1. Pasca Putus Cinta

2.5K 148 3
                                    

Usai nyaris setengah hari mengecek beberapa outlet Enaque Cookies walau sedang patah hati, Dera akhirnya bisa menyantap soto babat bikinan Mpok Jenap di kantin. Namun, Dera berhenti mengunyah saat siku Nana menyenggol lengannya. Saat Dera menoleh pada cewek berpotongan bob yang mengenakan jaket crop top putih, dagu Nana justru menunjuk sosok berbalut kemeja merah muda keunguan dengan motif kotak-kotak yang berjalan tidak jauh dari mereka.

Dera butuh waktu terdiam sejenak. Itu Devan. Kalau saja tidak ada kejadian tadi pagi, barangkali Dera akan langsung mengangkat tangan sambil teriak, "Bee! Sini!" sebagai kode supaya Devan menghampirinya. Namun, Dera hanya meremas sendoknya kuat-kuat. Dan perasaannya, terakhir tadi dia lihat rambutnya masih rapi, tetapi sekarang sudah berantakan begitu. Dera menunduk, kalau kata Devan dulu, "Aku kan banyak mikir buat desain, Bee. Wajar dong rambutku selalu berantakan tiap habis kerja, nah nanti kamu yang rapiin." Dera tersenyum kecut mengingat momen tersebut.

"Pacar lo suruh duduk sini, kasihan tuh nyari tempat duduk," kata Nana santai lalu kembali menyantap baksonya.

Dera hanya mampu menelan ludah serupa duri ikan. Pacar? Bukankah orang yang sedang celingukan tersebut sudah menjelma mantan sejak pagi tadi, kan? Dera beralih menatap makan siangnya, benarkah dia perlu meminta Devan duduk di antara mereka, sementara tadi pagi sosok itulah yang menoreh luka padanya.

"Apa, sih? Nggak lucu pranknya lho," kekeh Dera menyembunyikan ekspresi tegang. Baru tadi mama meminta dia putus, kenapa jadi serupa doa? Namun, alih-alih ikut tertawa, ekspresi Devan berbanding terbalik, jauh lebih serius.

"Aku serius. Kita putus ya?" Suara penuh putus asa Devan serupa pisau yang mampu mengiris dada Dera.

"Kamu nggak serius kan, Bee?" Ini akan masuk akal kalau semalam Dera bertengkar dengan Devan, akan tetapi, hubungan mereka bahkan sangat baik-baik saja sejak beberapa minggu terakhir.

"Aku serius, Ra," ulang Devan lugas.

Ra? Sebegitunya sampai panggilan mereka mudah berganti? Yang sanggup membuat Dera menepis cekalan Devan hingga cowok tersebut tersentak.

"Nggak lucu." Dera segera membuka pintu mobil untuk keluar, tetapi sekali lagi, Devan menghalangi dengan menahan lengannya. "Ra, aku belum selesai bicara."

Yang sontak membuat Dera menatap Devan sengit.

"Kita bahkan baik-baik saja, kita nggak habis bertengkar, Devan. Buat apa kamu mutusin aku?" jerit Dera tertahan dengan napas memburu. Baginya, Devan sudah seperti rumah buat Dera, kala dia banyak berdebat dengan mama, Devan datang menjelma obat. Lantas, kalau mereka putus, ke mana Dera harus mencari rumahnya yang hilang tersebut?

"Kamu benar, tetapi aku tetap ingin putus." Terdengar tidak terbantahkan.

Dengkusan Dera lolos. Cara Devan minta putus serupa minta permen saja. Dagu Dera terangkat dengan tatapan bengis. "Kasih aku alasan," tuntut Dera dengan mata yang mulai basah.

"Alasan?" beo Devan.

Dera mengangguk.

"Kamu yakin kamu mau dengar?"

Yang justru tidak mampu Dera jawab.

"Baiklah kalau memang kamu butuh alasan. Aku nggak lagi mau menutupnya, Ra."

Jantung Dera semakin bertingkah penuh rasa takut.

"Aku sudah nggak cinta, Ra. Aku bosan," lanjut Devan santai bersamaan dengan air mata Dera yang menetes melewati pipi. Pandangan Dera gamang, dia menunduk hanya untuk menormalkan kerja jantungnya.

"Bosan, ya?" Suara Dera bahkan sudah mirip tikus terjepit.

"Ya. Hubungan kita terasa monoton. Aku bosan." Cara bicara Devan yang santai itulah yang membuat Dera kembali menatap Devan dengan pandangan tercengang.

Cuffing SeasonTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang