Bab 1

2.8K 158 18
                                    

Selamat membaca 🥰


Dering telepon di meja kerja Citra mengalun di Senin pagi yang cerah. Dia pun bergegas untuk mengangkat panggilan itu.

"Halo, HR dengan Citra." Citra mengucapkan sapaan umum di kantornya untuk mennyapa penelepon di ujung sana.

"Halo, Selamat Pagi, Mbak Citra," jawab sang penelepon.

"Pagi. Ini dengan siapa, ada yang bisa saya bantu?"

"Saya dengan Raka dari Departemen Audit. Ini Mbak Citra bagian Kesejahteraan, kan, ya?" tanya Raka memastikan.

"Iya betul, Mas Raka. Ada yang bisa saya bantu, Mas?" tanya Citra dengan nada yang ceria.

"Hari Jumat lalu saya mengajukan cuti ke sistem. Saya hanya mau memastikan masuk atau enggak, ya, Mbak Citra? Soalnya di saya kan gak bisa kelihatan kalau sudah dikirim. Mohon maaf, Jumat lalu saya agak terburu-buru waktu mengirim ke sistem," jelas Raka.

"Sebentar, ya, Mas, saya cek dulu di sistem."

Lalu Citra pun mengecek komputer di depannya. Mengutak-atik sedikit dan akhirnya dia bisa menemukan pengajuan cuti yang diajukan oleh Raka.

"Oh, ada, kok, Mas. Sudah masuk pengajuan cutinya." Nada yang digunakan Citra kini tidak seceria tadi.

"Alhamdulillah kalau sudah masuk. Terima kasih, Mbak Citra." Lalu Raka pun menutup sambungan itu setelah mengucapkan salam.

Di sisi lain Citra menarik napas panjang untuk meredakan apa yang terjadi di hatinya. Sesuatu yang dia lihat di formulir pengajuan cuti itu membuat pagi yang cerah itu menjadi tidak lagi cerah baginya. Mendung menghampiri hatinya.

"Kenapa, lo, Cit?" tanya Lidya, senior Citra yang duduk di sebelahnya. Citra baru tiga bulan mulai bekerja sebagai staf HR bagian Kesejahteraan di kantor pusat bank milik pemerintah itu.

"Diingetin lagi sama yang punya," jawabnya ambigu sehingga membuat bingung Lidya yang bertanya.

"Maksudnya?"

"Surat cuti Mas Raka," jawabnya, kini jelas.

Sebenarnya saat tadi Raka menanyakan surat cutinya, Citra sudah tahu. Tapi untuk sekadar mengeceknya kembali, Citra mencari form cuti itu di sistem.

"Astaga, Citra!" Lidya tertawa kecil mendengar jawaban kedua Citra. "Lo beneran suka, ya, sama dia?"

"Iya, Mbak Lidya. Patah hati aku tuh tahu dia mau lamaran begini."

"Ya, berarti dia bukan jodoh lo. Udah masih banyak mas-mas ganteng lainnya di gedung ini. Itu teman kerjanya Mas Raka di Departmen Audit yang baru masuk dua bulan lalu juga cihuy."

"Siapa? Mas Vidi atau Mas Riko?" tanya Citra tidak yakin karena ada dua orang karyawan baru di Departmen Audit.

"Mas Vidi. Mas Riko mah udah nikah dia."

"Ih, aku sukanya yang made in Indonesia kayak Mas Raka. Manis dan ganteng khas orang jawa. Gak suka yang kayak oppa-oppa Korea gitu."

"Yang kayak Mas Raka juga ada, sih, Cit. Banyak sebenarnya. Itu yang dari Departemen IT juga kayak Mas Raka kan manisnya? Siapa namanya, Baskara?"

Sebagai pegawai yang mengurusi karyawan di gedung itu, sudah pasti mereka berdua mengetahui sebagian besar pegawai yang bekerja di sana karena mereka berhubungan dengan mereka semua. Apalagi kalau pegawai itu menonjol. Tapi menonjol di sini bisa memiliki berbagai arti, seperti menonjol untuk hal baik atau menonjol untuk hal buruk.

"Player. Gak mau."

Mendengar jawaban Citra, Lidya kembali tertawa kecil. Dialah yang sejak dua bulan lalu dicurhati oleh juniornya itu mengenai laki-laki tampan yang menarik hatinya. Akhir pekan lalu dia juga bercerita mengenai surat pengajuan cuti yang membuatnya patah hati dan menghabiskan waktu untuk menangis di sepanjang akhir minggu.

Di Senja Itu Kita BertemuTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang