22. Weird but Fucking Beautiful

1K 113 14
                                    

50 vote + 10 komentar dari akun berbeda, baru update untuk bab berikutnya ya hehe. Semangat kalian ^^

Sewaktu Ridam bilang, "Bukan Nari cewek yang saya suka. Kamu jelas tahu siapa yang saya ajak serius. Mau saya beritahu namanya?" Mengesampingkan pipi yang terasa panas, Dera buru-buru mengalihkan. "Ya yang sekarang di depan Mas, kan?" Maksudnya siapa lagi kalau bukan Dera sendiri. Namun, Dera sedikit waspada saat kedua mata Ridam justru memincing dan tubuhnya sedikit menjaga jarak ke belakang dari Dera.

"Oh, ya?" Ridam menelengkan kepalanya. "Kamu yakin sekali."

Sekarang, pipinya bukan merona, dua tanduk sudah muncul di kepalanya. "Mas," peringat Dera.

"Lho, kan belum juga saya kasih tau namanya. Kam–"

"Oh! Oke!" serobot Dera dengan tangan yang mulai berontak untuk lolos dari genggaman Ridam. "Nggak perlu kasih tahu say–"

"Bercanda, Ra. Hei!" Ridam beralih memeluk Dera mendekat. Tangannya mengunci pinggang gadis di depannya sehingga tubunya benar bisa merapat pada Ridam. Yah, walau tinggi badannya hanya sebatas dagu Ridam sehingga Dera perlu mendongak. Melihat wajah kecut tersebut, perut Ridam justru tergelitik gemas. Tanpa sadar, satu kecupan mendarat pada pelipis Dera.

"Ra," kejut Ridam sendiri dan sedikit terperajat dengan ulah tanpa sadarnya tersebut. Tidak maksudnya ... sial! Dia takut Dera tidak nyaman.

"Ra, say–"

"It's okay." Dera beralih memeluk Ridam saat pria tersebut berusaha menjaga jarak, sebenarnya juga untuk menyembunyikan wajahnya yang semakin panas pada dada pria tersebut. Jangan sampai ketahuan kalau dia sedang merona.

"Orangnya saya kan?" Lucu sekali, kenapa setiap bersama Ridam, perutnya jari sembelit, sih. Senyum Ridam terbit bersama tangannya yang semakin mendekap tubuh Dera.

"Ya. Kamu."

Astaga! Yang namanya Ridam memang lebih berbahaya dari obat terlarang. Bikin pusing.

"Ngomong-ngomong," kata Ridam membuat Dera sedikit sadar.

Dera mendongak dengan dagu yang masih menenpel pada dada Ridam, sehingga Ridam perlu sedikit menunduk.

"Kita lunch di rumah ngak masalah, kan?"

Heh? Mendengar itu, sontak saja, Dera refleks mendorong dada Ridam dengan wajahnya cengo. "Ha?"

***

Ridam ngeselin Rasyid.

Dera kira usai urusan beres, dia cukup pamit pada ummi, dan tidak lama kemudian dia bisa pulang. Lunch bersama keluarga Ridam tidak masuk rencana. Astaga, makan dengan ummi saja sudah bikin panas-dingin. Ini bukan bertiga, melainkan berlima.

"Jadi, kalian beneran pacaran ya, Kak?" Tubuh Rileya merapat pada Dera. Keduanya sudah ikut makan siang di meja makan. Setahu Dera, Rileya ini satu-satunya saudara perempuan Ridam. Mereka beberapa kali berpapasan tiap Rileya berkunjung ke kantor. Hanya saja baru kali ini terlihat obrolan.

"Ya beneranlah, Ya. Masa bohongan." Dera belum menjawab, yang barusan ummi.

Bibir Rileya berkedut kesal. "Nggak percaya kalau Ummi yang bilang."

Rileya kembali menatap Dera, jelas sekali kalau jawaban dari Ummi tidak mampu meyakinkan cewek tersebut. " Bener, Kak?"

"Buat apa tanya, Ya? Mau bantu biaya nikahan?" gurau Ridam sontak membuat Dera melotot. Sial!

"Ih, Abang!" Rileya semakin cemberut. Lalu, kembali beralih pada Dera. "Kak Dera," mohonnya.

Dera tersenyum kecil, tidak tega juga dengan cewek tersebut. "Iya. Beberapa waktu ini kamu memutuskan untuk lebih serius."

Cuffing SeasonTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang