Hai!!! Bab baru yaw hihi. Happy reading ☺
"Kalau tahu lo langsung balik gini, kenapa nggak balik bareng Mas Ridam ha?" Yang namanya Hedera memang menyebalkan sejak dulu. Sudah menjalin hubungan diam-diam dengan atasan, menjadikan Pandu ada di antara cinta segitiga maut, sekarang dia harus mengantar Dera padahal 15 menit lalu pacar Dera alias Ridam sudah pulang duluan. Masih bisa Pandu terima kalau Dera benar menetap di ruang inap untuk bicara dengan Devan, nyatanya cewek itu justru bilang, "Jangan harap gue mau bicara sama lo. Jangan besar kepala Devan." Tahu-tahu Dera menoleh dan mengajaknya pulang.
Terpaksa memesan taksi online. Di kursinya, alih-alih menunjukkan rasa bersalah, bibir Dera menekuk serupu jamur. "Nggak mau. Gue mau balik sama lo."
Cukup membuat mulut Pandu membulat. "Yang pacar lo itu dia, bukan gue!"
"Ya emang gue wajib pulang sama dia?" Dera melayangkan tatapan maut pada Pandu.
Beruntung Pandu tidak menyetir, jadi bisa menyandarkan tubuh pada kursi penumpang dan memijat keningnya. Kalau dia yang menyetir, sudah Pandu turunkan pacar atasannya tersebut. "Pertanyaan yang lo tahu jawabannya," desah Pandu.
Kedua bahu Dera luhur. Dia pulang dengan Pandu bukan untuk mendapat bentakan begini. Dadanya sesak sekali dengan momen demi momen yang terjadi beberapa jam belakangan ini. Dia yang khilaf menolng Devan, Ridam yang membantu mereka dan ... sial! Dera memukul pipinya. Kenapa sih harus ada Ridam? Apa yang sekarang Ridam pikirkan tentang Dera? Cewek murahan? Tidak tahu diri?
"Terus aja pukul pipi sendiri."
Kepala Dera semakin menunduk.
"Sekarang apa lagi?" Pandu sudah waspada melihat perubahan Dera. Sebenarnya lebih baik melihat dia banyak bicara daripada diam seperti saat ini.
"Nggak balik sama Ridam biar nggak ketahuan selingkuh?" Pandu memancing supaya Dera tidak diam dengan wajah murung tersebut.
Tidak meleset. Dera sontak memaki. "Mulut setan! Gue nggak selingkuh."
"Ya terus?"
Bibir Dera menipis, dia memalingkan wajahnya. "Gue pengin balik sama lo."
"Anjing! Gue nggak mau dipecat karena ngerebut pacar atasan ya, Ra!"
"Apa sih! Gue juga nggak minat sama lo kali."
Sudah kehabisan kata. Pandu mendesah. "Dah! Capek ngomong sama lo. Gue mau tidur." Pandu memejamkan mata berusha tidak peduli. Sampai dia merasa geli pada tangannya. Ternyata telunjuk Dera yang mengetuk punggung tangannya.
"Apa?" Suara Pandu lebih tenang. Siapa tahu Dera mau curhat, kan? Lumayan untuk amunisi mengancam satu saat nanti.
"Gue ... malu."
"Ha?" bingung Pandu
"Gue ... malu pulang sama dia karena takut ditanya kenapa peduli sama Devan. Gue ... takut dia marah."
Sesaat Pandu terdiam sebelum melotot dan beteriak, "SIALAN! HUBUNGAN MACAM APA SIH INI. KENAPA GUE HARUS ADA DI ANTARA KALAIN HA?"
***
Bamben merampas rokok terakhir yang Ridam keluarkan sebelum bibir Ridam berhasil menjepit ujung rokok tersebut. Tidak peduli tatapan Ridam yang serupa peluru nyaris melubangi keningnya, Bamben meremas rokok tersebut hingga patah dan membuangnya ke dalam mangkuk soto yang hanya sisa kuah dan putung rokok saja.
"Lo sudah habis enam rokok dalam waktu satu jam, Ri. Mau mati muda?"
Ridam mungkin bukan peminum, tetapi gaya hidup merokok setiap stres membuat cowok tersebut kalap dan lupa diri, Bamben bisa memastikan, kalau-kalau dia tidak di sini, Ridam pasti sudah bisa menghabiskan dua bungkus hanya dalam waktu tiga jam saja.
"Lo nggak capek setiap saat ngoceh begini terus?" Akhirnya suara Ridam keluar juga.
"Lo yang nggak capek tiap stres lari ke rokok?" Malam sebelum Bamben menutup warung soto, Ridam tahu-tahu datang sambil menyalakan rokok dan bilang, "Dua mangkok soto, Bam." Mulanya Bamben tidak menaruh curiga, sampai dia sadar kalau hari ini seharusnya Ridam punya janji temu untuk perayaan ulang tahun kantornya. Namun, Ridam justru datang ke sini. Begitu menghabiskan soto, Ridam ugal-ugalan menghabiskan rokoknya. Artinya, Ridam tidak dalam keadaan baik.
"Gue begitu menyedihkan ya, Bam?"
Dengkusan Bamben lolos. "Tiap hari, kan?" Bamben tidak sedang melucu, Ridam boleh terlihat menawan, di matanya, Ridam tetap menjadi pria menyedihkan. Ini bukan yang pertama, tetapi Bamben betul-betul tidak bisa meninggalkan Ridam begitu saja, yah, walau Ridam bisa tidur sampai mampus atau sampai pagi datang. Tinggal menunggu ponselnya cari ramai-ramai karena teror dari keluarga Ridam yang mencari anak bujangnya malam-malam begini.
"By the way, sorry karena gue nggak bisa datang ke acara lo." Walau tidak segera mendapat jawaban dari Ridam yang beralih menatap layar ponsel dengan tatapan murung begitu. Cowok kalau muka galau begitu justru aneh.
"Menurut lo gue ganteng?" Bamben langsung merinding, sedang bicara apa, jawabnya lain arah. Dia bergidik menatap Ridam yang juga memindainya dengan pancar penasaran.
"Nggak, gue demen yang cantik dan centil."
"Gue serius."
"Gue juga serius!" Bamben ngotot. "Gue masih normal, Nyet."
Ridam tiba-tiba membanting ponselnya. "Lo pikir gue naksir lo?"
"Who's know?" Bamben mengangkat kedua bahunya jahil.
"Nggak ada yang menarik."
Sambil tertawa, Bamben akhirnya duduk di depan Ridam. "Lo juga nggak menarik di mata gue. Tapi, kalau di mata cewek, yah ... cukup menarik."
"Wajah gue cocok jadi opsi kedua?"
Bukannya memberi jawaban, Bamban justru terbahak sambil memukul meja, jangankan ikut tertawa, Ridam nyaris malas menatap Bamban.
"Lo lagi minder, Nyet?"
"Jawab!" Cara Ridam menuntut semakin membuat tawa Bamben mengudara. "Gila aja, bukan lo banget."
"Kalau lo lupa," kata Ridam mengingatkan.
Di sisa tawanya, Bamben berusaha tenang. "Haha, oke-oke. Lo pernah kalah. Jadi, yah ... semua orang punya pilihan, dan semua orang bisa menjadi pilihan. Termasuk lo, bisa jadi opsi kedua."
"Bangsat!"
Meski kening Bamben nyaris kena lemparan sendok, dia tidak sungkan terbahak. "Gue bilang yang sebenarnya kan?"
Tidak salah juga.
Kali ini, Bamben menatap Ridam serius. "Tapi, boleh gue bilang sesuatu?"
Salah satu alis Ridam menukik menunggu itu. "Kalau lo nggak mau kehilangan buat kedua kalinya. Berhenti denial, opsi berapa pun, kalau lo berani mengambil keputusan, lo bisa jadi yang pertama. Paham?"
Ridam mendengkus. Setengah bertanya-tanya, benarkah yang Bamben nyatakan? Namun, bukankah sejak dulu, sejak mengerti kalau dia mampu menaruh hati pada perempuan, nyatanya Ridam merasa dia adalah opsi kedua dan seturusnya. Dia bukan prioritas. Melihat malam ini Dera juga menjadikannya pilihan, sementara Devan menjadi prioritas, bukankah sudah jelas kalau kutukan itu nyata?
"Respons lo benar membuat gue nggak yakin." Apalagi saat Ridam tahu-tahu berdiri. Bamben berasa kesal. "Lo mau ke mana?"
"Balik."
Bamben melotot.
"Gitu aja?"
"Apa lagi?"
Astaga. Susah-susah dia khawatir. Nyatanya cowok tersebut sudah waras?
"Bangsat! Gue tahu lo pura-pura galau, kan?"
Dengkusan Ridam lolos. "Sok tahu."
"Gue bukan sok tahu, gue ..." Dan makian-makian Bamben tidak masuk pendengaran Ridam karena Ridam justru beralih pada ponselnya yang tiba-tiba berdenting. Satu pesan muncul pada pop up dari nomor yang tidak perlu Ridam simpan lagi. Mas, besok bisa jemput aku di bandara? Kangen, kan?[]
Sini baris siapa yang kemarin nyalahin Dera? Sekarang siapa yang bakal sakit??? 😅😅😅
KAMU SEDANG MEMBACA
Cuffing Season
RomanceEnam tahun berpacar, hubungan Dera dan Devan kandas beberapa jam sebelum kerja. Mana yang resmi menjadi mantan adalah rekan kantor. Tidak mau kalah dari mantan, Dera akhirnya menerima perjodohan yang mama tawarkan, tetapi ternyata semua tidak semuda...