1. Lolos Seleksi

119 36 60
                                    

SMA Karya Satu, salah satu sekolah terbaik di kota ini. Demi bisa memasuki sekolah ini, murid-murid SMP yang akan lulus, belajar keras agar bisa lolos seleksi sekolah ini.

Alysa merupakan salah satu murid SMP tersebut. Ada upaya besar yang harus ia lakukan selain belajar keras supaya lolos seleksi, tapi ia juga harus rela untuk tinggal jauh dari kedua orang tuanya dan hidup bersama keluarga pamannya.

Siang itu, Alysa dan murid-murid berseragam putih biru lainnya, berdesakan untuk melihat pengumuman. Tubuhnya yang pendek, menyulitkannya untuk melihat papan pengumuman.

"Aw!" keluhnya saat kepala Alysa tersenggol bahu seorang siswa bertubuh jangkung.

"Eh, sorry, nggak sengaja," ucap pemuda jangkung itu.

Desakan siswa lain membuat tubuh mungil Alysa terhuyung. Dengan sigap, si jangkung tadi menangkap tubuh Alysa.

"Woy! Hati-hati! Yang mau lihat pengumuman bukan kalian aja!" hardik si jangkung yang membuat Alysa melongo. Secara ajaib, anak-anak lain menyingkir sedikit dan memberi Alysa ruang untuk melihat papan pengumuman.

Setelah berjuang keras menelusuri daftar nama yang ada, akhirnya Alysa mendapat jawaban dari usahanya.

"Udah ketemu namanya, Dek?" tanya si jangkung.

"Udah, makasih ya," jawab gadis itu sambil mengangguk.

Segera, gadis itu menyingkir ke tempat sepi dan mengeluarkan ponselnya guna mengabarkan hal ini kepada paman-bibinya.

"Halo? Om, Tante, aku lolos seleksi!"

"Alhamdulillah, kamu keterima di SMA Karya Satu? Udah kabarin orang tua kamu?" tanya om Fadil yang menjawab dari tempat kerjanya.

"Belum Om, ini baru mau ngasih tau ayah."

"Ya udah, kabarin ibu sama ayah," saran paman.

Setelah memutuskan panggilan, Alysa pun menghubungi kedua orang tuanya. Dengan jantung berdebar-debar, gadis itu menunggu teleponnya tersambung.

"Halo." Suara yang tak asing menjawab di ujung telepon.

"Ayah, Alysa lolos seleksi di SMA Karya Satu!" ucapnya dengan gembira.

"Alhamdulillah, ayah udah menduga anak ayah bakal lolos. Peringkat berapa kamu?"

"Peringkat 27, Yah!" ucap gadis itu dengan bangga.

"Wah, hebat! Anak ayah masuk tiga puluh besar!"

"Nggak cuma tiga puluh besar Yah, tapi juga masuk kelas A!"

"Nggak sia-sia kamu jauh-jauh ke kota, itu artinya kamu bakal tinggal sama om mulai dari sekarang."

Fakta yang diucapkan ayahnya, memudarkan senyum Alysa, ia baru menyadari bahwa dibalik kabar baik ini, akan ada pengorbanan yang harus ia jalani.

"Habis ini apa lagi prosesnya?" Kali ini suara ibu yang bertanya.

"Habis ini daftar ulang, terus bayar uang pembangunan, nyiapin seragam, dan penerimaan murid baru, Bu."

"Soal uang sekolah kamu nggak perlu khawatir, fokus sekolah aja kamu yang rajin, jangan lupa sholat yang rajin, berdo'a supaya diberi kelancaran." Begitulah nasihat dari ayah dan ibu Alysa.

Usai mengabari kedua orang tuanya, Alysa pulang ke rumah pamannya. Ia berjalan sendirian karena belum banyak teman yang ia kenal.

Semua teman-teman yang ia kenal di kampung, tak ada yang melanjutkan ke sekolah yang sama dengan Alysa. Kebanyakan dari mereka melanjutkan sekolah di SMA setempat, atau bahkan putus sekolah.

Ya, sebagian dari teman-teman satu SMP Alysa begitu lulus ada yang langsung bekerja guna membantu ekonomi keluarganya, ada yang merantau ke tempat lain, bahkan ada beberapa yang langsung menikah. Intinya ketidakmampuan ekonomi, membuat teman-teman sekolah Alysa tidak melanjutkan pendidikan ke jenjang yang lebih tinggi.

Berbeda dengan orang tua lain, orang tua Alysa memiliki pikiran yang maju untuk menyekolahkan anak sulung mereka setinggi mungkin. Meskipun secara ekonomi mereka belum mampu untuk mewujudkan hal ini, tetapi ayah dan ibu Alysa mengusahakan bagaimana caranya agar putrinya bisa sekolah.

Sebab, di sekolah sebelumnya, Alysa merupakan murid berprestasi. Ia selalu langganan ranking satu dari SD sampai SMP.

Keinginan kuat dari Alysa dan ayah-ibunya yang akhirnya membuat paman Alysa–om Fadil, bersedia menampung keponakannya ini di rumahnya, dan membantu biaya pendidikan putri abangnya.

"Assalammu'alaikum, aku pulang," ucap Alysa saat memasuki rumah.

"Hai, Sayang, udah pulang ya? Tadi om cerita ke tante kalau kamu lolos seleksi."

Alysa menyalami tangan tante Amanah, istri om Fadil. "Iya Tante, alhamdulillah," ucap Alysa sambil memaksakan senyum.

"Berarti jadi dong, Alysa tinggal di sini bareng tante sama om?"

"Iya Tante," ucap Alysa dengan muram.

"Lho, kok, sedih Sayang? Jangan sedih Aly, ini kan rumah Alysa juga, itung-itung pengalaman baru, nanti ibu,ayah, sama Lutfiah sering main ke sini, kok!" hibur tante Amanah dengan lembut, sambil mengusap-usap kepala Alysa, mencoba membesarkan hatinya.

Kemudian tante menyuruh Alysa berganti pakaian dan sholat Dzuhur sebelum makan siang. Alysa pun melangkah memasuki ruangan yang kini resmi menjadi kamarnya untuk tiga tahun ke depan.

Kamar itu berukuran 3×4 meter, cukup luas bagi Alysa yang terbiasa berbagi kamar dengan Lutfiah, adik perempuannya. Sebuah ranjang tunggal, dan lemari kayu berukuran sedang, mengisi kamar yang masih minim perabot itu.

Sambil berganti pakaian, Alysa menatap ruangan itu. Pikirannya kembali pada kenangan beberapa hari yang lalu pada malam pertama Alysa menempati kamar itu sebelum ujian seleksi. Ia nyaris tak bisa tidur. Bukan hanya karena memikirkan ujian seleksi, tetapi juga karena untuk pertama kalinya ia tidur sendirian di tempat asing.

Paman Fadil pernah menjanjikan pada Alysa, jika ia lolos seleksi, maka paman akan membelikan Alysa meja belajar untuknya. Belum memiliki momongan, membuat paman Fadil bersikap loyal pada keponakannya, bahkan ponsel baru yang Alysa gunakan untuk menghubungi keluarganya, juga dibelikan oleh paman Fadil.

Setelah itu, Alysa makan siang bersama tante. Lalu tante mengatakan setelah ini ia akan pergi ke tempat kerja paman Fadil, "Alysa mau ikut nggak?"

Alysa menjawab dengan gelengan, "Nggak Tante, Aly jaga rumah aja," jawabnya.

"Ya udah, habis ini cuci piring ya, jangan lupa sapu rumah, kunci pintu. Kalau ada apa-apa telepon om sama tante."

Usai menyelesaikan makan siangnya, tante pun mengendarai motornya menuju tempat kerja paman Fadil. Paman Alysa merupakan pedagang mie ayam dan bakso, meskipun sudah memiliki seorang karyawan, tante Amanah kerap datang membantu usaha suaminya.

Sepeninggal tante, Alysa mengerjakan pekerjaan rumah yang tantenya berikan, bahkan Alysa juga mengepel sebagian besar ruangan. Di kampung, Alysa memang terbiasa mengerjakan pekerjaan rumah seperti ini, bahkan pekerjaan ini lebih ringan karena kini Alysa tak perlu lagi membantu orang tuanya di kebun, atau mencuci pakaian di sungai.

"Canggih juga nih alat pel, nggak perlu capek meres-meres dan nungging-nungging," komentar gadis itu sambil membersihkan lantai. "Kalau aku tahu cara make mesin cuci, pasti udah kucuci semua baju."

Sebagai anak kampung, Alysa belum terbiasa hidup di kota. Memiliki kamar sendiri, smartphone, wifi, mesin cuci, dll. Semua itu merupakan suatu kemewahan bagi Alysa.

Selesai mengerjakan pekerjaan rumah, Alysa kembali ke kamarnya usai mengunci pintu. Rumah mungil itu terasa sepi, membuatnya sedikit menyesal tak mengiakan ajakan tantenya.

Akhirnya gadis itu membaca buku, hingga ia ketiduran, dan terbangun oleh suara pintu rumah yang dibuka oleh seseorang.

Bersambung

Selat Bersanding Bahu [Proses Revisi]Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang