28. Clingy Boyfriend

1.3K 128 106
                                    

Sedang berusaha update tiap hari huhu. Happy reading ^^

28. Clingy Boyfriend

Kadang, cewek harus tahu kapan dia mencoba menjadi sosok lemah, kapan pula bersikap lebih berani. Dan Dera tidak akan membiarkan dirinya lengah. Ini bukan kali pertama Dera melihat Ridam dikelilingi cewek, tapi Dera patut mengapresiasi kepekaan Ridam yang meloloskan lengannya dari pelukan cewek bernama Melia tersebut. Sebagai sesama cewek, Dera paham jika tatapan Melia terlihat bingung dan heran dengan reaksi Ridam.

"Melia mau coba beberapa produk, jadi nanti minta tolong buat temani dia ke rumah produksi, ya, Na." Ridam akhirnya bicara, tetapi Dera bisa memindai ekspresi terkejut Melia.

"Nggak sama Mas Ridam?"

Mas Ridam? Padahal, panggilan tersebut sudah lumrah. Hanya, kenapa Dera sedikit tidak terima saat suara Melia mengalun penuh rajukan begitu.

"Nggak papa, Kak Mel. Sama gue aja, nanti juga pulangnya sama Mas Pcar kok."

Jangan tanya, Dera nyaris menelan Nana jika tidak ingat tempat.

"Bukan pacar, Melia teman saya, Na," koreksi Ridam yang justru membuat yang lain tertawa. Tentu kecuali Dera.

Nana mengibaskan tangannya. "Kenapa harus mengelak si, Mas? Nanti Kak Melianya marah lho. Iya nggak, Kak?" jahil Nana.

Saat Dera tahu Melai sudah membuka mulut ingin bicara, cewek tersebut mendahului. "Tapi setahu gue pacar Mas Ridam benar bukan Melia lho, Na," ucapnya langsung membuat yang lain menatap Dera heran.

"Lo tahu pacar Mas Ridam?" desak Nana kaget.

Dera perlu melihat reaksi Ridam yang justru tidak bisa ia terjemahkan, sementara Melia, ekspresinya sangat terkejut dan terlihat bingung.

"Tahu. Gue pernah lihat pacar Mas Ridam. Cantik banget, manis gitu," sambung Dera tegas.

"Iya, kan?" pancing Dera pada Ridam.

Mati-matian Dera mencoba tenang meski kedua pipinya menanas saat menyadari salah satu sudut bibir Ridam tersenyum jahil. "Iya, pacar saya bukan Melia." Ridam menegaskan.

"Ah, begitu." Nana meringis dan sedikit menunduk, ia merasa tidak enak sudah membicarakan hal diluar kuasanya.

"Kalau begitu, setengah jam lagi kita ke rumah produksi ya, Kak Mel." Nana mengalihkan.

Melia yang tadinya terlihat ceria, sekarang jauh lebih kalem lalu mengangguk. "Boleh, Kak Na."

Obroan jadi lebih santai, dan Dera memutuskan pamit beranjak, ia meletakkan tas di meja kubikel sebelum melangkah menjauh. Dia butuh minum, dan satu-satunya tempat paling tepat adalah pantry kantor. Dera mendorong pintu tanpa menyadari seseorang mengikuti dari belakang dan saat pintu tertutup, Dera belum menguasai kesadaran begitu seseorang menghadang langkahnya dan dalam hitungan detik, kakinya terasa melayang karena sesuatu yang ketat mencengkeram kedua pinggangnya sampai tubuhnya duduk di atas meja.

Dera melotot. "Mas Ri!"

Dera hendak turun sebelum kedua kaki Ridam menjepit kaki Dera sehingga tubuh mereka merapat. "Pintunya sudah saya kunci kok."

Sialan! Sekarang yang bahaya bukan perihal siapa yang bisa memergoki mereka, melainkan kerja jantung Dera. Padahal, mereka kan sedang marahan. dan saat kedua lengan tersebut memeluk pinggangnya, tatapan tajam Dera seperti ingin menguliti Ridam.

"Tangan Mas habis dipeluk dia."

"Iya, karena saya belum pernah dengar ada yang memberi peringatan."

Dengkusan Dera lolos. "Jadi peringatan beberapa minggu lalu cuma angin lalu? Di rumah, Mas?"

Bibir Ridam menipis. Lupa jika Dera sudah pernah memberikan peringatan untuknya.

"Mau balas dendam?" pancing Dera yang langsung memejamkan mata saat Ridam justru menyembunyikan wajahnya pada perpotongan leher Dera.

"Mas, saya belum selesai bicara lho." Dera berusaha mendorong tubuh besar Ridam yang semakin erat memeluknya. Ridam ini selalu punya cara mengelak, ya?

"Maaf," katanya lemah.

Desahan Dera lolos. Ridam nyatanya salah mencari lawan, Dera boleh jadi lemah saat berdua dengan Ridam, tetapi Ridam lupa, Dera orang yang tidak ingin terlihat lemah di depan cwek yang terang-terangan mendekati Ridam, termasuk Melia.

"Saya nggak suka punya saya dipegang orang lain. Itu mutlak," peringat Dera.

"Nggak akan lagi."

"Saya nggak suka diacuhkan padahal belum memberi penjelasna apa pun." Dera sedang membicarakan kejadian kemarin pagi dan itu berhasil mengobarkan api emosi dalam dada Dera.

"Maaf." Sial! Dera harus mencengkeram kedua lengan Ridam saat hidung Ridam jelas tidak bisa diam karena mencium leher bagian belakangnya.

"Mas! Kamu selalu begini setiap membujuk heh?" kesal Dera setelah berhasil mendorong Ridam dan menciptakan jarak, tetapi tidak cukup membuat kedua lengan Ridam lepas dari pinggang Dera. Sekarang, Dera yain rambutnya sudah acak-acakan.

"Kamu lebih tahu soal saya, kan?"

Decakan Dera lolos. Sekali lagi ia harus mengumpat menghadapi Ridam jika sudah berulah begini.

"Berhenti merajuk, yang menyebalkan di sini kamu. Tahu kenapa? Sama sekali nggak chat dan telepon. Dateng-dateng bawa ce–"

"Melia teman saya. Baru balik dari Tokyo."

"Pantas memotong bicara?" desis Dera langsung membuat Ridam menutup mulut rapat.

"Dia tahu siapa pacar mas Ridam?"

Ridam menggeleng. "Perlu saya kasih tahu dia?"

"Yang perlu adalah sikap tegas kamu. Saya tahu dia teman Mas, tapi memang Mas mau saya masih rangkul-rangkulan dengan Dev–" Dera langsung menahan bibir Ridam dengan telapak tangannya saat mendekat. Ia melotot. "Mas!" desisnya memperingati.

Kedua bahu Ridam luruh.

"Maaf, tapi jangan balas dendam dengan itu," mohon Ridam dengan tatapan redupnya. Dera mendengkus geli. Dera tidak bisa benar-benar menyalahkan Ridam. Bahkan malam itu, ia nyaris seperti orang gila yang mementingkan Devan dan melupakan Ridam.

Tangan Dera naik untuk merapikan beberapa rambut Ridam yang berantakan. "Saya nggak menemani Devan, setelah Mas Ridam pulang, saya langsung balik dengan Pandu."

Dan saat melihat tatapan Ridam yang semakin bersalah, Dera mencoba mengulas senyum. "Saya hanya belum siap pulang sama Mas dan menjawab seluruh pertanyaan soal malam itu," lanjutnya.

"Ra... saya..."

Dera menahan tawa melihat ekspresi kalang kabut Ridam.

"Mas," panggil Dera mencoba lebih tenang.

"Kita seri, jadi ayo kita bicara dengan kepala dingin."

Ridam mengangguk seperi bocah lima tahun.

"Setelah ini pastikan Melia tidak sembarangan pegang Mas."

Ridam mengangguk lagi. "Dan pastikan juga saya tahu setiap kamu berurusan dengan Devan."

Dera ikut mengangguk. Dadanya terassa lebih ringat sesaat sebelum Ridam kembali merengkuh tubuhnya dalam pelukan hangat cowok tersebut. Sebelum tawa Dera meletup karena baru menyadari sesuatu.

"Kenapa?"

"Mas, kamu clingy banget ya ternyata kalau cemburu."

[]


kataku mah Dera anti tuh sedih wkwk.

Cuffing SeasonTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang