sang ayah yang diam-diam memperhatikannya."Siapa yang suruh sekolah?" Tanya ayah dengan suara beratnya.
"Adek sudah sehat ayah."
"Masuk?" Ayah menunjuk ke arah kamarnya sembari menatapnya dengan tatapan dingin. Lucas tidak tinggal diam. Ia menghampiri ayah dan menggenggam tangan ayah.
KAMU SEDANG MEMBACA
Lu(C)As
FanficIni tentang si bungsu, yang hatinya sangat luas dalam menerima garis takdir sang pencipta. Kata orang hidupnya sangat sempurna. mari kita lihat, sesempurna apa hidup si bungsu.