13🌻

605 69 4
                                    





***

Lucas mengusap peluhnya yang bercucuran sembari berlari mengelilingi lapangan. Ia di hukum karena tidak membawa baju olahraga. Lima kali putaran adalah hal kecil jika jantungnya sesehat dulu.
Lucas menghentikan larinya, menghirup udara sebanyak mungkin sebelum melanjutkannya lagi. Bisa saja ia bilang yang sejujurnya kepada guru olahraganya bahwa ia sakit. Akan tetapi Lucas tidak ingin melakukan itu. Sudah sejak ia di vonis penyakit mematikan itu ia tidak olahraga. Setiap check up ke rumah sakit bebarengan dengan pelajaran olahraga. Akan tetapi check up kali ini di majukan dua hari. Mungkin karena penyakitnya bertambah parah Lucas tidak mau ambil pusing.

"Lucas, kenapa berhenti? Kurang dua putaran!" Pekik guru olahraga itu. Lucas mendengus kemudian kembali melanjutkan hukumannya.

Lucas merebahkan tubuhnya di sisi lapangan kala hukumannya telah selesai ia kerjakan. Ia menatap angkasa pagi menjelang siang yang nampak terik. Tenaganya sudah terkuras habis. Ingin meminta teman untuk mengantarkannya ke UKS tetapi temannya tidak ada yang memperdulikannya. Jadi, ia meraih ponselnya. Menghubungi satu-satunya orang yang sangat memperdulikannya. Dan tidak butuh waktu lama, seseorang itu berlari menghampirinya dengan raut kentara khawatir.

"Lucas woy, Lo pingsan? Tapi mata Lo masih kebuka." Dia Mark. Setelahnya mendapat chat dari Lucas ia langsung berlari kemari, beruntung ia sedang jam kosong.

"Lemes banget gue," ucap Lucas dengan lirih di sertai kekehan yang terlihat menyebalkan bagi Mark.

Mark menatap sekeliling.
"Woy, Dejun bantu gue," teriak Mark yang melihat Dejun melamun tak jauh darinya. Dejun mendekat, rautnya nampak terkejut melihat Lucas yang pucat pasi itu tetapi ia berusaha untuk menyembunyikannya.

Lucas menatap Dejun dengan tatapan yang sulit di artikan.
"Bantu gue bawa Lucas ke UKS dong."

Tanpa menjawab, ia membantu Mark memapah Lucas. Butuh waktu sekitar lima menit untuk sampai di UKS. Setelah merebahkan Lucas di ranjang UKS, Dejun langsung pergi.

"Dejun juga jauhin Lo?" Tanya Mark sembari memijat kakinya tatkala ia merengek sakit. Padahal yang sakit jantungnya. Tetapi mana mungkin Mark bisa memijit jantungnya.

"Gue lupa belum ngucapin terima kasih sama Dejun."

"Jawab dulu pertanyaan gue!"

"Seperti yang Lo lihat."

Mark menghela nafas pelan. Ia menatap Lucas yang nampak menatap kosong ke langit-langit UKS. Sampai sekarang pun ia tidak tahu alasan sebenarnya di balik perubahan Lucas yang menjadi pendiam. Ini bukan Lucas yang di kenalnya.

"Lo belum mau jujur sama gue?"

"Maksud Lo?" Lucas menatap Mark dengan dahi mengernyit.

"Lo pasti tau apa maksud gue Cas,."

Lucas tersenyum. Ia menggenggam tangan Mark yang masih sibuk memijat tangannya.
"Nanti pasti gue kasih tau Lo kok Mark. Thanks sudah selalu percaya sama gue." Lucas medudukan dirinya. Ia ingin menemui seseorang sebelum terlambat.

"Lo mau kemana?"

"Balik kelas."

"Ngapain anjir. Lo masih sakit."

"Gue udah oke kok."

"Lo emang keras kepala banget sih." Pada akhirnya, Mark membantu Lucas untuk kembali ke kelas.

***

Lucas berdiri di depan pintu lapangan indoor yang sangat tidak asing. Ya... Hampir satu tahun ia setiap harinya selalu kemari untuk mencapai tujuannya. Lucas menghela nafas pelan dan dengan perlahan ia membuka pintu itu. Dilihatnya lapangan yang sepi tidak ada seorang pun kecuali seseorang yang di carinya yang tengah duduk di kursi penonton sembari melamun.
Lucas duduk di samping seseorang itu dan membuat empunya terkaget.

  "Tunggu." Lucas menahan tangan seseorang itu ketika akan beranjak.

"Derry, selamat ulang tahun," ucapnya dengan senyum lebarnya. Sementara seseorang itu yang ternyata adalah Derry tampak mendengus sebal.

"Duduk dulu Der, gue mau bicara!"

Dengan terpaksa Derry kembali duduk dengan jarak dua kursi dari Lucas.

"Tante Airin ingin ketemu Lo, jam tujuh malam di restoran biasa. Gue nggak tau restoran yang mana tapi kata Tante Airin Lo pasti tau."

Tante Airin itu ibunya Derry. Mereka berpisah semenjak kecil karena hak asuh Derry jatuh pada ayahnya.
Semenjak kecil, ayahnya selalu menanamkan kebencian pada diri Derry untuk membenci ibunya. Dan alhasil sampai sekarang Derry tidak pernah mau bertemu ibunya.

"Kenapa Lo repot-repot bilang itu ke gue kalau Lo sudah tau jawabannya."

"Please Der, untuk terakhir kalinya, kata Tante Airin."

Lucas menyodorkan sebuah paper bag yang sedari tadi di bawanya.
"Hadiah dari gue, semoga Lo suka." Setelahnya Lucas beranjak. Derry membanting hadiah dari Lucas.

"Gue emang miskin Cas. Lo mgehina gue dengan kasih hadiah seperti itu?" Derry menatap nyalang Lucas.

"Bukan itu maksud gue. Gue hanya... Ingin Lo pakai sepatu itu untuk pertandingan nanti. Hanya itu. Lo bisa buang sepatu itu kok Karena sepatu itu sudah jadi hak Lo." Setelahnya, Lucas benar-benar pergi dari tempat itu dengan air mata yang terus saja mengalir.

Lucas mencengkeram dadanya yang terasa sakit setelah menutup pintu lapangan.
"Aarrghh.." satu ringisan keluar dari bibir mungilnya. Entah kenapa sakitnya bertambah berkali lipat. Nafasnya pun ikut sesak. Lucas ingin mencari bantuan tetapi ia sudah tidak punya tenaga, mempertahankan kesadarannya pun terasa sulit.

"Tuhan jika ini waktu terakhirku tolong biarkan aku memeluk bunda," batinnya.

"Uhuk... Uhuk... Arrghhhh." Sebelum kesadarannya terenggut, ia mendengar suara seseorang yang memekik memanggil namanya.



**

  Bunda menangis di pelukan ayah, setelah mendapat kabar bahwa Lucas kambuh dan di bawa kerumah sakit, mereka langsung kemari. Menunggu Lucas di tangani di UGD yang sudah hampir satu jam.
Mereka bisa melihat bagaimana dokter mengembalikan detak Lucas dengan defribrilator.

"Ayah... Bungsuku yah." Ayah mengelus punggung bunda sembari merapalkan kata penenang dalam hatinya. Saat ini perasaanya juga takut. Banyangan kematian sang anak ada di depan mata. Ayah tidak ingin itu terjadi.

"Ayah... Bunda... Adek kenapa?" Juno, dengan seragam putih abu-abunya, ia berlari menghampiri keduanya. Juno bersimpuh di depan orang tuanya. Menggenggam tangan bunda sembari meminta penjelasan.

"Dokter sedang membantu adek. Kakak bantu doa ya." Juno meneteskan air matanya. Ia menatap pintu UGD yang transparan. Juno beranjak kemudian berjalan mendekat.
Ia bisa melihat dada adiknya yang terus di tekan oleh para medis.
Juno meneteskan air matanya. Ia mengepalkan tangannya.
"Adek, ayo kembali! Kakak mohon," ucapnya dalam hati. Juno menoleh kebelakang melihat sosok berpakaian sma yang duduk tidak jauh dari orang tuanya. Kemudian ia berjalan mendekat. Duduk di samping seseorang itu dan memeluknya.

"Lucas kenapa kak? Tadi... Tubuhnya dingin banget gue pegang. Hiks... Lucas baik-baik aja kan?" Dia Mark, sosok penolong Lucas yang membawanya ke rumah sakit.

"Sebenarnya apa yang terjadi Mark?"

"Gue lihat Lucas pingsan di depan lapangan indoor. Dan... Tolong jawab pertanyaan gue."

"Jantung Lucas sakit Mark. Makanya, di keluar dari basket karena tubuhnya sudah nggak mampu lagi."

Mark menggelengkan kepalanya tak percaya dengan air mata yang masih mengalir deras.

"Nggak, nggak mungkin. Lo pasti bercanda kan kak, hiks..."

Juno membawa Mark ke pelukannya. Menenangkan pemuda yang satu tahun di bawahnya itu.
"Terimakasih ya sudah menolong Lucas. Gue nggak akan lupain itu," ucapnya sembari menatap ruangan tempat Lucas berjuang untuk detaknya.



Jangan lupa vote

Lu(C)AsTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang