Bab 13

594 105 15
                                    

"Ya Allah, Mas Raka!!!" seru Citra dengan nada panik yang bercampur dengan rasa khawatir.

Darah mengalir keluar dari buku jari telunjuk bagian tengah Raka yang teriris pisau. Dia langsung bergegas menuju wastafel dan membuka keran, mengalirkan darah dengan air menuju saluran pembuangan. Selama itu perhatian Raka hanya terfokus pada lukanya. Dia baru menyadari kalau Citra ada bersamanya ketika gadis itu berbicara,"Mas, coba saya lihat lukanya!"

Leher Raka menoleh tajam ke samping. Dia terkejut saat menyadari keberadaan Citra. Apalagi posisi Citra yang agak menempel di sisi tubuhnya.

"PERGI!!!" hardik Raka keras.

Suara Raka yang menggelegar otomatis membuat Citra terkejut. Matanya terbelalak dan bergetar takut menatap Raka. Hal itu membuat Citra sedikit menjauhkan tubuhnya dari Raka.

"Saya bilang, pergi! Menjauh dari saya!" hardik Raka lagi saat melihat jarak yang telah Citra ambil. Yang terlihat tidak terlalu berarti.

"Tapi, Mas ... tangan Mas Raka luka dan darahnya terus keluar." Citra bersikeras untuk tidak menambah jarak dari Raka. Citra bisa menduga kalau telunjuk Raka teriris dalam karena darah yang keluar dari sana cukup banyak dan tidak berhenti. "Saya rasa kita harus ke dokter. Mungkin telunjuk Mas Raka butuh dijahit."

Raka memejamkan matanya. Tangannya mulai terasa nyeri saat ini. Dia ingin Citra mendengarkannya dan kekeraskepalaan gadis itu malah membuat lukanya semakin nyeri.

Ini darah, Cit. Saya bisa menularkan penyakit sialan ini melalui darah kalau kamu juga punya luka terbuka.

"Mas ... " panggil Citra lagi. Dia berusaha menghentikan apa yang sedang dilakukan Raka. Dia takut Raka kehabisan darah karena terus mengalirkannya dengan air. Oke, Citra memang berlebihan tapi mungkin rasa cinta yang membuatnya demikian. Segera Citra mengamati sekitarnya, mencari sesuatu untuk membalut luka Raka. Dan kebetulan dia melihat sebuah serbet. Citra segera menyambar serbet itu yang mengangsurkannya ke depan tubuh Raka. "Mas, balut pakai ini dulu. Kita ke dokter sekarang!"

"Cit!" bentak Raka keras."Kamu dengar gak sih kalau saya bilang pergi?!"

"Gak mungkin saya pergi dan meninggalkan Mas Raka terluka sendirian. Ayo, kita ke dokter! Di ujung jalan ada klinik 24 jam yang agak besar. Kita bisa ke sana."

"Gak usah!" tolak Raka gusar. Sungguh, pergi ke dokter adalah hal terakhir yang dia inginkan.

"Tapi darah Mas Raka masih terus keluar. Nanti Mas bisa kehabisan darah."

"Lama kelamaan nanti juga menutup lukanya," tolak Raka kembali. "Udah kamu balik aja ke tempat kamu. Tinggalin saya sendiri!"

"Gak bisa!" Citra menaikkan suaranya. Kini bukan hanya Raka yang gusar. "Kalau mas Raka kenapa-kenapa saya yang paling akan merasa bersalah."

"Ya sudah, saya akan ke dokter! Sendiri! Kamu pulang aja!" tegas Raka.

Tapi Citra merasa kalau Raka tidak pergi ke klinik sama sekali kalau ditinggalkan. Karena itu dia tetap bersikeras. Sambil menggerakkan serbet yang di depannya dia berkata dengan segenap tekad yang terdengar jelas lewat suaranya, "Saya temani! Balut luka Mas Raka pakai ini. Tolong!"

Raka menghela napasnya kasar melihat Citra yang masih tetap bersikeras meskipun sudah dihardiknya keras. Dia tidak tahu kalau di balik sikap lembutnya Citra bisa sekeras kepala ini. Apa dia tidak merasa ketakutan mendengar semua perkataan kasar Raka itu?

Ya, tentu saja. Citra memang sempat gentar mendengar suara Raka tapi semua itu kalah dengan rasa khawatir yang dihadirkan hati dan pikirannya.

Baiklah. Raka mengambil serbet itu dari Citra dan menyelubungi telunjuknya yang terluka. Dia tahu serbet itu bersih. Baru saja dia ganti. Raka sudah bersiap menyambut kedatangan Citra ke dalam apartemennya dengan memastikan semua benda-benda di apartemennya bersih. Dia tidak mau Citra tertular apapun setelah berkunjung ke tempatnya. Bahkan dia menyiapkan alat makan tersendiri untuk Citra.

Di Senja Itu Kita BertemuTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang