Bab 14

601 102 22
                                    

Raka menghempaskan tubuhnya kasar ke atas sofa sesampainya ia di apartemen. Sofa yang sama yang tadi sore Citra duduki.

"Bodoh! Dungu! Idiot!" maki Raka pada dirinya sendiri. Ditariknya rambut di puncak kepala dengan tangannya yang tidak terluka. "Aaargghhh!!!"

Apa sih yang dipikirkannya saat menyetujui tawaran Citra untuk belejar memasak?! Tidak pernahkah terpikir oleh otak pintarnya itu kalau mungkin saja kejadian teriris pisau seperti ini bisa saja terjadi. Lagipula buat apa juga dia belajar memasak. Toh sebentar lagi dia akan mati.

Semakin Raka berandai-andai semakin panjang daftar kesalahan yang dia buat. Mungkin bukan di situ letak kesalahannya. Harusnya sejak awal dia tidak melenakan dirinya dalam perhatian yang Citra berikan. Seharusnya sejak awal saja dia tetap menjauh dari dua manusia yang berusaha mendekatinya. Dengan begitu tidak perlu ada yang tahu penyakitnya.

Sesungguhnya rasa malu dan terkutuk yang timbul karena rahasianya harus terbongkar di depan Citra melahap habis sisa-sisa rasa percaya diri yang dia miliki. Entah dimana dia harus menyembunyikan wajahnya jika suatu hari bertemu Citra. Dia juga takut jika Citra akan memberitahukan kepada orang-orang lain di kantor. Mungkin saja itu bisa dijadikan alasan untuk pemecatan dirinya.

Raka terus meruntuki dirinya. Harusnya dia tetap sendiri. Sampai nanti dia mati.

Sejak hari itu Raka menyembunyikan dirinya dari Citra. Dia memilih berangkat lebih pagi. Dia membeli makan siang di luar dan memakannya di dalam mobil. Pulang lebih malam dari pada biasanya karena dia mampir untuk makan di suatu tempat terlebih dahulu.

Dia bersyukur Citra sepertinya mengerti kalau dia tidak ingin ditemui, ingin sendiri. Karena bisa saja Citra memaksakan diri untuk menemuinya. Jangan lupa mereka tinggal dan bekerja di tempat yang sama.

Tapi tidak bisa dipungkiri kalau kepala Raka juga memikirkan hal yang lain. Setan di kepalanya kadang muncul dan mengejeknya kalau Citra pasti takut dan jijik padanya. Karena itu dia langsung lari dengan langkah seribu begitu tahu Raka mengidap penyakit mematikan yang menular.

Tapi tentu saja dia tidak akan membuat setan di kepala menang mutlak. Beberapa hari awal Raka mendapati sebuah kantung berisi kotak makan di pintu apartemennya. Dia tahu pasti Citra yang menggantungnya di sana. Itu menunjukkan perhatian Citra padanya. Tapi Raka membiarkan makanan itu tak tersentuh. Hanya agar Citra menyerah. Bagaimanapun dia terlalu malu.

Hanya saja ada satu yang tidak pernah Raka duga hadir dalam usahanya bersembunyi. Yaitu rasa rindu yang memenuhi hatinya. Hingga rasanya begitu nyeri. Raka tidak menduga kalau ternyata hatinya sudah jatuh cukup dalam pada gadis itu. Akan tetapi memangnya Raka bisa apa selain menikmatinya tanpa ingin rasa itu tergenapi.

**

"Raka, are you okay?" tanya Pak Buwono, atasan Raka. Wajah Raka terlihat pucat saat menghadap atasannya. Sudah beberapa hari terakhir ini suhu tubuhnya kerap naik lagi dan kepalanya sakit sekali. Dia juga merasa mudah sekali lelah.

"Saya memang sedikit kurang sehat, Pak tapi gak masalah. Saya masih bisa kerja," jawab Raka.

Pak Buwono menghela napas kasar. "Beberapa bulan ini saya lihat pekerjaan kamu melambat, kinerja kamu menurun. Kamu tidak seperti Raka yang biasa. Saya lihat kamu juga terlihat lesu. Kalau kamu memang sakit, saya rasa kamu bisa ambil cuti untuk istirahat sementara waktu. Pergilah ke dokter."

"Iya, Pak. Nanti saya akan ke dokter," janji Raka pada atasannya yang mungkin tidak akan ia tepati. "Tapi saya tidak perlu harus cuti, Pak."

"Saya gak masalah kalau kamu harus cuti. Pekerjaan kamu bisa diambil alih oleh teman-teman kamu. Mungkin dengan begitu malah akan mempercepat pekerjaan itu selesai."

Di Senja Itu Kita BertemuTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang