27. I Got One Less Problem

849 88 6
                                    

Siangggg

huhu, maaf banget ya baru sempet update T_T

ini aku bawa banyak momen semoga mengobati rindu yawwwww hehew

happy reading semua ^^

27. I Got One Less Problem

"Lo mengaku ke Mas Ridam mau jenguk Devan, nyatanya ngajak gue lunch?"

Ekspresi Dera sengak mendengar tawa Pina juga reaksi cewek itu yang memukul-mukul meja di depannya. Fyi, Dera mengajak Pina Lunch untuk menceritakan semuanya dan tidak melewatkan satu momen pun bukan untuk ditertawakan, tetapi peran Dera seperti badut saja.

"Astaga, Ra. Yang bener aja, lo bukan remaja belasan tahu, lho." Pasalnya dari cara Dera merajuk pada Ridam berdasarkan cerita yang Pina dengar barusan, Dera sudah bisa bersaing dengan remaja SMA yang jika keinginannya tidak terpenuhi, artinya merajuk dengan cara paling kekanak-kanakan seperti Dera barusan. Bilangnya A, nyatanya B. Atau kata lainnya menggunakan cara gue bikin lo cemburu biar mampus.

"Semua orang akan jadi anak-anak begitu tahu ada yang yang nggak sesuai keinginan dia," ucap Dera mengingatkan Pina.

"Lo seperti nggak pernah begitu di depan suami lo," lanjutnya. Kesalnya menggunung mengingat sikap ketus dan tidak peduli Ridam tadi pagi. Daripada Dera, bukankah Ridam yang tengah merajuk dan bersikap kekanak-kanakan karena kejadian semalam? Dera datang ingin membicarakan dengan kepala dingin, tetapi Ridam justru mengibarkan bendera perang. Api padam Dera tersiram bensin? Jelas, Dera ikut meledak.

Pina berusaha menahan tawa, ia geleng-geleng geli melihat Dera yang sejak tadi hanya menusuk asal-asalan steak di depannya. Beruntung cerita yang Dera bawa justru menaikkan nafsu makan Pina, jadi ia jauh lebih mudah menghabiskan makanannya.

"Tepat sih pendapat lo, Ra. Tapi, bukannya itu hanya berlaku jika kita melibatkan perasaan, ya?" katanya kalem sebelum ai berhenti untuk menjeda dan melanjutkan, "Yah, kecuali kalau lo udah beneran naksir sama Ridam, sih." Ucapan yang mampu menghentikan gerakan tangan Dera, pandangannya naik. Sial! Selain wajahnya yang sudah memanas, senyum jahil Pina menjebak pergerakannya.

Pina mengangkat kedua bahunya. "Tapi siapa tahu juga kan, siapa juga yang nggak tertarik sama cowok seperti Mas Ridam? Ganteng, mapan, sopan, dan baik. Dulu lo nggak ngelihat dia karena bucin Devan. Sekarang lo–"

"Kenapa jadi muji-muji dia, sih?"

Dera tidak terima. Menghilangkah istilah setia kawan yang sering diagung-agungkan kebanyakan orang? Lumrahnya saat Dera mengatai sikap Ridam, Pina ikut-ikutan menjatuhi penghakiman, bukan sebaliknya, justru menyudutkan Dera.

Pina tertawa. "Oke, coba gue pastikan sesuatu dulu." Punggung Pina melesak pada sandaran kursi, lalu bersedekap. Sikap yang membuat Dera mulai siaga satu karena tatapan menyelidik sahabatnya tersebut.

"Akhir-akhir ini lo masih kesal sama Devan?"

Dera skeptis mendengar pertanyaan Pina barusan. Mereka sedang mengobrolkan tentang Ridam, sopankah menyelipkan nama mantan kurang ajar Dera?

"Kita sedang membicarakan yang lain. Kenapa harus ada Devan?"

Pina mulai gemas. "Jawab aja," desaknya geregetan.

Bibir Dera cemberut. "Iya, masih." Mustahil Dera tidak menyimpan dendam meski nuraninya masih sering memintanya tidak mengabaikan Devan ketika sakit cowok tersebut kambuh.

Pina manggut-manggut saja. "Tapi sampai lo nggak bisa tidur dan terus-terusan memikirkannya?"

Mendengar itu, salah satu alis Dera menukik.

Cuffing SeasonTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang