Bab 2

1K 123 18
                                    

Hai, aku kembali! Selamat membaca!


Raka akhirnya melakukan tes itu keesokan harinya. Berdasarkan apa yang dikatakan oleh petugas yang mengambil tesnya, hasilnya akan dia dapatkan dalam dua sampai empat hari kedepan. Raka hanya berharap hasil itu bisa dia dapatkan sebelum acara lamaran di gelar. Karena akan sangat lebih sulit keadaannya ketika dia harus membatalkan rencana pernikahan itu setelah dia resmi melamar. Itu akan sangat tidak adil untuk Dinda.

Jangan salah meskipun Raka terkesan egois karena tetap tidak mau melepas Dinda setelah perbuatannya di masa lalu sudah diketahui oleh gadis itu, Raka tidak akan menikahinya kalau ternyata dia mengidap penyakit itu. Karena itu hanya membenarkan apa yang pernah Dinda katakan. Mereka akan menjalani pernikahan yang pernuh dengan kezaliman.

Itu penyakit yang menjadi momok bagi semua orang di seluruh dunia. Bahkan lebih berat daripada kanker. Kanker tidak bisa ditularkan, sedangkan penyakit itu bisa ditularkan. Kalau dia tetap menikah dengan Dinda, dia pasti akan tertular olehnya. Begitu pun anak mereka jika nanti Dinda mengandung.

Raka menyalakan ponselnya saat dia tiba di Bandara Abdurrahman Saleh Jumat pagi pukul setengah sepuluh. Dia harus menghubungi Seno, adik sepupunya, yang akan menjemputnya pagi ini. Di saat bersamaan masuk juga sebuah pesan dari laboratorium tempat Raka menjalankan tesnya Selasa lalu.

Dia memilih untuk menghubungi Seno terlebih dahulu. Nanti saat dia sudah bertemu dengan Seno dia baru akan membukanya. Raka berpikir dia membutuhkan waktu untuk mempersiapkan diri untuk membaca apapun yang tertera di sana.

"Halo, assalamu'alaikum. Dimana, Sen?" tanya Raka saat panggilannya tersambung pada Seno.

"Wa'alaikum salam, Mas. Aku masih di parkiran, baru sampai. Sek, yo, Mas. Aku jalan ke sana." (Sebentar, ya, Mas.) Lalu dia menutup panggilan tersebut.

Raka pun berjalan menjauh dari pintu kedatangan. Dia memilih berdiri di pinggir jalan agar Seno dengan mudah melihatnya. Sambil menunggu Seno datang menghampiri, Raka memanjatkan doa agar dia bisa mendapatkan hasil yang baik untuk tes itu. Dia sama sekali tidak berharap bisa tertular penyakit itu.

"Mas," sapa Seno pada Raka. "Apa kabar?"

"Alhamdulillah, baik," jawab Raka. "Gak kuliah kamu hari ini?"

"Nanti, Mas. Habis jemput Mas Raka aku baru mau ke kampus. Lagi bimbingan tugas akhir, dosen pembimbingnya baru bisa aku temui habis jumatan nanti," terang Seno. "Mas Raka bawa ransel aja? Gak ada koper?"

"Iya. Yuk, kita langsung jalan biar kamu gak terlambat ke kampus."

"Oke, Mas."

Mereka berdua pun berjalan menuju mobil Seno diparkirkan. Dalam perjalanan menuju rumahnya, Raka memberanikan diri untuk membuka pesan yang dia terima tadi. Raka serta merta mengeluarkan umpatan saat membaca hasil itu.

"Kenapa, Mas?" tanya Seno heran. Sepengetahuan Seno, sepupunya itu adalah orang yang selalu bertutur baik. Jadi mendengar Raka mengumpat membuat Seno heran dengan apa yang terjadi pada sepupunya.

"Oh, maaf. Gak ada apa-apa, kok, Sen."

'Ternyata doa seorang pendosa sepertiku tidak lagi didengar,' batin Raka. Dia mendengus miris. Padahal dia sudah bertobat dan berusaha untuk menjauhi hal itu lagi. 'Mungkin Tuhan masih ingin menghajarku dengan hukumannnya'

Di sisa perjalanan menuju rumahnya, hati Raka dipenuhi dengan kekalutan. Dia memikirkan langkah apa yang harus diambil setelah mendapati hasil tes itu. Yang pasti dia harus membatalkan rencana pernikahannya. Raka bingung bagaimana harus berbicara kepada orang tuanya karena dia mau gak mau harus memberitahukan hal yang sebenarnya.

Di Senja Itu Kita BertemuTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang