13. Umpan Provokasi

21 6 26
                                    

Motor yang Arman kendarai melaju cepat di atas jalan raya, ia tergesa-gesa menuju ke tempat lesnya.

Dalam hati, ia mencoba menenangkan dirinya bahwa tak masalah terlambat sedikit, tetapi di sisi lain, pikirannya mengatakan bahwa kini dia sudah SMA, tentunya guru lesnya berbeda dan memiliki toleransi yang berbeda pula ketimbang waktu SMP. Hal ini menyebabkan pikirannya berkecamuk, takut terlambat.

Dan benar saja, sesampainya di sana, tempat les itu sudah sepi, semua murid sudah masuk ke dalam kelas. Pak satpam yang menjaga parkiran, menyuruh Arman untuk meninggalkan motornya dan langsung masuk ke dalam kelas.

"Biar saya aja yang parkirin," ucap pak satpam.

Arman berterima kasih dan langsung berlari mencari kelasnya. Dalam hati ia mengutuki dirinya sendiri, mengapa ia sok-sokan bersikap ksatria yang hanya akan merugikan dia.

"Aduh, ruangnya di mana? Tau gitu aku datang lebih awal," keluhnya mengacak-acak rambut.

"Man! Oi, sini!" teriak Tio dari ambang pintu sebuah kelas.

Panggilan dari temannya membuat Arman merasa lega, ia langsung menghampiri kawannya itu dan memasuki kelas.

"Guru udah masuk?" tanyanya waspada.

"Udah, tapi untungnya buku absen ketinggalan," terang pemuda bernama Aditio itu.

Begitu melangkah ke dalam, Arman menarik beberapa perhatian murid-murid peserta les di ruangan itu. Beberapa anak ada yang Arman kenali, karena mereka mengikuti les yang sama sejak SMP, sisanya merupakan wajah baru.

"Banyak juga peserta barunya," batinnya sambil mencari bangku yang nyaman tak jauh dari sohibnya.

"Maaf Man, aku udah duduk sama Alvin, kamu duduk sama Putri nggak apa-apa 'kan?" ucap Tio.

Ucapan Tio membuat anak itu baru menyadari, bahwa anak yang duduk di sebelah ransel Tio adalah Alvian, yang sedang memainkan game di ponselnya. Arman tak menduga keterlambatannya membuat ia tak duduk bersama sahabatnya, tetapi mengingat Aditio juga dekat dengan Alvian, Arman merasa tak keberatan.

"Yo'i," jawabnya santai dan menempatkan dirinya di samping Putri. "Misi ya, Put," sapanya pada gadis cantik itu yang cemberut karena kecewa tak duduk bersama Alvian.

Arman tak mempermasalahkan hal ini, ia hanya tak mengira akan sekelas dengan Alvian, mengingat semasa SMP ia tak pernah sekelas dengan pemuda itu, baik di sekolah, maupun di tempat les. Sehingga ia tak begitu dekat dengan anak itu dan gengnya.

Sikap ramah dari orang tua Alvian lah yang mendekatkan Arman dengan Alvian. Ayah-ibu Alvian berharap anak dengan nilai akademik tinggi seperti Arman, dapat berteman baik dan mendidik Alvian.

"Oi, Man! Telat lu?" sapa Alvian yang menyadari kedatangan Arman.

"Hehe, iya," jawab Arman basa-basi.

"Abis nganterin cewek lu ya?" goda Alvian.

"Bukan cewek gue, cuma Alysa," balas Arman santai.

"Oh, bukan cewek lu ya? Kirain ada something special, soalnya kamu perhatian ke dia," ujar Alvian melancarkan aksinya.

Meski merasa sedikit heran, Arman mencoba untuk merasa tak terganggu dengan sikap usil temannya itu. "Ya namanya juga dulu bertetangga, udah kayak keluarga sendiri."

"Ooo, keluarga ya? Kalian berkerabat?" selidik Putri yang ikut tertarik.

"Bukan, bukan siapa-siapa kita," jawab Arman. Ia langsung mengeluarkan bukunya dan mencoba mengalihkan perhatian. "Oi! Pak guru dateng, tuh!" tunjuk pemuda itu ke pintu, tampak seorang bapak-bapak yang berjalan sambil meneliti buku absen.

Sebelum guru les itu memfokuskan perhatiannya pada kelas, Alvian melancarkan serangan terakhirnya.

"Untung lu nggak telat, Man. Hati-hati sama orang yang ngaku keluarga, mereka suka manfaatin," nasihatnya pada pemuda itu.

***

Hari Selasa pagi ini Alysa persiapkan sebaik-baiknya. Kali ini ia menggunakan tas ransel yang om Fadil belikan. Mengingat ini baru hari ke dua kegiatan aktif belajar, pastinya masih akan ada beberapa buku pelajaran baru yang akan diedarkan selama seminggu ke depan.

Seragam baru yang ia coba kemarin terlalu panjang dan perlu dipendekkan ditukang jahit, sehingga ia masih berangkat mengenakan seragam pendek.

"Kok, kamu pake seragam pendek, Lis?" tegur tantenya saat Alysa keluar dari kamar.

"Kan seragamnya belum dipendekin Tante, makanya Alysa pakai dulu seragam ini," alasan gadis itu.

"Pakai aja lah, kalau nunggu dipendekin dulu kelamaan," balas tante.

"Nggak bisa Tante, roknya itu panjang, menyapu lantai. Nanti yang ada susah jalan dan kotor," tolak Alysa.

Tante Amanah menghela napas menghadapi sikap keras kepala keponakan suaminya. Dalam hati ia bertanya-tanya, mengapa dirinya yang lebih sering menghadapi anak ini? Mengapa bukan suaminya yang memang orang tua langsung dari anak ini mendidik serta mengasuhnya?

"Anak, anak siapa, kenapa lebih sering aku yang mengurusnya?" keluh tante dalam hati. Sedangkan paman dari anak yang menguras energinya itu, masih molor di kamar.

"Ya udah, terserah kamu, yang penting besok seragamnya dipakai ya! Udah dibeli mahal-mahal percuma nggak dipakai," ucap tante Amanah mengalah.

Alysa tak menjawab apa-apa, tetapi dalam hati sebenarnya ia ingin memprotes perintah tantenya. Sebab ia tak ingin mengenakan seragam itu sebelum ukurannya disesuaikan dengan tubuhnya yang tidak begitu tinggi. Sambil menyantap nasi goreng, Alysa merenungkan kata-kata tantenya.

Kemarin, setelah dia mencoba seragam baru yang dibelikan om dan tantenya, rupanya seragam itu kepanjangan. Om Fadil mengatakan itu bukan masalah, "Kepanjangan dikit, bisa diakali kok. Lagian Alysa kan pakai sepatu dan sabuk." Begitu komentar pamannya tatkala Alysa memprotes seragam yang kebesaran itu.

Setelah itu Alysa mengambil foto dirinya, dan mengirimkan foto itu pada orang di kampung. Ayah dan ibu Alysa, baru bisa memberi respons saat malam, ketika mereka sudah pulang dari ladang.

Mereka mengatakan bahwa seragam itu hanya kepanjangan sedikit, ditambah lagi Alysa masih di masa pertumbuhan, sehingga ukuran tersebut bukan masalah.

"Waktu SMP seragammu pendek nggak masalah, tapi sekarang kamu ini sudah akil-balig, Nduk. Pakaiannya harus yang menutup aurat." Begitulah nasihat ibunya.

Alysa paham bahwa kini ia sudah puber. Ia juga tak keberatan jika disuruh mengenakan seragam panjang dan berkerudung. Namun, hal yang membuatnya enggan mengenakan seragam itu adalah ukurannya.

Ia mencoba untuk tidak bersikap rewel dan banyak menuntut. Sebab ayah-ibu sendiri menyuruhnya untuk jangan sering-sering merepotkan om dan tantenya selaku orang tua kedua.

Anak itu menjalani paginya di rumah dengan lebih banyak diam, hingga ia pamit pada tantenya. Hanya kalimat pamit itu yang kemudian terucap sebelum mereka dipisahkan oleh kesibukan masing-masing.

Bersambung

Sedikit demi sedikit, udah mulai terlihat konfliknya guys.
Kira-kira, kenapa Alvian mencoba memprovokasi Arman?
Apakah Arman bakal termakan sama provokasi tersebut?

Selat Bersanding Bahu [Proses Revisi]Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang