Bab 18

674 101 22
                                    

Selamat membaca


Citra yang mendengar seruan suaminya langsung mengangkat tubuhnya bangun dari tempat tidur. "Ada apa, Mas?" tanyanya bingung.

Raka mengarahkankan kepalanya ke arah nakas dan membuat Citra juga melihat ke arah yang sama. Di atas sana mereka berdua melihat sebuah benda yang terongok dan terlupakan. Desahan berat napas Raka pun terdengar setelahnya.

"Astaghfirullah!!!" raung Raka lemah. Dia menundukkan kepalanya lesu. Kemudian dia mengangkat tangan ke wajah untuk mengusap wajahnya keras.

Di sisi lain hati Citra mencelos menyadari apa yang telah mereka lewatkan. Sontak rasa takut muncul di dalam dirinya. Citra pun terpaku. Sesaat hening merayapi mereka berdua. Tapi tak berapa lama sebuah kesadaran masuk ke dalam pikiran Citra. Dia menyadari kalau saat ini perasaan suaminya pasti lebih buruk daripada dirinya. Raka sangat tidak ingin menulari orang lain penyakitnya. Sehingga dia memutuskan untuk mengesampingkan rasa takut itu terlebih dahulu.

"Mas... " Citra berusaha menggapai suaminya. Tapi suaminya tetap bergeming. Tapi setelah beberapa saat Citra kembali berusaha dengan memanggil nama suaminya. "Mas Raka... "

Akhirnya Raka mengangkat wajahnya untuk memandang istrinya. Matanya berkaca-kaca. Citra bisa melihat ada kemarahan dan penyesalan besar yang membayang di mata Raka. "Gimana ini?!"tuntut Raka.

Citra teringat pada pembicaraan dengan Tante Deswita pada konsultasi terakhir mereka sebelum menikah . "Mas ingat pesan Tante Deswita? Aku bisa minum obat pencegah."

Tentu Raka ingat ketika Tante Deswita menjelaskan tentang PEP atau Post Exposure Prophylaxis yang merupakan perawatan darurat untuk mencegah HIV dan harus segera dikonsumsi selambat-lambatnya 72 jam setelah kemungkinan paparan. Pengobatan itu akan dilakukan selama 28 hari dan akan dievaluasi dalam 1 dan 3 bulan setelahnya untuk memastikan hasilnya. Akan tetapi prosedur ini tidak mencegah 100 persen. Itulah yang membuat Raka tetap khawatir.

"Kalau andai itu gak berhasil dan kamu tertular?" Citra bisa mendengar nada sangsi yang bercampur dengan takut dalam suara suaminya.

"Yang penting kita sudah berusaha. Andaikan semua itu tidak berhasil aku akan menganggap itu takdir, Mas." Sesungguhnya ketika Citra mengatakan itu dia sekaligus meyakinkan dirinya dengan kata-katanya. Pasti Allah sudah menggariskan sebaik-baiknya takdir untuknya. Dan dia harus percaya.

Raka kembali terdiam saat mendengar perkataan istrinya. Dia teringat ketika dulu memohon dan permohonannya tidak terkabul. Dia takut kali ini Tuhannya tidak mau mendengarkannya lagi. Citra istrinya, satu-satunya orang yang dicintainya dan paling berharga. Dan menularkan virus terkutuk itu pada Citra adalah hal yang paling tidak diinginkan Raka sepanjang sisa hidupnya.

"Tapi kamu tahu, itu hal yang paling Mas takuti, menulari orang. Dan sekarang kemungkinan besar Mas malah menulari orang yang paling berarti buat Mas." Raka mencengkram rambut di sisi kepalanya.

"Belum tentu aku tertular," sanggah Citra sambil meraih tangan suaminya dan melepaskan cengkraman pada rambutnya. Dia berusaha sabar menghadapi Raka.

"Mungkin seharusnya kita tidak pernah menikah," lirih Raka. Tanpa dia duga ucapan itu keluar dari mulutnya.

Citra tersentak karena ucapan Raka. Tak pelak hatinya terasa sakit. Tidakkah Raka mengingat cinta mereka saat mengatakannya. "Mas Raka menyesal?"

Raka hanya diam. Nyatanya Raka lebih menyesal mengucapkan kata-kata itu. Dia tahu itu pasti menyakiti hati istrinya.

"Agar Mas tahu, aku gak akan pernah menyesal menikah dengan Mas Raka. Meskipun aku tertular aku akan menganggap itu sebagai resiko dari mencintai kamu." Entah cinta yang dia miliki untuk Raka membuatnya menjadi tidak takut. Atau malah menbuatnya jadi bodoh. Tapi dia tahu penyakit itu bukan akhir dunia seperti yang dia lihat pada ibunya.

Di Senja Itu Kita BertemuTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang