26. Adu Marah?

805 93 6
                                    

Hai, kita nambah bab lagi hihi ^^ Maaf banget ya baru update huhu. Setelah ini aku usahain rajin lagi ya. semoga minggu depan bisa update lagi hehe. Happy Reading :*


26. Adu Marah?


"Devan beneran sakit, Ra?" Dera tersentak usai bunyi kursi yang ditarik berdecit, Nana duduk di sampingnya. Salah satu alisnya menukik, menunggu jawaban Dera. For your information, Dera baru sampai kantor, lho. Tetapi, Dera sudah malas protes. ia hanya mengangguk saja. Toh, Devan benar sakit bukan?

"Iya," balasnya. Meski bisa menebak air muka Nana sekarang terlihat ragu, Dera tetap berusaha terlihat biasa saja setiap terlibat obrolan soal Devan. Habis kan kejadian semalam cukup mengejutkan. Ah, Dera jadi ingin menanyakan perihal hal tersebut.

"Ngomong-ngomong, semalam aman kan?"

Sesekali pandangan Dera memanjang, mengecek keberadaan Ridam yang sejak tadi belum datang juga. Ridam juga tidak mengirimkan pesan pada Dera seperti biasanya. Bibir Dera menipis, Ridam tidak sedang marah, kan?

"Ra!" dera kembali tersentak dengan mata membulat.

"Gimana?"

Desahan Nana lolos. "Tuh, tadi tanya keadaan pasca Devan pingsan, giliran gue jelasin, lo malah diam begitu."

Dera meringis. "Gimana emangnya?"

"Ya semua bisa kita handle, acara tetap berjalan dengan baik, walau yah... tanpa Mas Ridam." Mendengar itu, sejumput perasaan bersalah menguasai batin Dera. Bagaimana pun, ini karena dia?

"Hei, kok murung?" tanya Nana pelan.

Dera hanya menggeleng lemah. Sementara Nana bersedekap dengan kedua mata memincing. "Merasa bersalah, ya?"

Ketahuan. Dera hanya mampu meringis.

"Nggak apa-apa. Toh, itu diluar kendali." Nana memijat pelan bahu Dera seakan menguatkan. "Anggap sikap lo sebagai teman."

Teman, ya?

"Oh ya Ra, lo mau ikut nengok Devan?" Belum sempat Dera memberikan jawaban, suara pintu digeser mengusik pendengarannya. Matanya tanpa sadar berbinar usai menangkap keberadaan sosok yang ia cari sejak tadi, tubuh tegap Ridam masuk dan menatapnya balik.

Senyum Dera mengemang. "Mas Ri–"

"Nana, hari ini bisa ikut saya ke rumah produksi?" Ridam tahu-tahu melewatinya begitu saja. Tangan Dera terkepal, tumitnya berputar hingga bisa melihat punggung lebar tersebut.

"Lho, kok saya, Mas?" bingung Nana. Pasalnya hari ini bukan jadwal dia.

"Ikut saja, kita berangkat sejam lagi." Tanpa mengindahkan Nana yang kebingungan, Ridam sudah beranjak. Mata Dera mengerjap bingung, sementara Nana sudah menatap Dera dengan pandangan bingung. Bibirnya beergerak seakan bilang kenapa? Sebab air muka Ridam terlihat tidak bersahabat.

Dera tidak menggubris, dia justru beranjak ke pantry, membuat Nana semakin melongo. Di pantry, Dera menemukan Pak Min yang hendak membuat minuman, "Pak Min, buat Mas Ridam ya?"

Pak Min menoleh. "Oh, iya, Neng. Gimana? Neng Dera mau juga?"

Dera segera menggeleng. "Saya aja yang bikin, Pak."

Mendengar itu, wajah Pak Min diliputi kebingungan. "Buat Mas Ridam?"

Dera menganguk. "Saya aja ya, Pak?" pintanya lagi. Dera bisa memindai tatapan penuh keraguan dari mata Pak Min, tetapi akhirnya bisa mendesah lega begitu Pak Min mengizinkan. Jadi, usai membuat kopi untuk Ridam. Dera segera beranjak masuk ruangan pria tersebut. Tentu dengan pindaian bingung rekan-rekan kerjanya.

Pokoknya Dera menanggalkan rasa malu saat Ridam terang-terangan. Bodoh amat, Dera mengulas senyum walau kaku. Ingat Dera, Ridam itu pacar lo! Jangan malu!

"Kopi buat Mas." Sekarang Dera sudah seperti bintang iklan pasta gigi saja, tidak melepas senyumnya dari Ridam yang menatap bergantian kopi dan Dera.

"Siapa yang buat?"

"Saya, dong. Coba minum buat sa–"

"Kenapa bisa kamu?" todong Ridam terdengar tidak senang dengan sikap Dera.

Baru Dera membuka mulut, kembali urung bicara saat Ridam kembali bersuara. "Kenapa bukan Pak Min?"

"Kenapa harus Pak Min? kenapa nggak boleh saya?" tuntut Dera tidak terima dengan nada bicara Ridam yang menghakimi.

"Karena kamu tidak tahu takaran kopi saya."

Alih-alih mengiyakan, dada Dera terasa nyeri dengan cara bicara Ridam. Terlebih pria tersebut tahu-tahu mendorong kopinya. "Minta Pak Min buatkan saya lagi," lanjutnya dengan tatapan yang beralih pada layar laptop.

Tanpa sadar, napas Dera memburu. Ucapan Ridam kali ini nyatanya serupa ujung pisau yang menggores.

Pandangan Ridam naik, menatap Dera dengan tatapan yang tidak mampu Dera terjemahkan. "Kenapa? Ada masalah?"

Desahan Dera lolos, nyatanya dia tidak bisa meluapkan amarah sebab Dera sadar kalau dia yang memulai semua ini. Ridam pasti marah.

"Kemarin mas sampai rumah jam berapa?" Mencoba mengalihkan obrolan.

"Jam satu malam."

Dera melotot. "Kok bis-"

Ucapan Dera terinterupsi oleh ponsel Ridam yang berdering. Dera tidak bisa mengintip sosok yang menghubungi Ridam, karena pria tersebut langsung mengangkatnya tanpa ragu.

"Halo? Siang kan? Iya, aku jemput. Kabarin kalau sudah akan landing. Hm, iya. See you." Usai meletakkan ponselnya di atas meja, pandangan Ridam naik. Salah satu alisnya menukik. "Ada yang ingin kamu bicarakan lagi, Ra?"

Napas Dera nyaris tersendat mendengar itu. Dadanya bergemuruh sementara pria di depannya sama sekali tidak menunjukkan peduli. Tangan Dera terkepal kuat.

"Ada." Tatapan Dera menajam.

"Nanti aku mau nengok Devan lagi." Dera mempertegas. Biar saja seakan ingin membuat cmeburu Ridam.

"Oke." Ridam menunduk santai dan kembali bekutat dengan laptopnya.

"Mas?"

"Hm?" Ridam bahkan tidak bersedia mendongak.

"Nggak ada yang boleh minum kopi buatan saya," putus Dera. Ridam langsung medongak bingung. Belum sempat mengajukan tanya, Dera sudah merampas cangkir kopi dan segera beranjak.

"Hedera! Kopi saya mau kamu bawa ke mana?"

"Buang!" Persetan. Dia ngambek. Sementa itu, di tempatnya, Ridam mendesah. Kenapa jadi gadis itu yang marah coba? []

Cuffing SeasonTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang