Bab 11

566 93 10
                                    

Siang itu seorang calon dokter spesialis anastesi dengan hati berdebar dan perasaan harap-harap cemas berjalan menuju laboratorium rumah sakit tempatnya mengenyam pendidikan. Berbeda dari biasanya saat ia sedang menimba ilmu di sana, hari itu secara khusus sang suami menemaninya. Sang suami terus menggenggam tangannya erat. Hal itu dilakukan untuk memberi dukungan terhadap apapun yang akan diumumkan oleh selembar surat yang akan mereka ambil dari laboratorium tersebut.

Tentunya dia tidak lupa dengan peristiwa yang bisa membuat kelanjutan sekolahnya terancam itu. Hal yang merupakan resiko dari pekerjaannya. Suatu yang sebenarnya bisa dicegah. Akan tetapi hari itu Ira yang luar biasa lelah. Jaga malam lalu lanjut lagi menjalani jadwal regular membuatnya menjadi lengah dan akhirnya tertusuk jarum suntik yang habis ia suntikan pada pasien. Sialnya lagi pasien yang sedang ia berikan tindakan itu mengidap HIV.

"Permisi, Mbak," ucap sang calon dokter spesialis anastesi yang biasa dipanggil Ira tersebut pada petugas lab yang berjaga di loket. Lalu Ira menyampaikan keperluannya mendatangi tempat itu seraya menyerahkan selembar kertas. "Saya mau ambil hasil lab. Ini kuitansinya."

Petugas lab itu mengambil kertas yang diserahkan lalu membaca identitas berikut informasi yang tertera di sana. "Saya cek dulu ya, Dok. Semoga sudah jadi. Mohon ditunggu," pintanya ramah.

"Baik, Mbak. Terima kasih," ucap Ira pada petugas lab itu. Ira dan sang suami lantas beranjak menuju kursi tunggu yang terdapat di depan ruangan tersebut.

Petugas itu pun berlalu menuju sebuah meja. Di atas meja itu terdapat sebuah kotak yang di dalamnya tersusun berlembar-lembar amplop berlogo rumah sakit tersebut berisikan hasil pemeriksaan laboratorium. Kemudian ia mencari amplop yang sesuai dengan identitas yang tertera di kuitansi. Setelah mendapatkannya dia mengecek terlebih dahulu informasi yang ada di sana berikut juga isi dari amplop tersebut. Sebelum akhirnya kembali ke balik loket dan memanggil nama pemilik hasil pemeriksaan itu. "Dokter Ira Pratiwi!"

Mendengar namanya dipanggil, Ira pun bergegas mendekati loket. "Saya, Mbak. Gimana hasilnya sudah ada?" tanya Ira pada petugas bernama Santi itu.

Memberikan senyum simpatik Santi pun menjawab, "Sudah, Dok." Sebelum menyerahkan Santi kembali mencocokkan identitas dengan Ira. Setelah semuanya sesuai amplop berwarna putih itu pun dia serahkan kepada pemiliknya.

Sambil mengucapkan terima kasih Ira mengambil amplop itu. Tangannya gemetar memegang amplop tadi karena perasaan takut, cemas, dan juga penuh harap.

"Mau Ibu baca sekarang?" tanya Hutomo pada istrinya. Dia terus menemani Ira di sampingnya.

Ira menggeleng pada suaminya. "Ibu gak sanggup kayaknya, Yah. Biar dokter Panca saja nanti yang bacakan."

Hutomo pun segera merangkul istrinya. Dia memeberikan remasan dukungan di bahunya. Berharap apa yang dilakukannya bisa memberikan kekuatan tambahan untuk sang istri menghadapi vonis apapun yang tertulis di lembaran yang terdapat di dalam amplop.

"Kalau gitu kita langsung ke sana sekarang?" tanya Hutomo sambil menatap sayang istrinya. Kekasih hati yang sudah bersamanya sejak mereka menjejakkan kaki di perguruan tinggi.

Kini sepasang suami istri itu pun sudah duduk di depan senior Ira yang akan menyampaikan hasil pemeriksaan itu.

"Sebelum masuk ke sini sudah sempat kamu baca hasilnya, Ra?" tanya dokter Panca sambil mengacungkan lembaran hasil di tangannya.

Dengan senyum cemas Ira menggeleng untuk menjawab pertanyaan itu. "Biar dokter saja yang memberitahukan. Saya tidak cukup berani membacanya sendiri."

"Apapun yang tertulis di sini itu takdir terbaik yang Tuhan kasih buat kamu. Saya yakin pasti ada maksud luar biasa di baliknya untuk kamu," pesan dokter Panca sebelum membacakan vonisnya pada Ira. Pesan yang terus Ira ingat sepanjang sisa hayatnya.

Di Senja Itu Kita BertemuTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang