23. Masa Lalu Pemenangnya

1K 99 17
                                    

Hai, makasih ya sudah 50 vote. Seperti biasa lagi yaaa. Update bab baru kalau sudah 50 vote 🤭

Happy reading 🤭

23. Masa Lalu Pemenangnya

"Lo ke sini mau minta saran atau adu mulut?"

Mendengar ultimatum dari Pina usai mengulurkan jus alpukat padannya, kedua bahu Dera surut. Pandangannya meredup, setengah hati dia menandaskan setengah gelas jus guna mendinginkan kerongkongan.

Alih-alih mengantar ke rumah Devan, Dera meminta Ridam menurunkannya di rumah Pina. Dusta kalau Dera tidak peka dengan kecurigaan Ridam yang sempat bilang, "Hubungi saya setiap kamu butuh." Dera mengiyakan, Ridam punya hak veto atas keputusan tersebut.

Namun, sungguh, tidak sedikit pun Dera bersedia mendatangi Devan meski kakinya terus bergerak tidak teratur berusaha tenang dengan perasaan khawatir yang tidak bisa dia terjemahkan. mustahil Dera tidak mengingat kalau Devan punya fisik yang lemah, dan begitu dia jatuh sakit, manjanya bukan main. Dera meremas gelas yang dia pegang, nggak, jangan khawatir. toh, dia sudah punya pcar. sadar, Ra!

sementara itu, Pina bersekap, berdiri di samping Dera yang masih diam tanpa mengindahkan keberadaannya. "Lo dengar gue nggak sih, Ra?"

"Eh!" kejut Dera mendongak.

"Gimana?"

Desahan lelah Pina lolos, dia segera duduk di samping Dera untuk mengambil kesadaran cewek tersebut sebelum berubah pikiran kabur dari rumahnya hanya untuk menemui mantan pacar kurang ajarnya tersebut.

"Lo khawatir sama Devan?" Pina betul-betul tidak berniat basa-basi, karena dia harus memastikan keteguhan hati Dera.

Bibir Dera menipis. dia sedikit menunduk sebelum kembali menatap Pina. "Nggak, gue nggak akan ke sana." Tidak ada keraguan, Dera hanya belum terbiasa membereskan perasaan khawatirnya. sekarang jauh lebih tenang saat Pina mengelus bahunya.

"Gue bukannya ingin lo jahat, hanya saja gue ingin lo lebih realistis. Dia mungkin butuh lo karena terbiasa, bukan benar-benar ingin lo di sisinya." ucapan yang mengundang senyum kecut Dera. Apa yang Pina katakan tidak meleset. Devan pasti hanya ingin mengguncang keteguhan hati Dera. Tidak akan sedikit pun Dera ingin ke sana. Lagipula, setiap ingat bagaimana cowok itu bersikap padanya akhir-akhir ini, membuat dadanya semakin nyeri. Dera bukan perempuan murahan yang mau-maunya mengurus mantan pacar yang mengkhianati dia.

"Okay!" Dera bertepuk sekali. "Kalau gitu lebih baik kita main billiard aja di lantai atas. Gimana?" putusnya tiba-tiba.

Tawa Pina meletup. "Kalau dalam keadaan biasa, gue tonyor ya lo, tapi karena gue baik hati. Ayo!" Pina berdiri duluan. "Kita puas-puaskan main billiard."

***

Dengkusan Devan lolos lalu melempar ponselnya hingga mengenai ujung kakinya. Pesan singkat yang dia kirim hanya berujung di baca oleh Dera. Bibirnya yang pucat tersenyum kecut. Devan meremas rambutnya saat pening semakin mendera. Dua jam dia mengunci diri di kamar, dua jam juga dia tidak membiarkan yang lain masuk, Devan meminta waktu sendiri.

Bee, aku sakit. bisa ke sini? adalah hal yang selalu Devan katakan setiap membutuhkan Dera. Tidak lama, kekasihnya--maksudnya mantan pacarnya--tersebut pasti segera datang. Bukan hanya menanyai keadaannya, tetapi benar mengurus Devan hingga sembuh.

Lo membuang dia bego, ejek Devan pada dirinya sendiri. "Sekarang, mana mau Dera ke sini." ejek Devan pada dirinya. Tawanya lolos, memejamkan mata dan berulang kali membenturkan bagian belakang kepalanya pada dinding.

Sampai, ketukan pintu mengusik pendengarannya. "Mas, makan dulu ya?"

Ini bukan yang pertama, Nella berulang kali mencoba meminta Devan mengisi perut sejak sarapan tadi. Devan tidak memberikan jawaban apa pun.

Cuffing SeasonTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang