Atas izin Papà, aku dan Isabelle pergi menemui salah satu dari teman Isabelle yang mengadakan pesta. Diantarkan Antonio yang kami bohongi, dia menurunkan kami di kelas yoga yang biasa didatangi Isabelle. Tiga jam. Waktu kami sebanyak itu untuk kembali ke aula kelas yoga.
Jadi, ketika kami tiba di rumah temannya yang tidak jauh dari jembatan Brooklyn, aku dan Isabelle berpisah. Dia pergi dengan temannya, sedangkan aku berusaha menikmati pesta sendirian.
Aku mengingat kembali kapan terakhir kali aku membohongi semua orang supaya bisa pergi ke pesta seperti ini dan itu terjadi tahun lalu, beberapa hari sebelum liburan natal yang Papà janjikan. Karena aku dan Isabelle ketahuan berbohong, kartu kredit kami diambil dan kami tidak diizinkan ikut liburan ke Selandia Baru bersama Luciana. Aku masih saja sakit hati ketika anak itu mengirimkan foto liburannya di sana yang mengangumkan.
Tapi, itu tidak membuatku maupun Isabelle kapok. Menjadi bagian dari Russo membuat kami tidak takut apapun, apalagi adik keduaku yang tampak menikmati dansa dengan salah satu pria.
Isabelle sangat populer. Mata cokelatnya lebih jelas dibandingkan milikku dan rambut pirangnya yang panjang membuat dirinya menjadi pribadi yang mencolok. Aku masih ingat ketika di sekolah dulu, Isabelle mendapatkan pernyataan cinta sebanyak 5 kali hanya dalam seminggu.
Tidak ada yang tahu kami adalah Russo dan Isabelle ingin tetap seperti itu. Papà juga mendukungnya, meskipun penjagaan ketat masih dilakukan. Bersyukur kehidupan sekolah Isabelle masih baik-baik saja sebelum dia memasuki usia pernikahan. Aku bisa bayangkan sekarang anak itu mencoba untuk menikmati lebih banyak kebebasannya.
"Sendiri?"
Aku menolehkan kepala, melirik seorang laki-laki berpakaian kasual yang tampak sekali seperti anak kuliahan. Matanya biru dan rambut hitamnya sangat lebat. Dia tampan, itu yang kuyakini.
"Dengan Isabelle."
"Ah, kamu kakak Isabelle."
Keningku berkerut. Aku tidak yakin Isabelle akan menceritakanku kepada teman-temannya.
"Maaf, aku lupa Isabelle melarangku bercerita. Tapi dia selalu menolak ajakanku dengan alasan kakaknya."
Jika aku jadi Isabelle, aku akan melakukan hal yang sama. Pergi berdua dengan pria setampan ini pasti akan membuat Isabelle mematahkan kepolosannya.
"Kami memang sedekat itu."
"Aku bisa melihatnya. Seperti jika aku harus mengajak Isabelle, aku juga harus mengajak kakaknya. Ngomong-ngomong, namaku Danielle Gianuni."
Gianuni? Kenapa aku tidak asing dengan nama itu.
"Angela," jawabku. "Kamu teman sekelas Isabelle atau..."
"Bukan. Aku jurusan lain, dan Isabelle dekat dengan kembaranku, jadi aku juga dekat dengannya."
"Kembaran?" Aku mencoba menoleh melihat teman-teman Isabelle dan tidak satupun perempuan yang bisa kuyakini sebagai kembaran lelaki ini.
"Cukup dengan pengenalanku, bagaimana dengan pestanya?"
"Apa ini pestamu?" tanyaku.
Danielle mengangguk. "Aku ingin melakukannya di klub, tapi Isabelle sepertinya tidak akan suka, jadi aku mengadakannya di sini."
"Well, ini rumah yang besar untuk mengadakan pesta."
Rumah ini tidak seperti rumah orang biasa. Meski ini juga tidak sebesar mansion Russo, tapi aku bisa yakin jika rumah ini adalah rumah yang biasa dimiliki pengusaha kaya raya. Melihat isi perabotannya yang maskulin, aku lebih percaya ini rumah seorang pria bujang.
KAMU SEDANG MEMBACA
The Devil's Weakness
RomanceWARNING!! (21+) Angela tidak punya pilihan ketika papa-nya, menjodohkan dia dengan pimpinan baru keluarga mafia dari Romano, yaitu Sehun. Mereka pun menikah, menjalani kehidupan suami-istri disela argumen mereka, hingga akhirnya tanpa sadar, Angela...